Senin, 17 November 2008

Menyikapi Tawuran Antar-Pelajar

Oleh Sipri Seko

PANITIA
turnamen sepakbola antar-pelajar dan mahasiswa Faperta Undana Cup beberapa tahun lalu memberikan sanksi larangan berpartisipasi kepada tim SMKN 2 (STM) Kupang. Mereka dinilai telah mencemarkan visi dan misi Faperta Cup, yakni menjalin kebersamaan antar-sesama pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang sambil menggapai prestasi.

Saat tim kalah, suporternya sering membuat ulah dengan menyerang suporter lain. Bahkan mereka tak segan-segan merusak kelengkapan pertandingan. Sanksi tersebut diberikan agar mereka benar-benar jera dan menghargai semangat sportivitas, mengakui adanya kekalahan dan kemenangan.

Dalam satu pekan terakhir ini tawuran antar-pelajar terjadi di Kota Kupang. Pada hari Jumat (7/11/2008), siswa SMA Negeri 5 dan SMK Negeri 4 Kupang saling lempar batu. Dalam kejadian itu, kaca jendela enam ruangan kelas SMK Negeri 5 pecah berantakan.

Perseoalannya sepele, karena kesalahpahaman. Namun akibatnya, beberapa jendela SMK Negeri 4 juga pecah berantakan dan beberapa orang terluka akibat pecahan kaca. Selain itu, kepala sekolah dua sekolah tersebut dipanggil aparat kepolisian untuk diambil keterangannya.

Tak sampai sepekan, pada Rabu (12/11/2008), sejumlah siswa dari SMAN 1, SMKN 2, SMAN 2 dan SMA PGRI Kupang terlibat tawuran di halaman depan SMAN 1 Kupang. Tak diketahui pasti apa motifnya, namun para siswa bakupukul sehingga harus diamankan pihak kepolisian.

Apa pun motifnya, tawuran antar-pelajar merupakan fenomena sosial yang sangat menarik. Ada banyak pandangan untuk menilai sebab-sebab terjadinya tawuran antar-pelajar. Ada yang menyebutnya karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya, mereka mudah tertekan. Ada juga yang bilang karena pelajar sekarang sudah sangat agresif, sementara even untuk mengeksploitasi dirinya sangat minim.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perkembangan zaman yang sangat kompleks dan beragam memberikan rangsangan yang sangat kuat terhadap para pelajar. Akibatnya, kalau mereka tidak mampu memanfaatkannya untuk memajukan dirinya, maka yang terjadi adalah melakukan hal-hal negatif seperti tawuran, mabuk-mabukan, bahkan bukan tidak mungkin akan menjurus kepada free sex dan penggunaan narkotik dan obat-obat terlarang lainnya.

Lalu, bagaimana mengatasinya? Faktor dasarnya adalah pola pembinaan. Pembinaan terhadap anak dari rumah hingga sekolah akan menjadi tolok ukur kepribadian seorang pelajar. Nilai-nilai budi pekerti dan kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial harus ditanamkan sejak dini. Pasalnya, saat dia bergabung dalam sebuah lingkungan, biasanya dia akan menyerahkan dirinya secara total. Di sini kalau sudah terlambat diberikan, sementara para pelajar sendiri sudah masuk dalam lingkup yang beragam, mereka biasanya akan sukar untuk memilih. Dan, di saat bingung seperti ini godaan-godaan negatif akan mudah membuat mereka terjerumus.

Ada yang menarik dari peristiwa tawuran antar-pelajar yang terjadi di Kota Kupang. Para pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Bahkan SMA Negeri 1 Kupang adalah salah satu sekolah contoh di NTT. Pertanyaannya adalah, apakah fasilitas komplit yang dimiliki sekolah tak mampu menjadikan para siswanya sedikit betah untuk belajar daripada keluyuran di jalanan?

Tampaknya, operasi penertiban yang dilakukan aparat polisi pamong praja harus terus dilakukan. Siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan saat jam sekolah harus ditertibkan. Berikan sanksi dan teguran tegas kepada mereka. Arahkan mereka agar mencintai pelajaran di sekolah demi masa depannya.

Ketika para pelajar bakulempar atau bakupukul, kita tidak boleh menyebut itu sebagai sebuah kenakalan remaja. Sebagai seorang pelajar, biasanya mereka terlibat dalam sebuah even karena sedang berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kalau dia senang berkelahi, itu mungkin karena dia ingin disegani di antara rekan- rekannya.

Untuk itu, pembinaan sikap dan mental pelajar harus terus digalakkan. Keberhasilan dan prestasi sebuah sekolah tidak hanya terletak dari persentase lulusannya, tapi apakah lulusannya mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tidak. Atau apakah para pelajar memiliki moral yang baik atau tidak. Pasalnya, kelulusan bisa diukur dengan persentasi, tapi moral yang baik hanya bisa dibuktikan dalam tingkah laku anak didiknya. Ketika para pelajar saling tawuran, itu berarti sekolah belum mampu menanamkan sikap moral yang baik kepada siswanya. *

1 komentar:

Anonim mengatakan...

syaloom...

makasi ia pak/om/abg....
tulisan nya bgus,,

tuhan memberkati.

SYALOM