Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (2)
Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad
PENGANUT kepercayaan marapu meyakini kematian sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang menuju kebahagiaan sejati. Walau sudah dibaptis menjadi penganut Kristen, baik Protestan maupun Katolik, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, masih meyakini kepercayaan warisan leluhur itu, sehingga setiap kematian, tata upacara pemakaman dilakukan secara marapu.
Ada yang melakukan seremoni itu secara sederhana, ada pula yang spektakuler dengan memotong ratusan ekor hewan, dihadiri ratusan rombongan adat. Semuanya tergantung strata sosial di masyarakat. Yang jelas tata upacara pemakaman umbu maramba berbeda dengan hamba atau papanggang. Jika yang meninggal dunia keturunan bangsawan atau raja, apalagi ekonomi sanak keluarga tergolong mampu, maka tata upacaranya betul-betul spektakuler. Meriah, gegap gempita. Prestise keluarga dipertaruhkan.
Bagi pemeluk marapu, upacara pemakaman atau penguburan merupakan saat-saat penting untuk melapangkan jalan arwah ke Parai Marapu (surga). Diyakini seseorang tidak dapat menuju Parai Marapu jika tidak ada pertolongan dari leluhur sehingga perlu dilakukan upacara menurut adat istiadat di tanah seribu batu kubur itu. Besarnya arti kematian dapat dilihat dari megahnya kubur megalitik atau batu kubur. Kemewahan sebuah upacara penguburan bervariasi, tergantung status sosial orang yang meninggal dan kemampuan ekonomi keluarga yang menyelenggarakan upacara pemakaman itu. Semakin mampu keluarga yang meninggal semakin megah batu kuburnya dan semakin mahal ongkosnya.
Walau peradaban bangsa ini sudah maju, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, tetap melestarikan tata upacara pemakaman warisan leluhur tanah marapu itu. Kepercayaan terhadap tata upacara pemakaman marapu tak pernah memandang jabatan, pangkat dan status sosial semasa hidup. Bagi masyarakat Sumba Timur, kematian adalah urusan keluarga, urusan marga sehingga embel-embel jabatan yang diemban semasa hidup ditanggalkan, apalagi strata sosial orang yang mati berasal dari keluarga bangsawan atau turunan raja seperti Ir. Umbu Mehang Kunda, Bupati Sumba Timur periode 2005-2010 yang meninggal dunia Sabtu 2 Agustus 2008 lalu.
Jenazah Umbu Mehang Kunda disimpan selama 102 hari di uma bokul (rumah besar) di Kampung Prai Awang, Rende, dan baru dimakamkan Senin, 10 November 2008, melalui prosesi adat marapu pemakaman raja-raja Sumba. Semalam sebelum jazad almarhum dihantar ke liang lahat, dilantunkan kisah hidup dan silsilah almarhum Umbu Mehang Kunda melalui nyanyian oleh para wunang (juru bicara) diikuti tangisan papanggang (hamba) perempuan di samping kiri dan kanan jenazah yang disemayamkan di uma bokul (rumah adat).
Para wunang duduk berjejer di balai-balai uma bokul, tepat di pintu masuk menuju tempat persemayaman jenazah. Syair-syair adat dengan bahasa yang dalam dan sulit diterjemahkan terus dilantunkan. Iramanya seperti kidung kematian diawali dengan nada yang sangat tinggi, semakin larut malam nadanya semakin menurun, merdu dan haru. Koor dan solo sahut menyahut diiringi gong irama kandaki manaih.
Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, juru bicara keluarga anamburung, nyanyian para wunang selain mengisahkan turun temurun dan perjalanan hidup almarhum, juga memohon kepada Mawulu Tau Maji Tau (sang pencipta manusia yang digambarkan sebagai perempuan yang disebut Ina Pakawurungu (ibu sejagat raya) dan Ama Pakawurungu yang disebut ama ndaba (bapak sejagat raya). Masyarakat Sumba Timur yang masih meyakini kepercayaan marapu percaya kalau Ina mbulu dan Ama ndaba adalah orang yang bermata dan bertelinga besar, Na mabakulu wua mata-na ma mbalaru kahilu, yang dapat melihat dan mendengar dengan sempurna apa yang dikatakan atau permohonan orang hidup dan mengetahui setiap perbuatan manusia. Mereka itulah yang memberikan kesuburan dan kesejahteraan di bumi sandelwood.
Sedangkan tangisan papanggang wanita menyesali mengapa armarhum meninggal. Bagaimana sudah? "Kami tak berkuasa melepas kepergian tuan, kami hanyalah manusia biasa, kami hanyalah orang tak berdaya, yang kami miliki hanyalah tangisan." Saat menangis para papanggang juga memohon kepada Ina mbulu dan Ama ndaba untuk mendengar keluh kesah dan melihat duka nestapa yang mereka alami. Mereka sudah tak berdaya karena ditinggal pergi sang raja, tuan yang dihormati dan disegani, tuan yang mengayomi mereka. Tangisan ini dilantunkan sejak jenazah almarhum disemayamkan di uma bokul.
Semalam sebelum jenazah dihantar ke liang lahat, para papanggang semakin sedih. "Tinggal semalam kami menyembah tuan, tinggal sesaat kami melihat tuan, sebentar lagi tuan akan pergi, pergi meninggalkan kami. Kami siap mengantar tuan menuju alam yang sejahtera."
Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, itulah isi singkat dari nyanyian para wunang dan tangisan papanggang menjelang hari pemakaman jenazah almarhum. Nyanyian dan tangisan ini, katanya, bukan hanya untuk almarhum Umbu Mehang Kunda, tapi untuk kematian bangsawan atau raja-raja lain. Cuma pesan yang disampaikan sesuai dengan kesan semasa hidup.
Almarhum Umbu Mehang Kunda adalah orang yang menentang pemberlakukan kasta antara bangsawan dengan papanggang atau hamba. Sejak almarhum menjabat Bupati Sumba Timur tahun 2000, dia melarang kultur pemakaman raja-raja yang diikuti dengan papanggang atau hamba, karena melanggar hak asasi manusia. Ini dibuktikan ketika beliau dimakamkan. Tidak ada papanggang atau hamba setia yang ikut dikuburkan bersama beliau.
Menurut Umbu Maramba Hau, semasa hidupnya Mehang Kunda melarang raja-raja di Sumba Timur mati membawa hamba atau papanggang. Beliau meminta keluarga anamburung memberikan contoh. Apalagi keluarga anamburung telah mengharamkan itu sejak nenek moyang mereka. Keluarga anamburung sangat menghormati dan menghargai sesama manusia sehingga tidak membiasakan raja mati diikuti hamba setia.
Kembali ke nyanyian para wunang dan tangis papanggang. Kidung-kidung yang dilantunkan para wunang juga memohon ampun atas salah dan dosa almarhum semasa hidup dan meminta sang penguasa jagat memberikan jalan yang lebar agar arwahnya tak terhambat saat menuju Prai Marapu (surga).
Malam itu juga disembelih seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk dilihat hati dan tali perutnya. Hati babi dan tali perut ayam Ama bokol hama (Pendeta Marapu) untuk mengetahui isi hati almarhum kepada sanak keluarga yang ditinggalkan. Jika almarhum atau nenek moyang marah, hati babi atau tali perut ayam memberi tanda khusus. Seperti apa hasilnya? (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar