Oleh Sipri Seko
TANGGAL 20 Desember 2008 nanti akan ada tiga propinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dulu tergabung dalam Propinsi Sunda Kecil memasuki usianya yang ke-50. Ada banyak aspek yang direfleksi. Ada banyak masalah dan prestasi yang direnungi. Sudahkah, Bali, NTB dan NTT mencapai masa keemasan sama seperti usia emasnya?
Hermensen Ballo (tinju) dan George Hadjoh (kempo) adalah dua dari banyak mantan atlet NTT yang di eranya adalah yang terbaik. Terbaik bukan saja di NTT, tapi di Indonesia bahkan di level internasional. Sebagai mantan atlet, mereka mengartikan kata emas sebagai pengakuan tertinggi dari sebuah prestasi. Tak heran kalau mereka melihat usia emas NTT seharusnya dihiasai dengan gelimang prestasi di bidang olahraga.
Bukan potensi dan kenangan prestasi masa lalu yang mereka soroti, namun pola pembinaan. Ada benang merah yang belum terurai dengan sempurna. Program olahraga yang ditelorkan pemerintah belum sinergi dengan pengurus cabang olahraga. Di saat pengurus cabang olahraga kesulitan dana, pemerintah melalui program olahraga usia dini, Porseni SMP, Popnas, Pomnas dan lainnya yang bergelimang dana tak berpikir tentang prestasi tapi hanya kesuksesan proyek.
"Pertanyaan dari saya, sudahkah Ordini, Porseni SMP, Popnas dan Pomnas memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan prestasi olahraga NTT? Bandingkan saja dana yang dikucurkan dengan prestasi yang diinginkan atau dicita- citakan. Yang saya lihat dana proyek yang menjadi target utama dan bukan out put akhir atau peningkatan prestasi yang menjadi tujuan utama para pelaku proyek," cetus George Hadjoh.
Pertanyaan ini muncul sebagai akibat dari samar-samarnya prestasi yang diraih pada level nasional sebagai puncak perhelatan olahraga di Indonesia. Padahal, penyaringan atlet lewat kejuaraan-kejuaraan tersebut dimulai dari tingkat kota/kabupaten sampai propinsi. Hal ini berbeda dengan kempo misalnya, dimana untuk level nasional selama delapan tahun anak-anak usia dini dan remaja menguasai arena nasional, meski dengan dana yang sangat minim.
Di manakah kendala yang dihadapi? Bisa saja karena sistem pembiayaan yang jelas tidak disertai pembinaan dan pelatihan yang tersistem. Koordinasi dan sinergi pembinaan yang belum dibangun. Akibatnya, pembinaan yang dilakukan hanya sedikit menyentuh namun tidak menggigit.
***
DUNIA olahraga NTT dikejurkan dengan keputusan Pemerintah Propinsi NTT untuk meniadakan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Dispora, yang propinsi lain sedang berlomba-lomba untuk mendirikannya, justru dimerger ke dinas pendidikan.
Hal ini sangat disesali oleh pelaku olahraga di NTT. Ada kesan, para pengambil keputusan tidak pernah tahu urgensi keberadaan dispora bagi pembinaan pemuda dan olahraga.
Tak terkecuali dengan staf Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Drs. Thobias Tubulau. Ia tak habis pikir dengan keputusan ini. "Dispora NTT adalah perintis keberadaan dispora di Indonesia. Keputusan untuk merger patut disesali, karena dan bantuan untuk pembinaan dari pusat akan makin berkurang," ujarnya.
Asal tahu saja, UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi pembinaan olahraga. Perintah undang-undang tersebut harus dilaksanakan oleh satuan perangkat kerja daerah (SKPD) khusus sebagai pengelola dana pemerintah. Status dispora yang turun menjadi bidang olahraga tak punya cukup kewenangan untuk mengelola alokasi dana yang besar. Artinya, meski nantinya ada alokasi dana untuk olahraga, namun nilainya akan kecil. Padahal, pembinaan olahraga membutuhkan dana yang sangat besar.
Sarana dan Prasarana
Pernyataan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya bahwa pemerintah sudah mengalokasikan Rp 1,5 miliar untuk rehab permukaan Stadion Oepoi, Kupang, adalah berita gembira. Keluhan tentang rendahnya kualitas sarana prasarana olahraga di NTT sedikit demi sedikit mulai diatasi. Ada harapan, setelah Stadion Oepoi akan dilanjutkan dengan sarana lainnya.
Kebutuhan sarana dan prasarana terutama tempat latihan memang masih menjadi masalah di NTT. Untuk stadion, sudah dibangun di Manggarai, Kalabahi dan Belu sementara untuk gedung olahraga (GOR) baru satu, yakni di Kupang. Tak heran kalau biasanya lebih dari empat cabang olahraga harus bergantian berlatih di satu tempat. Namun, minimnya alokasi dana pemeliharaan menyebabkan stadion atau gedung serba guna yang dibangun dengan dana yang sangat besar menjadi rusak bahkan mubazir karena tidak dimanfaatkan.
Lalu apa yang harus direfleksi di usia yang ke-50 ini? "Mencapai prestasi yang besar tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun para pengambil keputusan harus berani mengambil kebijakan yang ekstrim sekalipun. Saya contohkan, kalau misalnya mau memajukan sepakbola, belilah satu klub divisi utama dengan home base di Kupang, maka sepakbola NTT akan maju, demikian juga dengan cabang olahraga yang lain," ujar kandidat doktor olahraga dari Universitas Negeri Surabaya, Johni Lumba, S.Pd, M.Pd.
Terpilihnya Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur NTT adalah berita gembira bagi dunia olahraga. Frans Lebu Raya adalah jebolan guru olahraga, Wakil Ketua Umum I KONI, Ketua Pengprop PSSI dan juga Ketua Pengprop PBSI. Esthon Feonay adalah Ketua Harian KONI dan Ketua Pengprop Perkemi NTT. Artinya, keduanya sudah sangat paham dan tahu carut marut pembinaan dan prestasi olahraga di NTT.
Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tapi jangan kita bebankan kepada Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay. Para pelaku olahraga seperti George Hadjoh dan Hermensen Ballo harus mempertahankan pendapat bahwa dana minim bukan berarti prestasi rendah. Dengan dana minim, sarana prasarana apa adanya, atlet- atlet NTT akan mampu membuat nama Bumi Flobamora mengharum di Indonesia bahkan dunia. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar