Senin, 17 November 2008

Sui Wu'u, Lauk yang Terlupakan

Oleh Rosalina Langa Woso

SECARA geografis Desa Mangulewa menempati posisi tertinggi Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Alam Mangulewa yang dingin, dibalut kabut hampir separuh waktu, membuat warga cenderung 'malas' menyingkap selimut di pagi hari. Banyak aktivitas tertunda. Memindahkan kuda (dheso jara) ke rumput hijau tertunda. Pergi ke kebun (dua uma) pun tertunda.

Tetapi kondisi alam kampungku yang dingin itu dikenal subur. Sayur wortel manis dan segar, pucuk labu, buncis kepompong yang gurih, sawi dan kol berjejer di rebis rumah. Sayur-sayuran itu sangat laris di pasar-pasar tradisional, menembus pasaran Ende, Maumere bahkan Kupang.

Kampungku tidak hanya dikenal sebagai 'gudang sayur'. Ada sumber protein hewani yang diolah oleh nenek moyang sejak tempo dulu. Cara meramu lauk tradisional itu mencegah lahirnya generasi kurang gizi. Sui wu'u menjadi lauk pauk yang digemari masyarakat setempat.

Proses pengawetan sui wu'u tidak menggunakan zat kimia. Daging segar yang tidak habis dikonsumsi dalam suatu pesta perkawinan, pesta adat reba atau acara adat lainnya, dipotong dadu dengan ketebalan 5 cm. Daging itu dibilas hingga bersih lalu ditiriskan hingga kering.

Para ibu rumah tangga selalu menyisihkan tepung jagung (jagung yang ditumbuk pakai lesung) untuk dijadikan bahan pengawet. Tepung jagung yang ditampi warnanya kuning, terasa halus saat dipilin dengan kedua jari tangan. Daging yang telah ditiriskan itu digulung rata dengan tepung jagung. Hampir sama seperti menggulung tepung panir pada menu udang, cumi-cumi ataupun ayam goreng di restoran-restoran kota.

Daging yang terbungkus tepung jagung lalu disimpan dalam tuku (tiga ruas bambu tua) yang kulitnya telah disapih. Ruas bambu dipilih harus sudah tua. Dindingnya dihaluskan dengan sayatan pisau, bagian ujungnya diberi penutup. Fungsinya untuk mengurangi keluar masuknya udara, sehingga daging tidak cepat rusak.

Biasanya tuku yang berisi daging disimpan di dinding sekitar tungku api. Bila dinding dapur tidak luas, biasanya digantung para-para tepat di atas tiga tungku dapur. Pelan tapi pasti, dinding tuku berisi sui wu'u diterpa asap yang mengepul dari tungku api.

Sambil menyelam minum air, itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan proses pengawetan sui wu'u di kampungku. Api yang dinyalakan para ibu rumah tangga tidak hanya untuk menanak nasi, tetapi turut menghangatkan sui wu'u. Daging akan awet sepanjang waktu dengan kehangatan api setiap hari.

Meski daging awet selama beberapa bulan, sui wu'u harus segera dikonsumsi agar aman dan nilai gizinya tetap memenuhi standar kesehatan.

Su'i wu'u biasanya diracik untuk persediaan lauk di masa penceklik atau sebagai bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Warga setempat harus meninggalkan perkampungan menuju dataran Zeu (ladang padi dan jagung) yang terkenal subur di Kecamatan Golewa.

Saat ini sui wu'u mulai ditinggalkan. Bisa dihitung dengan jari, masih ada warga Mangulewa yang setia meramunya sebagai lauk keluarga. Kelupaan masyarakat akan sui wu'u dapat dimaklumi karena pesatnya teknologi seperti kulkas, yang mampu mengawetkan daging segar. Padahal, sebelum kulkas hadir dan merajai kota Bajawa, sui wu'u salah satu lauk yang dijamin nyaman untuk konsumsi.

Rasa sui wu'u sama seperti daging yang baru disembelih. Hanya, dalam segi aroma lebih tajam karena diselingi tepung jagung. Sui wu'u akan membangkitkan selera makan bila dibakar dalam bara panas.

Daging ini ditusuk dengan lidi atau kawat kecil, mirip membakar sate. Bara api yang panas membakar seluruh permukaan tepung jagung, aroma menyengat hidung lalu menebar ke atap dapur. Minyak daging yang menetes akan sedap disantap bila dibiarkan jatuh membasahi permukaan helai daun pepaya muda.

Konon daun pepaya akan hilang pahitnya karena telah diluluhlantakkan oleh khasiat minyak sui wu'u. Daging yang telah masak itu diiris sebesar ruas ibu jari. Sui wu'u lalu dibungkus daun pepaya, dicelupkan dalam koro bara lai (lombok yang diberi irisan tomat).

Hem...lebil lezat lagi bila dimakan dengan jagung goreng. Menu ini terasa lengkap kalau diakhiri dengan secangkir tua bhara (tuak putih), yang disadap dari pohon nira di pagi hari.

Kebiasaan untuk meracik sui wu'u bukan sekadar untuk melestarikan budaya nenek moyang. Sejak dulu sui wu'u dijadikan sarana silaturahmi di ladang. Para tamu yang 'gotong royong' menyiangi rumput bisa disuguhi lauk ini. Bila daun pepaya tidak disajikan, sui wu'u nyaman kalau dilahap bersama daun kacang, pucuk labu yang 'dilemaskan' dalam air panas.

Sambil menikmati jagung goreng, sui wu'u dengan seteguk tuak, semua pekerjaaan tanam menanam terasa ringan dan mudah dirampungkan. Usai berladang, mereka duduk bersila (be'i benga) membentuk lingkaran di atas bheja (lantai panggung yang terbuat dari bambu cincang). Punggung disandarkan santai sambil menikmati sui wu'u.

Ada harapan lain yang tersimpan. Agar generasi tidak dicap sebagai generasi kurang gizi, seperti gizi buruk yang terjadi dewasa ini. Sui wu'u, lauk yang bergizi, nyaman, praktis disantap. Sayang, nasibnya menjadi lauk yang terlupakan. *

Tidak ada komentar:

SYALOM