Kamis, 06 November 2008

Sehari di Beranda Oepoli (1)

Pembalut, Susah Dicari...

Oleh Benny Dasman

MENIKMATI 'lekuk tubuh' Oepoli melalui poros Kefamenanu-Eban-Noelelo, terasa 'menyiksa.' Badan pegal. Melelahkan. Tapi saya tidak berprasangka buruk. Apalagi terburu-buru mencoret wilayah di Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, itu dari daftar petualangan. Semangat tetap empat lima.

Siang itu, Senin (13/10/2008). Terik membakar Kota Kefamenanu. Agenda pertama bertemu Wakil Bupati (Wabup) Timor Tengah Utara (TTU), Raymundus Fernandes, S.Pt. Pertemuan di rumah jabatan itu berlangsung akrab. Pak Ray, demikian wabup disapa, bercerita banyak tentang upayanya memakmurkan petani di Bumi Biinmafo itu.

Tak bosan-bosannya pria energik itu mengunjungi para petani di ladang sekadar memberi motivasi, apalagi musim tanam 2008 segera menjelang. "Para petani TTU wajib mengolah sehektar lahan. Untuk mengetahui apakah lahan itu sudah disiapkan, saya melakukan sidak. Di tempat terpencil pun, saya jalan. Sebab, ada petani yang nakal, mengaku lahan sudah diolah padahal belum," cerita Pak Ray.

Saya 'memantik' soal poros Kefamenanu-Oepoli. Pak Ray mengakuinya masih jelek. Khususnya ruas Eban-Oepoli. "Kita mengupayakan perbaikannya secara bertahap," ujarnya. Ending cerita Pak Ray membuat saya deg-deg-an. "Pak Benny harus siap fisik. Medannya lumayan berat," tantang Pak Ray.

Tak mau petualangan ke Oepoli batal gara-gara mabuk, Romo Bento menyarankanku beristirahat. "Kaka istirahat dulu. Siap fisik. Jalan ke Oepoli parah. Jam empat sore baru kita cabut," ujar Romo Bento. Saya pun beristirahat di rumah Ibu Ana, kakak perempuan Romo Bento. Di rumah, sebelum beristirahat, Ibu Ana juga 'menakutkanku.' "Pak harus siap fisik, istirahat dulu. Sore baru jalan," Ibu Ana wanti-wanti. "Wah, jalan ke Oepoli benar-benar parah. Payah," gumamku. Saat itu kondisi fisikku memang belum fit.

Semalam, di rumah ini, saya pun tidur lebih awal. Pukul 22.00 wita. Padahal tuan rumah menyuguhkan saya TNI (Tua Nakaf Insana). Disoda madu asli Amfoang. Untuk memulihkan stamina yang loyo setelah berkendaraan Kupang-Kefamenanu. Romo Bento menyaranku tidak berteman 'TNI'. "Lebih baik kaka istirahat. Jangan sampai TNI membuat tambah loyo. Besok jalan jauh," nasihatnya.
***
PUKUL 17.00 wita. Molor satu jam dari rencana semula. Gara-gara Kefamenanu kehabisan BBM, solar. Petualangan ke Oepoli dimulai. Tarsi, 'pengendali' roda empat diangkat sebagai pemandu. Menjawabi instruksi Romo Bento.

"Harus ada sesuatu yang direkam dalam perjalanan ini. Jalankah, apakah... Terserah wartawan saja," ujar Romo Bento seolah-olah mengingatkanku agar safari ini jangan dilewatkan begitu saja.

Horison sore dari barat membuat perjalanan poros Kefamenanu-Eban terasa menyenangkan. Jalan mulus. Berkelok-kelok menyusuri Bijaepasu, Tuabatan, Haulasi, Fatutasu, Saenam. Disuguhi pemandangan alam yang hijau ditingkahi kicauan burung di balik pohon-pohon kelapa, kemiri dan mangga berbuah lebat.

Di Tuabatan, alam desa beraroma kental. Petani-petani membalik tanah, menyambut musim tanam. Terdengar siulan, jenaka, menghalau kejenuhan. Alam desa yang masih 'perawan' menyemangati petani mengakrabi profesi. Memoriku puluhan tahun silam seperti disegarkan kembali. Tatkala selepas sekolah dasar mencangkul kebun, di musim-musim seperti ini. "Menjadi petani itu mulia. Bukan profesi rendahan," gumamku.

Tak terasa, dinginnya hawa Eban menusuk kulit. Pohon-pohon jeruk 'menyapa.' Mentari kembali ke peraduannya. Puncak Mutis diselimuti awan. Jalan mulai bergelombang, berlubang, oleng kiri, oleng kanan. Maju kena, mundur kena. "Kita putar lagu ja'i saja supaya iramanya pas. Mulai dari sini sampai Oepoli jalannya parah. Kita goyang terus. Makanya pilih musik yang pas," Tarsi memainkan peranannya. "Atur sa bu," Silvester, si kepala pelontos, menyela.

Di Oelbinose. Mata mulai disuguhi ketandusan dan kegersangan tanpa batas. Kesan pertama yang tertangkap, memang sebuah suasana alam yang kurang bersahabat, serba kritis dan cenderung 'kejam.' Jalan mulai 'dipagari' topografi kemiringan. Mata pun terpaku pada kondisi jalan yang rusak parah, lekak-lekuk, berbatu-batu. Konsentrasi penuh.

Jika tak punya cukup nyali menjelajahi poros Eban-Noelelo, bisa-bisa 'menceburkan' diri ke jurang, meski mata dimanjakan oleh suasana alam desa nan eksotik. Tapi, Tarsi sudah 'makan garam' melintasi poros ini. "Santai saja, kita nikmati musik," ujarnya.

Di Aplal, asap mengepul. Api membara di atas lahan yang dibakar. Tampak kehitam-hitaman. Di kiri kanan ruas jalan. Tandus, gersang. Pohon-pohon meranggas. Semuanya terekam jelas tatkala mobil berjalan seperti bekicot. Kondisi jalan semakin parah. As jalan berbentuk seperti parit. Pada musim hujan semakin parah. Jalan raya itu menjadi selokan air.

Di jalan itu, warga yang melintasinya ngos-ngosan. Berkeringat. Terlihat mereka memikul beras berkarung putih. Beras raskin. "Mereka pulang terima raskin. Biar jalan mendaki, yang penting dapat raskin," ujar Tarsi mengomentasi sesama 'bangsanya.'

Sungai Aplal dilewati tanpa hambatan. Berjalan di antara bebatuan dan pasir yang tak berair. Air sungai yang bersumber dari Gunung Mutis itu hampir kering. Gara-gara kemarau. Di musim hujan, kata Romo Bento, ceritanya lain. Kendaraan tak bisa lewat. Penumpang harus menunggu berjam-jam sampai air surut. "Kalau penumpang lapar, pemilik kendaraan harus siapkan makan. Kalau musim hujan nanti pemilik kendaraan harus bawa beras dan sayur. Kalau jalan rusak menunggu diperbaiki, sungai banjir menunggu redah, atau bus rusak, ya penumpang masak nasi dan sayur untuk makan bersama. Itu cerita menarik melawati ruas jalan ini. Saya pernah mengalaminya. Dari Kefamenanu sampai Oepoli bisa seminggu," ujar Romo Bento.

Cerita Romo Bento 'melupakan' terjalnya jalan dari Aplal hingga Naekake. Guncangan semakin hebat. Mulai loyo. Melepas lelah, kami beristirahat di sebuah kios, depan Gereja Naekake. Menikmati lemet. Tolakannya kopi dan teh. Gratis. Maklum jalan dengan pastor. Bayarannya terima kasih.

Pulih, petualangan dilanjutkan. Menapaki Naekake. Kami berhenti di kawasan tempat dibangunnya rumah layak huni untuk masyarakat terpencil. Tepatnya di Naekake B. "Pak Benny foto dulu. Ini rumah-rumah belum rampung. Tapi kontraktor melapornya ke Kupang 100 persen. Lihat, hampir semuanya belum berdinding. Ada yang belum beratap. Kayu-kayu bangunan disiapkan masyarakat, padahal dananya ada," Romo Bento memberi informasi. Saya mencatatnya.

Ruas Naekake menuju Noelelo menantang maut. Jalan berlubang-lubang. Menyusur perlahan menuruni tebing-tebing curam. Tapi suasana mengasyikkan. Terang rembulan. Petualangan semakin bergairah. Menikmati rembulan, kami beristirahat di Sungai Noelelo yang kering. Sungai yang membatasi wilayah Kabupaten TTU dengan Kabupaten Kupang. "Kemarau tahun ini memang sangat kejam. Sungai Noelelo ini sampai kering. Padahal tidak biasanya," ujar Romo Bento. Momen ini kami abadikan dengan pose bersama.
***
PUKUL 21.05 wita. Petualangan memasuki wilayah Kabupaten Kupang. Dari Noelelo mendaki membelah bukit yang dipenuhi pepohonan. Mobil melaju, jalan beraspal. Di beberapa titik ada perbaikan, pengerasan, dilapisi aspal baru. Meski hari telah malam, para pekerja terlihat masih mengkrabi linggis dan skop.

Romo Bento berkomentar lagi. "Pengawasan pengerjaan proyek di daerah terpencil ini harus lebih sering dilakukan. Jangan-jangan karena keterpencilannya, orang mengabaikan mutu. Apalagi kalau pengawas tinggal di tempat. Lebih parah lagi," tegas Romo Bento.

Di kawasan hutan di wilayah ini, ditemukan atrasi warga yang memrihatinkan. Hutan dibabat, dibakar, dijadikan lahan pertanian. Tak ada terasering. Malam itu, kondisi ini menjadi tontonan menarik. Melukai pesona keindahan alam pegunungan yang seharusnya menjadi primadona lingkungan.

Di Pos Sungai, panorama kesuburan Oepoli mulai terlihat. Ada irigasi mengalirkan air ke lokasi persawahan yang membentang luas. Romo Bento memberi garansi potensi alam Oepoli dengan tingkat kerusakan yang relatif kecil sangat menjanjikan. Teramat banyak pilihan bagi siapa saja untuk membangun Oepoli, asalkan dengan hati yang tulus. Pasalnya, 'sekujur tubuh' Oepoli menyimpan aura kesuburan yang tidak terbantahkan. Di Pos Tengah, areal sawah Oepoli mulai membentang luas. Banyak lahan-lahan tidur masih 'pulas.' Belum tergarap.

Pukul 22.34 wita, kami tiba di Pastoran Oepoli. Duduk-duduk sebentar di teras. Melemaskan raga yang kaku kelamaan duduk. Menuturkan lagi cerita-cerita 'aneh' seputar transportasi Kefamenanu-Oepoli bak 'neraka.' Lebih banyak cerita duka di musim hujan. "Kalau musim hujan Oepoli ini sangat terisolasi. Yang sengsara ibu-ibu kalau persediaan pembalut habis. Kalau Om Niko Ledoh, sopir bus Merpati ke Kefamenanu, banyak ibu-ibu titip uang beli pembalut. Saat hujan, barang itu susah cari di Oepoli, habis dibeli untuk stok," ujar Silvester, teman seperjalanan mengangkat angle menarik. Om Niko? Mengamininya. Pun beras dan sayur untuk 'pesta' di jalan. (bersambung)

Tidak ada komentar:

SYALOM