Selasa, 17 Maret 2009

Mbatakapidu dan Keladi Putih

Oleh Adiana Ahmad

MBATAKAPIDU
berada dalam wilayah Kecamatan Kota Waingapu. Daerahnya berbukit, memiliki satu sumber mata air yang menyokong kebutuhan air bersih Kota Waingapu. Mbatakapidu berada di pinggiran Kota Waingapu. Luasnya 288 kilometer persegi, dihuni oleh 322 kepala keluarga atau 1.495 jiwa.

Meski berada di pinggiran kota, mayoritas penduduk wilayah ini petani. Dari 322 kepala keluarga yang ada di Mbatakapidu, 265 KK berprofesi sebagai petani. Jarak Kota Waingapu ke pusat Desa Mbatakapidu sekitar 11 kilometer.

Jika kita menjelajahi seluruh wilayah desa ini, kita akan menemukan dua kondisi yang sangat kontras. Di bagian barat wilayahnya sangat subur, sementara di bagian Timur sangat gersang. Bahkan beberapa waktu yang lalu di wilayah ini terdapat beberapa anak dan balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang. Ini terjadi karena asupan gizi rendah sebagai dampak dari kekurangan pangan. Pada umumnya masyarakat yang mengalami gizi kurang atau rawan pangan bermukim di antara bukit, terisolir dan sulit dijangkau oleh pelayanan umum.

Makanan pokok masyarakat di bagian timur desa ini adalah jagung. Bila memasuki masa paceklik, masyarakat masuk hutan untuk mencari iwi (ubi hutan). Ubi hutan merupakan makanan alternatif pengganti jagung. Bagi orang luar, iwi identik dengan kelaparan. Padahal bila dikelola dengan baik, maka iwi bisa menghasilkan berbagai makanan dengan rasa yang cukup lezat.

Kondisi alam yang kurang bersahabat ini membangkitkan rasa solider dari masyarakatnya. Mereka membentuk kelompok dan setiap hasil panen sebagiannya disisihkan ke lumbung pangan desa atau lumbung pangan kelompok. Jagung yang disimpan di lumbung kelompok ini, selain untuk mengantisipasi kesulitan pangan pada masa paceklik, juga untuk benih ketika masuk musim tanam tahun berikutnya.

Sementara masyarakat di bagian Barat Mbatakapidu lebih beruntung karena daerahnya subur. Di sini terdapat mata air dan beberapa sungai. Sumber mata air ini yang menyuplai air bersih untuk Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur.

Masyarakatnya hidup berkelompok. Sampai tahun 2008, terdapat enam kelompok tani di daerah ini. Masing-masing kelompok tani memiliki saung atau tempat pertemuan. Di saung inilah berbagai masalah kelompok dibicarakan, termasuk rencana program kelompok dalam satu tahun.

Satu hal menarik yang bisa kita temukan di desa ini yakni semangat masyarakat untuk kembali membudidayakan pangan lokal. Mulai dari jagung, singkong, ganyo dan terakhir talas atau keladi putih.

Melihat antusiasme masyarakat untuk kembali ke pangan lokal, pemerintah daerah Sumba Timur kemudian mencanangkan Mbatakapidu sebagai pusat pengembangan pangan lokal. Dari Mbatakapidu pemerintah Kabupaten Sumba Timur akan memperluas ke wilayah lain di daerah itu.

Sampai dengan awal tahun 2009, sudah 31.750 anakan keladi putih ditanam di Kabupaten Sumba Timur di atas 17,7 ha hamparan (25.000 anakan/ ha, bukan 25.000 ha). Sebanyak 9.250 anakan dari jumlah tersebut ditanam di Desa Mbatakapidu.

Untuk mempermudah pemeliharaannya, pemerintah memberikan bibit kepada petani dengan pola penanaman secara tumpang sari. Menurut penyuluh yang mendampingi para petani di desa itu, Lukas R Malo, keladi putih memiliki keunggulan karena diminati oleh semua lapisan masyarakat, sekali tanam panen berkali-kali, tidak dimakan ternak dan ditanam secara tumpang sari.

Keladi putih juga tahan terhadap serangan penyakit, berguna untuk konservasi lahan, produk tahan lama dan prospek pasar cukup cerah. Mbakapidu, katanya, merupakan salah satu desa yang cukup potensial untuk pengembangan pangan lokal seperti keladi putih, selain karena alamnya cocok juga karena semangat masyarakatnya yang cukup tinggi untuk mengembangkan tanaman ini dan berbagai tanaman pangan lokal.

Karena itu, Lukas mengatakan, pihaknya akan terus mendorong masyarakat di desa itu melalui pendampingan-pendampingan hingga suatu saat Mbatakapidu menjadi daerah sentra pangan lokal untuk Sumba Timur. (*)

Tidak ada komentar:

SYALOM