Kamis, 06 November 2008

Sehari di Beranda Oepoli (2)

Seharusnya 'Oelupa' atau 'Oepilu'

Oleh Benny Dasman

SAYA
'menyapa' bumi Oepoli dari bukit Tataum-Netemnanu. Hamparan sawah tak bertepi membentang luas di hadapanku. Subur. Pun laut biru berarus garang. Sebuah ikon untuk melegendakan Oepoli sebagai 'tanah terjanji.'

'Dikawal' Romo Bento dan Servas, warga Tataum, saya berusaha melengkapi koleksi tentang Oepoli. Di utara memperlihatkan rumah-rumah warga Netemnanu beratapkan daun rumbia. Berdinding bebak. Sejuk di musim panas, prihatin di musim hujan. Bocor!

Panorama yang memperlihatkan buah keterpencilan dan keterisolasian. Membiarkan warga melakoni hidup dengan karakter keras. Tak cukup sebagai magnet untuk menarik perhatian sang 'bos' di singgasana. Padahal butuh sedikit sentuhan saja, eksotisme Oepoli, yang kini berhabitat alamiah, akan berubah menjadi 'surga.' Banyak orang merebutnya.

"Sentuhan dari siapa. Pejabat saja jarang ke sini. Sehabis panen lahan sawah ini 'libur' karena ketiadaan air. Kalaupun ada yang mengelolanya untuk menanam sayur, dia pasti kewalahan untuk menjaga ternak liar. Hanya sekali panen saja. Tapi hasilnya bisa memenuhi kebutuhan dua tahun ke depan," ujar Servas, Selasa (14/10/2008) pagi.

Servas menggelengkan kepala. Tanda keprihatinan. Menatap jauh memandang tanah kelahiran yang membentang luas di hadapannya. "Kami begini saja, bertani sekenanya. Tak ada penyuluhan-penyuluhan. Berdasarkan apa yang kami tahu. Kalau sudah panen, ya hasilnya dijual, murah. Yang lainnya disimpan," tuturnya.

Pemandangan di Netemnanu Selatan tak jauh berbeda. Tak ada profil rumah mentereng. Citra keterbatasan dan keterpencilan semakin tampak. Tapi mereka bukan orang 'terpencil.' Mereka tampil agresif menangkap 'mangsa' seperti rusa, babi hutan, 'mencabik-cabik' dagingnya, menampilkan profil manusia yang berpotensi. Daya jelajah memburu rusa menampilkan daya pukau yang luar biasa.

Sayang, keterbatasan sarana dan prasarana serta keuangan memaksa lahan subur Oepoli masih "menggigil kedinginan." Menanti sentuhan teknologi. Padahal, dengan sedikit saja polesan 'gincu' teknologi, potensi-potensi yang masih tidur itu sejatinya sangat layak dijual. Realitasnya memang seperti itu. Tapi fakta berbicara lain. Komoditi dijual murah, menyerah di tangan renternir. Itu potensi di darat.

***
Pesona laut, lebih wah lagi. Eksotik, Bentangan laut dihiasi batu-batu warna dan pasir putih yang bersih. Aset wisata itu makin disempurnakan keberadaan hijauan bakau. Sangat tepat dikunjungi oleh para wisatawan pecinta burung. "Di sini bisa dijumpai ratusan spesies burung di mana beberapa jenis di antaranya bersifat endemik. Belum lagi di Pulau Batek," ujar Frans Bria, warga Oepoli.

Dari deretan panjang potensi wisata itu ternyata semuanya masih 'menggigil.' Tak banyak yang terekspos ke permukaan. Nyaris tak terdengar. Tak banyak dijamah. Melengkapi penderitaan Oepoli sebagai kawasan perbatasan terpencil.

Pemkab Kupang dan masyarakat setempat belum mampu menangguk berkah pariwisata itu secara optimal. Gemerincing dolar sangat jauh dari kesan riuh. Bahkan, bisa disebut sunyi senyap. Ini tantangan besar bagi Pemkab Kupang untuk mendandan Oepoli sebagai kawasan perbatasan pesona wisata.

Bahwa masih ada 'surga' pariwisata lain selain Taman Nasional Komodo. Dan, surga itu adalah Oepoli. Ini bukan mimpi.

"Pantai Oepoli ini sangat berpotensi untuk 'disulap' menjadi obyek wisata. Apalagi dekat Pulau Batek. Kalau orang ke Oepoli, pasti ke Batek juga. Bisa dikemas sepaket," ujar Yan Benu, warga Kefamenanu, pengawas proyek di Batek.

Yan Benu tidak bombastis. Sebuah pernyataan murni lahir dari rasa kekaguman menyata. Ternyata Pantai Oepoli bisa menaut hati para wisatawan yang maniak berpetualang. "Karena keterbatasan struktur-infrastruktur, khususnya akses jalan menuju Oepoli, potensi wisata yang ada masih tertidur pulas. Jangankan dikunjungi wisatawan, nama obyek itu saja belum sampai ke telinga mereka," kata Yan Benu dengan nada getir.

Ya, Oepoli, menyembulkan daratan yang subur. Pantai yang eksotik. Sayang, perlu perjuangan berat untuk menikmatinya menjadi berharga. Jalan akses menuju Oepoli sangat jauh dari kesan layak karena kurang dijelajahi kendaraan umum. "Kami memang sangat miskin infrastruktur. Ini kendala terberat kami dalam membangun Oepoli sehingga tetap terisolir," ujar Romo Bento jujur.

***
Selain Oepoli, di wilayah Kabupaten Kupang masih terdapat bentangan dataran rendah yang cukup luas dan subur. Sebut saja dataran rendah Tarus, Oesao, Nunkurus, Pariti, dan Sulamu. Juga masih tertidur pulas. Tapi, dari semuanya, Oepoli menyimpan keprihatinan yang mendalam. Padahal wilayah di Kecamatan Amfoang Timur itu berbatasan langsung dengan Distrik Ambenu, Negara Timor Leste, menebarkan aroma budaya yang unik. Juga lahan wisata.

Berdasarkan penuturan sejarah dari tokoh adat masyarakat Netemnanu Utara, penduduk Distrik Ambenu (Negara Timor Leste) merupakan bagian atau masih memiliki hubungan kekeluargaan. Kondisi ini dapat dibuktikan melalui upacara adat-istiadat yang sama dan juga pada acara-acara perkawinan.

Setiap tahun, sebelum terjadi gejolak kemerdekaan tahun 1999, prosesi adat pasca panen masih tetap dilaksanakan dalam bentuk upacara-upacara adat untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan tersebut, masyarakat Amfoang menyerahkan sebagian lahan di Naktuka kepada masyarakat Ambenu. Pasca kemerdekaan Timor Leste, kegiatan tersebut terhenti disebabkan oleh penjagaan ketat kedua negara. Prosesi budaya ini belum menyembul ke permukaan. Masih menggigil.

Penyebabnya hanya satu. Akses ke wilayah seluas 273,03 kilometer persegi itu cukup sulit, masih terisolasi. Posisinya jauh dari jantung Kota Kupang. Pun kondisi geografisnya tidak menguntungkan. Kondisi ini menyebabkan transportasi melalui darat sangat sulit karena harus melewati banyak sungai yang belum dilengkapi fasilitas jembatan.

Buntutnya, Oepoli tetap nomor buntut. Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sampai kapan? "Kalau melihat kondisi yang ada, Oepoli seharusnya bernama Oe..lupa atau Oe..pilu..!" kata Servas berguyon. Pilu dan terlupakan. Benar juga. (bersambung)

Tidak ada komentar:

SYALOM