Oleh Kanis Jehola
LANGKAH nenek Martha Ndinde (alm) terlihat berpacu cepat. Tak berapa lama ia sudah memasuki tangga rumah yang saya tinggal. "Tok.. tok.. tok.., " nenek Martha Ndinde mengetuk pintu dapur sambil menyapa nia ngaok (apa kabar). Ia pun masuk ke dalam dapur rumah yang saya tinggal dan langsung duduk di samping mamaku (mama besar) yang memeliharaku.
"Mai cee gite bo kudut tegi hi nana ngo lompong le mbaru to'ong/saya datang meminta izin (sama mama besar) supaya nana (panggilan untuk laki-laki di Manggarai, red) makan di rumah sebentar," kata nenek Martha Ndinde.
Mendengar permintaan itu, hati saya berbunga-bunga. Sebab biasanya, kalau dipanggil seperti itu pasti ada makanan yang enak. Ya, biasanya makan daging, ikan atau setidaknya makanan jenis lain yang rasanya enak ala kampung. Sebab saya adalah cucu sulung dari putra nenek yang sulung. Dan, saat itu, tinggal bersama mama besar. Rasanya memang sangat beruntung. Dimanja di mana-mana.
Setelah permintaan dikabul, saya pun tak lama menunggu. Mohon izin mama besar dan langsung angkat kaki. Hanya dalam tempo hitungan menit, saya sudah berada di rumah nenek yang jaraknya hanya sekitar 25 meter dari rumah yang saya tinggal.
"Mai ga (masuk sudah)," kata nenek Ndinde mempersilahkan saya masuk. Baru semenit duduk, nenek Ndinde membawa dua buah piring ke hadapan saya. Satu piring berisi nasi putih (ndauk bakok sebutan warga setempat), dan satu piring berisi mie yang baru dimasaknya. Hang ga (makan sudah). Saya pun langsung memakannya.
Saat itu memang belum semua warga di kampung yang rutin makan ndauk sehari. Tapi bagi kami -- setidaknya saat saya mulai mengenal makan -- makan ndauk bukan hal baru. Itu makanan kami sehari-hari. Maklum di kampung itu, keluarga kami tergolong yang punya sawah cukup banyak. Yang beda cuma karena ndauk yang disuguhkan sang nenek adalah ndauk bakok. Rasanya lebih lembut, karena hasil penggilingan. Sedangkan ndauk yang kami makan sehari-hari adalah ndauk dari beras tumbuk di lesung. Sudah tentu rasanya beda. Dan, yang istimewa, karena ndauk bakok yang dimakan saat itu disuguhkan bersamaan dengan mie.
Itulah kondisi yang terjadi di Kampung Rentung, Desa Goreng Meni, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai, sekitar tahun 1970-an. Saat itu saya belum masuk SD. Kehidupan di kampung saat itu masih tergolong susah. Makan ndauk dari beras hasil penggilingan termasuk barang langka. Ndauk tersebut tidak bisa didapatkan di desa atau di ibukota kecamatan, karena saat itu belum ada kios. Begitu pun mie, minyak goreng, ikan kering dan berbagai jenis makanan enak lainnya.
Untuk mendapatkan barang tersebut, orang harus pergi ke Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai atau ke Reo. Untuk ke Ruteng atau ke Reo biasanya harus jalan kaki sepanjang hari dari pagi sampai sore. Dan, untuk ke Ruteng atau ke Reo pun kalau ada perlu penting. Misalnya, saat menjual kacang hijau, kemiri atau kopi.
Dan, ketika mencium aroma goreng ikan kering atau melihat orang makan mie, bisa dipastikan bahwa ada di antara keluarga tersebut yang baru pulang dari Kota Ruteng atau dari Reo. Kalau tidak, di rumah tersebut ada tamu istimewa. Dan, urusan goreng menggoreng saat itu tidak sembarang orang. Masih sebatas orang tertentu, orang yang dipandang cukup 'berada' di kampung.
Itu cerita masa lalu. Cerita puluhan tahun yang lalu. Kehidupan masyarakat di kampung itu saat ini sudah jauh berbeda. Urusan goreng menggoreng dan makan mie bukan lagi barang yang istimewa atau luar biasa. Juga bukan lagi makanan keluarga tertentu yang dinilai 'berada.' Barang tersebut juga bukan lagi termasuk barang langka. Semuanya dengan mudah didapat. Kios-kios di kampung sudah bertumbuh. Persaingan usaha antar satu keluarga dengan keluarga lain sangat terasa.
Mendapat penerangan listrik bukan lagi sekadar mimpi. Mereka sudah bisa menikmatinya karena sudah bisa membeli genset sendiri. Beras putih hasil penggilingan pun tidak lagi sulit didapatkan. Di kampung sudah ada mesin giling. Gabah kering yang baru dipanen langsung digiling untuk mendapatkan beras. Ibu-ibu dan nona- nona kini sudah bermanja. Tidak lagi harus capek menumbuk padi. Tangan mereka tidak lagi melepuh karena memegang alu menumbuk padi. Semuanya digiling. Untuk pembayarannya, tergantung negosiasi dengan pemilik mesin giling. Dibayar dengan uang atau dibarter dengan beras.
Makan ndauk, kini bukan lagi hanya dirasakan oleh keluarga yang punya sawah. Warga yang tidak punya sawah pun sudah rutin makan ndauk bakok. Meski masih makan jagung dan ubi-ubian, tapi rasanya belum cukup kalau setiap kali makan mereka belum makan ndauk. Untuk mendapatkan ndauk, mereka berlomba- lomba mencari uang. Caranya macam-macam. Bisa dengan menjadi tenaga buruh pada proyek-proyek pemerintah, juga bisa dengan menjadi pedagang. Singkat cerita, untuk mendapatkan ndauk mereka bisa bekerja apa saja, asalkan setia hari makan ndauk. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar