Kamis, 06 November 2008

Sehari di Beranda Oepoli (3)

Posisi di Pohon Asam

Oleh Benny Dasman
DI
OELBINOSE. Angin senja menusuk kulit. Dingin. Tarsi, pengendali roda empat, menepikan kendaraan. Dia memberi pengumuman singkat. "Sebentar lagi kita memasuki kawasan di luar jangkauan. Ini tempat sinyal terakhir. Lebih baik te kita telepon memang. Waktunya 15 menit."

Tarsi langsung beraksi. Sambil menikmati horison sore dan 'moleknya' Gunung Mutis, kegiatan pencet-memencet hand phone (HP) melemaskan jemari yang kaku. Ber-SMS ria, telepon. Asyik sendiri-sendiri.

Romo Bento tak ketinggalan. Berhalo-halo dengan kolega di Kefamenanu dan Kupang. Mengabarkan rute perjalanan sudah sampai di Oelbinose, Miomaffo Barat. Juga mengecek kendaraan yang membawa genzet dan bahan bangunan lainnya apakah sudah keluar dari Kefamenanu atau belum. Rencananya berjalan berbarengan. Kelangkaan BBM (solar) di Kefamenanu saat itu membuat skenario perjalanan gagal.

Silvester, lain lagi. Ogah ber-SMS, telepon. Si kepala plontos itu memanfaatkan waktu bercuap-cuap melalui handy talky (HT). Bermain kata-kata dengan teman lama di pos-pos perbatasan. Bahasa Tetum, Porto, campur aduk. Romo Bento juga ikut nimbrung. Ternyata yang bercuap-cuap di baliknya teman lama di Naibonat. Bertemu lagi, meski lewat udara. Betapa senangnya.

Dead line waktu yang diberikan Tarsi sudah habis. "Ayo kita cabut lagi," Tarsi mengingatkan. HP diamankan. Tak diutak-atik lagi sampai di Oepoli. Selepas Oelbinose, Tarsi berujar lagi, "Kita sudah memasuki kawasan di luar jangkauan. Aman, orang tidak mengganggu kita lagi. Kita nikmati perjalanan ini."

Selepas Aplal, saya mencoba mengaktifkan HP. Ternyata benar, tak ada sinyal. Komunikasi putus. Tarsi benar, kawasan itu benar-benar di luar jangkauan. Diksi 'di luar jangkauan' pun menjadi bumbu perjalanan. "Coba di Kefa tadi kita beli memang dengan sinyal bae, pasti tidak di luar jangkauan. Sekarang ini di luar jangkauan semua. Bagaimana kalau ha'rim saya telepon," Silvester membuka guyonan. "Kalau pun ada sinyal, jawab saja di luar jangkauan. Sebab ini kawasan di luar jangkauan," Tarsi menjawab sahabat karibnya itu.

Saya menyela. Di Manggarai lain lagi. Kalau orang membeli HP, baba pemilik toko menanyakan kepada si pembeli. "Di tempatmu ada sinyal atau tidak. Jangan sampai di luar jangkauan." Dasar pembeli, sudah kebelet memiliki HP. "Kalau baba ada jual sinyal, bungkus sekalian saja dengan HP-nya," jawab si pembeli. Ha..ha..ha. Semuanya terbahak.

***
DI OEPOLI, situasi tetap prihatin, di luar jangkauan. HP dibuka, yang nongol SMS. Tak bisa dibalas. "Hari sudah malam. Besok saja baru kita balas SMS-nya. Pergi di pohon asam sana, pohon sinyal. Lima kilometer arah barat Oepoli ini," ujar Romo Bento, Senin (13/10/2008) malam.

'Penderitaan' Oepoli semakin lengkap. Semuanya terisolasi. Darat, laut dan udara. Malam gelap gulita. Tak ada listrik. Andalkan lampu teplok. Bangun pagi hidung berasap, hitam.

"Kami di sini benar-benar menderita. Kalau mau telepon, SMS, berkeringat dulu. Jalan jauh pergi ke tempat sinyal di pohon asam. Kalau saya telepon Pak Benny di Kupang, misalnya, posisi saya saat itu di pohon asam. Kalau kita sudah di pohon asam, ya bisa habiskan waktu sampai satu jam. Balas SMS, telepon dan sebagainya," kenang Romo Bento.

Romo Bento mengakui, sekitar 3.000 pelanggan potensial di Oepoli jika telkomsel melebarkan jangkauannya. "Ya, cukup migrasikan satu Base Transceiver Station (BTS) di sini, kerinduan warga Oepoli bisa terjawab. Ini peluang bagi telkomsel atau operator lainnya. Tapi, kendalanya itu tadi, sarana transportasi sangat buruk. Orang bangun BTS di sini makan ongkos. Pikir-pikir juga," katanya.

Tak ingin berlarut dalam litani keprihatinan Romo Bento, Tarsi, Silvester, Frangky pergi 'menemui' sinyal di pohon asam. Melepas kangen dan rindu di sana. Hari itu, Selasa (14/10/2008), saya dan Romo Bento beragenda lain. Bertamu di rumah Frans Bria di Pantai Oepoli. Mendengar curhat para prajurit penjaga Pulau Batek. Mereka tak mengeluh soal komunikasi. "Di Batek sinyal bagus. Tak ada masalah. Persoalannya kalau kami kehabisan BBM (solar). Genzet tak bisa dihidupkan. HP tak bisa di-cash. Itu saja," ujar Joanico dos Santos, penembak jitu.

Hari Rabu (15/10/1008) pagi, ditemani Tarsi, saya berkesempatan 'bertamu' di pohon asam, pohon sinyal. Dua kilometer selepas Oepoli, ada kawasan ditumbuhi pohon asam. Berbuah lebat. "Sinyalnya bukan di pohon asam yang ini, pak. Ke barat lagi, tiga kilometer," ujar Tarsi menjawab pertanyaanku.

Tarsi menepikan kendaraan. Sudah sampai. "Ini dia pak pohon asamnya," katanya. Pemandangan dari tempat ini sangat tampan. Pulau Batek bersanding jelas. Gulungan ombak Pantai Oepoli terlihat garang. "Jalan ini terus ke Naikliu. Berabu tebal. Sampai di sana abunya tebal begini," Tarsi menjelaskan.

Duduk di bawah pohon asam, pohon sinyal, jari-jemari beraksi. Saya dan Tarsi asyik sendiri-sendiri. Ber-SMS, telepon. Tak ada yang rahasia. Saya berhalo-halo ke Kupang. Biasa, mengabarkan kepulangan kepada maitua. Tapi tak masuk, di luar jangkauan. Ganti SMS, bisa. Tarsi pun tak kalah. Telepon ke Kefamenanu dan sebagainya. Lebih lama. Sepertinya kami sedang mengikuti perlombaan telepon. Semua bersuara keras.

Tak langsung pulang, saya dan Tarsi mengamat-amati situasi di sekitar pohon sinyal itu. Pohon asam itu rindang, berbuat lebat. Asyik untuk berteduh. Di bawah pohon itu ada bekas bakaran api. "Biasa, untuk menghangatkan badan kalau orang datang ke sini malam-malam," ujar Tarsi yang mengaku sudah beberapa kali mendatangi pohon sinyal itu.

Di sekitar pohon sinyal itu ada kebun. "Dulu, kebun ini ada pagarnya. Tapi sekarang tak ada. Kayu-kayunya sudah dicopot untuk bakar di bawah pohon ini. Dilakukan oleh orang yang datang bertelepon malam-malam," tutur Tarsi.

Setiap hari, aku Tarsi, orang mendatangi pohon sinyal itu. Banyak orang datang berkelompok. Tentara-tentara penjaga perbatasan, kata Tarsi, juga datang ke pohon sinyal ini untuk berkomunikasi. "Lebih banyak datang siang atau sore hari. Kalau malam hari, orang datang berkelompok. Sendirian takut," cerita Tarsi.

"Mengapa? Ada penunggunya? Jin?" tanyaku. Tarsi menyebut alasannya. Pernah, katanya, seorang pemuda datang sendirian ke pohon sinyal ini. Malam hari. "Ketika sang pemuda itu mulai menelepon dan menyapa halo, dari atas pohon terdengar suara jawaban, halo.... Suara perempuan. Tapi orangnya tak ada. Sampai beberapa kali perempuan itu menjawab," kisah Tarsi.

Sang pemuda itu pun tak melanjutkan temu kangennya. Dengan ha'rim. Dia memilih langkah seribu meninggalkan lokasi. "Pemuda itu lari terbirit-birit, ketakutan. Siapa pun kalau mengalami keanehan seperti itu, pasti takut. Bisa-bisa mati konyol karena menabrak pohon-pohon yang ada di sekitar sini. Lari tanpa arah takut jin," ujar Tarsi sambil tertawa.

Berita ini cepat tersiar di seantero Oepoli. Dan, orangpun ogah menemui pohon sinyal itu sendirian pada malam hari. "Percaya atau tidak, ceritanya begitu. Tapi, saya yakin pohon asam ini ada penunggunya. Jin perempuan," tukas Tarsi. Bulu kudukku berdiri.

Pohon sinyal, episod terakhir petualangan saya di Oepoli. Keterpencilan, keterisolasian, membuat semuanya bermakna. "Halo..., posisi saya di pohon asam sekarang," Romo Bento membuka percakapan ketika menelepon saya dari Oepoli, Senin (3/11/2008) lalu. Memoriku tentang Oepoli disegarkan kembali. Saya pun menjawab Romo Bento, "Ke Oepoli aku kan kembali." (habis)

Tidak ada komentar:

SYALOM