SEPANDAI-PANDAINYA tupai melompat, suatu saat pasti terjatuh juga. Hal yang sama terjadi pada Mikael Bria dkk. Memiliki "spesialisasi" melakukan pencurian uang dengan jumlah puluhan juta rupiah, Mikael Bria, akhirnya merengang nyawa ditembus peluru aparat keamanan di kampung halamannya di Betun, Kabupaten Belu.
Belakangan ini, masyarakat memang diresahkan dengan aksi pencurian yang dilakukan komplotan pencuri yang disinyalir sudah sering beraksi. Sasarannya adalah brankas kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah. Puluhan, bahkan ratusan juta rupiah mereka jarah. Polisi pun dipaksa bekerja keras mengeluarkan semua jurus terbaiknya untuk mengungkap berbagai kasus pencurian ini.
Ada pengakuan mengejutkan yang dilontarkan rekan- rekan Mikael Bria kepada polisi. Membawa Rp 30 juta dari Kupang, mereka habiskan untuk berfoya-foya di Kelimutu-Ende. Pulang dari Ende, mereka bukan melenggang kosong, tapi membawa pulang Rp 200 juta. Benarkah demikian? Mengapa selama ini tidak pernah terungkap kalau ada kasus perampokan di Ende yang nilai kerugiannya mencapai ratusan juta rupiah? Ataukah polisi sudah mengetahuinya hanya saja tidak terendus media massa?
Saat ini Mikael Bria sudah tewas, rekan-rekannya ikut dibekuk. Lalu, apakah berarti tuntas sudah pengusutan kasus-kasus pencurian ini? Pertanyaan yang sulit dijawab. Meski dikenal sebagai residivis, belum tentu kasus-kasus pencurian yang belum terungkap ini pelakunya adalah Mikael Bria dan komplotannya. Untuk itu, polisi masih harus bekerja keras dalam kelanjutan dari proses pemeriksaan terhadap kawanan perampok ini.
Informasi yang diperoleh dari pihak kepolisian, Mikael Bria yang sudah tewas tertembak ini adalah otak di balik semua kasus perampokan yang sudah terjadi. Dialah yang merancang dan menyusun strategi sebelum melakukan aksi. Dia yang menentukan jumlah yang harus diterima anggota dari 'hasil kerja' mereka. Lalu, apakah kita lalu mengiyakan semua informasi ini untuk kemudian mengatakan bahwa semua pelaku perampokan yang selama ini meresahkan masyarakat Kota Kupang dan daerah lainnya sudah terungkap, dan kita sudah aman?
Salut dan aplaus harus kita berikan kepada aparat Polresta Kupang dan Polda NTT yang bekerja keras dan memburu kawanan perampok ini hingga daerah Betun dan berhasil membekuk mereka. Polisi juga memiliki kecakapan yang mengagumkan sehingga mampu melumpuhkan Mikael Bria dkk sebelum mereka diserang menggunakan senjata api rakitan yang dimiliki kawanan perampok ini. Melelahkan, namun berhasil.
Namun, setelah semua itu berhasil dilakukan, harus diikuti dengan penjelasan tentang dimana, berapa jumlahnya dan apa saja yang sudah berhasil dirampok. Ini mutlak dilakukan. Pasalnya di beberapa instansi pemerintah dan sekolah-sekolah, beberapa staf bahkan pimpinan sudah menjadi 'korban' dari kasus kehilangan yang mereka alami. Ada yang dimutasi, ada yang dipaksa mengganti uang yang hilang hanya karena dia yang bertanggungjawab menyimpannya, bahkan ada yang harus dipenjarakan. Artinya, ketika polisi mengumumkan bahwa Mikael Bria dkk adalah perampok brankas di instansi A atau B, maka 'hukuman moril' yang menjadi beban staf di sana akan terhapus dengan sendirinya.
Setelah semua ini dilakukan, saran buat aparat kepolisian adalah melakukan sosialisasi tentang pengamanan standar atau bagaimana seharusnya menyimpan uang di kantor. Tips-tips menyimpan uang yang aman harus disosialisasikan, misalnya, menyimpan uang di bank lebih aman ketimbang menyimpan di brankas, apalagi jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Modus-modus operandi perampokan yang sudah pernah diungkap harus diberitahu. Ini, bukan dengan maksud untuk mengajar orang lain berbuat hal yang sama, tetapi agar masyarakat mewaspadainya. Mewaspadai orang- orang baru yang datang ke kantor ataupun staf sendiri harus tetap ada, karena semua cara bisa dilakukan oleh para perampok bila sudah punya niat untuk melakukan aksinya.
Satu pesan terakhir, prestasi yang dilakukan aparat kepolisian dari Polresta Kupang ini harus menjadi tantangan bagi kepolisian di daerah lain di NTT. Bobolnya brankas di SoE-TTS dan daerah lainnya hingga kini belum terungkap. Belum ada satu orang pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Proses penelusuran yang dilakukan Polresta Kupang harus dijadikan contoh. Komitmen untuk melindungi masyarakat terlihat dari keseriusan mengungkap sebuah kasus. *
Senin, 30 Maret 2009
NTT
HARI ini di hari yang mulai terik menggigit memasuki musim pancaroba, apalagi yang kurang dari altar Nusa Tenggara Timur? Semua nyaris lengkap dan sempurna. Tersaji rapi, elok dan apik di beranda rumah kita.
Kekerasan mengental bergumpal. Bergolak, menghentak, meledak-ledak dengan wajah tanpa dosa. Tanpa penyesalan setetes pun. Bunuh-membunuh. Bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Dingin nian menikam mati sang kekasih, istri, suami atau saudara sendiri.
Di sini orang merasa boleh menyirami tubuh dengan bensin atas nama cinta. Berlabelkan kasih sayang. Siram bensin sekujur tubuh yang letih lalu tubuh itu dibakar. Kematian pasti bagi manusia. Tapi haruskah mati dengan cara demikian?
Apa yang kurang di rumah Flobamora? Sel tahanan bukan tempat yang aman. Sel itu ladang pembantaian. Kurung untuk dibunuh. Di balik jeruji, di kamar tak seberapa luas serta pengap itu, nyawa anak manusia yang mencari keadilan berakhir sadis. Tubuh kaku terbujur tak padamkan amarah. Rongga dada baru terasa plong setelah potong alat vital. Gila!
Apa yang kurang dari NTT hari ini? Hampir semua sudah melihat dan mendengar tentang pipi pejabat memerah, lebam, bengkak entah karena dipukul, memukul atau bakupukul di depan umum. Luar biasa.
Ya, apa yang kurang? Bahkan seorang imam Tuhan, gembala umat, rohaniwan "dihabisi" denyut kehidupannya dengan cara menyayat hati. Sadisme sudah menjadi menu harian. Keramahan, kelembutan, loyalitas makin mahal harganya. Telah demikian jauhkah perubahan manusia Flobamora? Kita semakin kerdil-primitif atau kian beradab?
Hukum meringkik genit. Menertawakan logika, menebar ragu, menebalkan cemas. Bukti-bukti dicandatawakan. Canda tak lucu. Tebang pilih bukan mimpi di hutan tandus sabana. Pohon kuat kuasa, siapa berani babat? Kita bangga menghukum yang lemah. Berani cuma pada kaum pinggiran.
Ranking survei korupsi number one, tapi sakit masih bisa disinetronkan. Inspirasi opera sabun. Hasil visum tergantung pesanan. Mau luput, gampang! Tersedia ahli yang mengerti hidup. Yang bisa kerja sama asal sama mengerti maunya. Yang salah bisa benar, yang benar disalahkan.
Kalau tuan dan puan jadi tersangka, ikut saja modus yang sudah terbukti mumpuni. Sehari dua dalam tahanan, ekspresikan muka pucat pasi, badan panas dingin, napas terengah-engah. Niscaya penyidik akan iba. Dokter-perawat tak tega melihat. Tuan pindah ke rumah sakit. Diperiksa lengkap serta tes laboratorium. Kuat kuasa, siapa berani lawan? Kalau puan miskin papa sebaiknya tidak latah. Perkara boleh sama, nasib bisa berbeda.
Apa yang kurang di beranda kita? Bekas galian yang lupa tutup membunuh anak-anak tak berdosa. Ketika maut itu datang, di manakah negara? Mereka tahu tapi tak mau menyahut. Tiga anak meregang nyawa di kolam galian dalam dua bulan, bukan apa-apa. Toh mereka bukan siapa-siapa.
Es potong merenggut dua nyawa di Amanuban. Lebih dari 100 orang dirawat. Es potong memotong kehidupan remaja kita yang sedang gairah menatap hari depan. Es menanam derita, menimbun trauma panjang. Si penjual es entah ke mana? Hai, Nusa Tenggara Timur, masih pantaskah tuan tidur-tiduran saja? Tidur lebih lama?
Setelah pembagian kamera gratis, setelah Lamalera berjingkrak bangga memotret diri sendiri, datanglah kata konservasi. Konservasi Laut Sawu demi ikan paus. Apa kabar nelayan Lamalera? Mari sekejap membuka hati, mata dan otak. Ikan paus itu kehidupanmu. Jatidirimu sejak berabad-abad lalu.
Setengah abad yang lalu Bung Karno sudah berseru-seru. Siapa bilang kolonialisme telah mati? Kita junjung konservasi. Kita Konservasi untuk siapa? Yang gratis belum tentu tanpa pamrih. Hak hidupmu. Jangan biarkan dia terenggut...
Semen Kupang ada menandai pesta perak Flobamora. Duapuluh lima tahun kemudian, asap tak lagi mengepul di langit Alak. Bara Semen Kupang padam saat NTT usia emas. Salah siapa, ini dosa siapa? Sudah terlalu lama nasib kita bergantung pada orang. Diatur. Diobok-obok pihak lain. Kita susah, di manakah mereka? Terlalu mengada-adakah beta bertanya demikian? Bangkit NTT- ku. Bangkit dan raih kembali kehormatan itu. "Jika pemimpin loyo, rakyat harus berani," kata Bung Kanis puluhan tahun lalu. Bayangkan kalau pemimpin juga berani?
Adakah yang kurang sempurna dari beranda Flobamora? Sepanjang 2008 kita menggelar 12 pemilihan umum kepala daerah dengan aman, sukses dan demokratis. Telah lahir duet pemimpin eksekutif. Campuran wajah lama dan baru. Pemimpin yang lebih energik, lebih menjanjikan banyak hal kepada rakyat.
Sekarang pemilu su dekat. Kita segera memilih pemimpin lagi. Memilih "Yang Terhormat". Mestinya Nusa Tenggara Timur lebih terhormat. Esok, mestinya tidak lagi terdengar kisah ini. Usai upacara bendera alias apel kesadaran tanggal 17 dalam bulan berjalan, sang kepala menatap wakil kepala. Dia bisikkan kata menantang, "Buktikan secara jantan bung! Beta tunggu di deker sana." Kalau pemimpin masih suka bakulipat, apa kata dunia? Flobamora yang letih tak perlu berkata lagi. Tertawa? Ah, tidak lucu kawan! (dionbata@poskupang.co.id)
Kekerasan mengental bergumpal. Bergolak, menghentak, meledak-ledak dengan wajah tanpa dosa. Tanpa penyesalan setetes pun. Bunuh-membunuh. Bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Dingin nian menikam mati sang kekasih, istri, suami atau saudara sendiri.
Di sini orang merasa boleh menyirami tubuh dengan bensin atas nama cinta. Berlabelkan kasih sayang. Siram bensin sekujur tubuh yang letih lalu tubuh itu dibakar. Kematian pasti bagi manusia. Tapi haruskah mati dengan cara demikian?
Apa yang kurang di rumah Flobamora? Sel tahanan bukan tempat yang aman. Sel itu ladang pembantaian. Kurung untuk dibunuh. Di balik jeruji, di kamar tak seberapa luas serta pengap itu, nyawa anak manusia yang mencari keadilan berakhir sadis. Tubuh kaku terbujur tak padamkan amarah. Rongga dada baru terasa plong setelah potong alat vital. Gila!
Apa yang kurang dari NTT hari ini? Hampir semua sudah melihat dan mendengar tentang pipi pejabat memerah, lebam, bengkak entah karena dipukul, memukul atau bakupukul di depan umum. Luar biasa.
Ya, apa yang kurang? Bahkan seorang imam Tuhan, gembala umat, rohaniwan "dihabisi" denyut kehidupannya dengan cara menyayat hati. Sadisme sudah menjadi menu harian. Keramahan, kelembutan, loyalitas makin mahal harganya. Telah demikian jauhkah perubahan manusia Flobamora? Kita semakin kerdil-primitif atau kian beradab?
Hukum meringkik genit. Menertawakan logika, menebar ragu, menebalkan cemas. Bukti-bukti dicandatawakan. Canda tak lucu. Tebang pilih bukan mimpi di hutan tandus sabana. Pohon kuat kuasa, siapa berani babat? Kita bangga menghukum yang lemah. Berani cuma pada kaum pinggiran.
Ranking survei korupsi number one, tapi sakit masih bisa disinetronkan. Inspirasi opera sabun. Hasil visum tergantung pesanan. Mau luput, gampang! Tersedia ahli yang mengerti hidup. Yang bisa kerja sama asal sama mengerti maunya. Yang salah bisa benar, yang benar disalahkan.
Kalau tuan dan puan jadi tersangka, ikut saja modus yang sudah terbukti mumpuni. Sehari dua dalam tahanan, ekspresikan muka pucat pasi, badan panas dingin, napas terengah-engah. Niscaya penyidik akan iba. Dokter-perawat tak tega melihat. Tuan pindah ke rumah sakit. Diperiksa lengkap serta tes laboratorium. Kuat kuasa, siapa berani lawan? Kalau puan miskin papa sebaiknya tidak latah. Perkara boleh sama, nasib bisa berbeda.
Apa yang kurang di beranda kita? Bekas galian yang lupa tutup membunuh anak-anak tak berdosa. Ketika maut itu datang, di manakah negara? Mereka tahu tapi tak mau menyahut. Tiga anak meregang nyawa di kolam galian dalam dua bulan, bukan apa-apa. Toh mereka bukan siapa-siapa.
Es potong merenggut dua nyawa di Amanuban. Lebih dari 100 orang dirawat. Es potong memotong kehidupan remaja kita yang sedang gairah menatap hari depan. Es menanam derita, menimbun trauma panjang. Si penjual es entah ke mana? Hai, Nusa Tenggara Timur, masih pantaskah tuan tidur-tiduran saja? Tidur lebih lama?
Setelah pembagian kamera gratis, setelah Lamalera berjingkrak bangga memotret diri sendiri, datanglah kata konservasi. Konservasi Laut Sawu demi ikan paus. Apa kabar nelayan Lamalera? Mari sekejap membuka hati, mata dan otak. Ikan paus itu kehidupanmu. Jatidirimu sejak berabad-abad lalu.
Setengah abad yang lalu Bung Karno sudah berseru-seru. Siapa bilang kolonialisme telah mati? Kita junjung konservasi. Kita Konservasi untuk siapa? Yang gratis belum tentu tanpa pamrih. Hak hidupmu. Jangan biarkan dia terenggut...
Semen Kupang ada menandai pesta perak Flobamora. Duapuluh lima tahun kemudian, asap tak lagi mengepul di langit Alak. Bara Semen Kupang padam saat NTT usia emas. Salah siapa, ini dosa siapa? Sudah terlalu lama nasib kita bergantung pada orang. Diatur. Diobok-obok pihak lain. Kita susah, di manakah mereka? Terlalu mengada-adakah beta bertanya demikian? Bangkit NTT- ku. Bangkit dan raih kembali kehormatan itu. "Jika pemimpin loyo, rakyat harus berani," kata Bung Kanis puluhan tahun lalu. Bayangkan kalau pemimpin juga berani?
Adakah yang kurang sempurna dari beranda Flobamora? Sepanjang 2008 kita menggelar 12 pemilihan umum kepala daerah dengan aman, sukses dan demokratis. Telah lahir duet pemimpin eksekutif. Campuran wajah lama dan baru. Pemimpin yang lebih energik, lebih menjanjikan banyak hal kepada rakyat.
Sekarang pemilu su dekat. Kita segera memilih pemimpin lagi. Memilih "Yang Terhormat". Mestinya Nusa Tenggara Timur lebih terhormat. Esok, mestinya tidak lagi terdengar kisah ini. Usai upacara bendera alias apel kesadaran tanggal 17 dalam bulan berjalan, sang kepala menatap wakil kepala. Dia bisikkan kata menantang, "Buktikan secara jantan bung! Beta tunggu di deker sana." Kalau pemimpin masih suka bakulipat, apa kata dunia? Flobamora yang letih tak perlu berkata lagi. Tertawa? Ah, tidak lucu kawan! (dionbata@poskupang.co.id)
Selasa, 17 Maret 2009
Menuju "Negeri di Awan" Hanya Dengan Rp10.000
Oleh Virna Puspa Setyorini
"...KAU mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan. Di mana kedamaian menjadi istananya ..."
Sepenggal lirik lagu milik Katon Bagaskara berjudul "Negeri di Awan" tersebut seolah mengiringi perjalanan pelajar dari SMK Paramita Jakarta ke tengah Rawa Pening, yang menggunakan lori di dataran tinggi Jawa Tengah.
Rangkaian lori berwarna putih milik PT Kereta Api (Persero) tersebut dengan perlahan membawa rombongan "membelah" rawa berukuran lebih dari 2.300 hektare yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Berangkat dari Stasiun Kereta Api Ambarawa, lori yang memuat lebih dari 30 anak-anak dan tujuh orang dewasa tersebut awalnya melewati rumah-rumah penduduk.
Suasana pedesaan tanah Jawa yang tetap sederhana walau mulai tersentuh modernisasi menyambut rombongan yang menumpang lori.
Setiap kali lori berkelok mengikuti rel kereta suara rombongan pelajar tersebut berteriak, "Heya, heya, heya". Dan disambung dengan tawa dan komentar-komentar khas remaja Ibukota.
Semakin jauh lori meninggalkan stasiun peninggalan Belanda tersebut, semakin beragam pula alam Ambarawa menampilkan raut wajahnya yang tidak membosankan untuk dinikmati.
Jajaran Gunung Merbabu, Telomoyo, Ungaran seperti membentengi semua orang yang berada di lori dan rawa yang hampir dipenuhi eceng gondok tersebut.
Sebelumnya hamparan sawah hijau yang di beberapa bagian menguning melengkapi pemandangan pegunungan yang berwarna abu-abu gelap dikejauhan.
Semakin lori mendekati pusat Rawa Pening, pemandangan tampak semakin sempurna dengan kombinasi sawah hijau, diikuti air rawa yang terlihat di kejauhan, gunung, awan putih, dan langit biru.
Rombongan pelajar kelas satu SMK Paramita yang awalnya riuh mulai tak bersuara. Entah apa yang ada di isi kepala mereka saat itu, namun yang jelas pemandangan tersebut tidak mereka temui di keseharian mereka.
Lori terus menyusuri rawa hingga pada akhirnya hanya air lah yang mendominasi. Dan lori seperti berjalan di atas air.
Pada posisi ini lah "Negeri di Awan" yang digambarkan Katon dalam lagunya seolah berada di depan mata. Damai seketika menyeruak, waktu seperti enggan berlalu.
Kawasan ini pula yang dijadikan tempat pengambilan gambar klip video lagu "Negeri di Awan" Katon.
Tapi, perjalanan lori kali ini tidak sampai Stasiun Tuntang, karena harus kembali karena tidak kuat mengangkut beban.
"Wah sayang nggak sampai Tuntang. Padahal ke arah sana juga ada pemandangan bagus," ujar Sugayo, salah satu penumpang yang sudah kesekian kalinya melalui salah satu jalur tertua kereta api di Indonesia tersebut.
Jika dalam kondisi normal biasanya lori memang akan membawa penumpang sampai Stasiun Tuntang. Melintas di bawah jembatan yang menghubungkan Ungaran dan Salatiga, sehingga akan terlihat oleh mereka yang hendak melintas ke Kota Solo atau Semarang.
Perjalanan satu jam menuju "Negeri di Awan" ini tidak memakan biaya besar. Hanya dengan uang Rp10.000 seseorang sudah bisa menikmati pemandangan nan elok dari alam Ambarawa dan rawa yang dikenal dengan legenda Baru Klinting.
Bagian jalur tertua
Setelah merasakan sendiri menyusuri "Negeri di Awan" dengan lori yang seolah berjalan di atas air, bisa jadi penumpang bertanya-tanya siapa yang begitu cemerlang mempunyai ide membuat jalur kereta di tengah rawa.
Jalur lintasan di Rawa Pening merupakan sambungan dari lintasan rel kereta api pertama di Indonesia, yang pangkalnya dikerjakan pada 7 Juni 1864 di desa Kemijen, Semarang.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1861-1866) Baron Sloet Van Den Beele sendiri yang mencangkul tanah sebagai penanda dimulainya pembangunan rel kereta api di desa Kemijen.
Butuh waktu tiga tahun sampai jalur rel sepanjang 25 km dari Semarang ke Tanggung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tersambung.
Perusahaan kereta api "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV NISM) yang dipimpin Ir J P de Bordes merupakan perusahaan perkeretaapian swasta yang membangun jalur tertua tersebut di Indonesia.
Jika pembangunan jalur rel kereta api Tanggung diteruskan hingga Solo atas dasar perekonomian. Maka alasan membuka jalur Semarang-Yogyakarta melalui Kedungjati dan Ambarawa merupakan bagian dari pertahanan sekaligus ekonomi.
Jalur tersebut bermula dari Kemijen, Semarang, melalui stasiun kecil yakni Brumbung yang menjadi titik perpisahan kereta menuju timur (Surabaya) dengan kereta menuju selatan (Solo), dan stasiun tertua lainnya yakni Tanggung.
Jalur dilanjutkan ke stasiun Kedungjati berukuran lebih besar dan mewah di jamannya. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke stasiun Bringin dan menuju ke Tuntang.
Sampai akhirnya melewati "Negeri di Awan" alias Rawa Pening menuju Stasiun Willem I di Ambarawa, yang kini menjadi Museum Api dengan koleksi 24 kereta uap.
Kini jalur bersejarah tersebut tidak lagi dilalui secara penuh. Dari stasiun Ambarawa menuju Semarang hanya dapat dilalui lori hingga Tuntang, sedangkan arah Yogyakarta menggunakan kereta uap bergerigi hanya sampai stasiun Bedono.
Dua lokomotif uap buatan Jerman tahun 1902 dengan seri B2503 dan B2502 menjadi kereta uap yang masih aktif melayani jalur wisata Ambarawa-Bedono tersebut.
Dengan biaya Rp3,5 juta maka 40 orang wisatawan domestik maupun mancanegara dapat merasakan nostalgia kejayaan kereta api uap di tanah Jawa tersebut. *
"...KAU mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan. Di mana kedamaian menjadi istananya ..."
Sepenggal lirik lagu milik Katon Bagaskara berjudul "Negeri di Awan" tersebut seolah mengiringi perjalanan pelajar dari SMK Paramita Jakarta ke tengah Rawa Pening, yang menggunakan lori di dataran tinggi Jawa Tengah.
Rangkaian lori berwarna putih milik PT Kereta Api (Persero) tersebut dengan perlahan membawa rombongan "membelah" rawa berukuran lebih dari 2.300 hektare yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Berangkat dari Stasiun Kereta Api Ambarawa, lori yang memuat lebih dari 30 anak-anak dan tujuh orang dewasa tersebut awalnya melewati rumah-rumah penduduk.
Suasana pedesaan tanah Jawa yang tetap sederhana walau mulai tersentuh modernisasi menyambut rombongan yang menumpang lori.
Setiap kali lori berkelok mengikuti rel kereta suara rombongan pelajar tersebut berteriak, "Heya, heya, heya". Dan disambung dengan tawa dan komentar-komentar khas remaja Ibukota.
Semakin jauh lori meninggalkan stasiun peninggalan Belanda tersebut, semakin beragam pula alam Ambarawa menampilkan raut wajahnya yang tidak membosankan untuk dinikmati.
Jajaran Gunung Merbabu, Telomoyo, Ungaran seperti membentengi semua orang yang berada di lori dan rawa yang hampir dipenuhi eceng gondok tersebut.
Sebelumnya hamparan sawah hijau yang di beberapa bagian menguning melengkapi pemandangan pegunungan yang berwarna abu-abu gelap dikejauhan.
Semakin lori mendekati pusat Rawa Pening, pemandangan tampak semakin sempurna dengan kombinasi sawah hijau, diikuti air rawa yang terlihat di kejauhan, gunung, awan putih, dan langit biru.
Rombongan pelajar kelas satu SMK Paramita yang awalnya riuh mulai tak bersuara. Entah apa yang ada di isi kepala mereka saat itu, namun yang jelas pemandangan tersebut tidak mereka temui di keseharian mereka.
Lori terus menyusuri rawa hingga pada akhirnya hanya air lah yang mendominasi. Dan lori seperti berjalan di atas air.
Pada posisi ini lah "Negeri di Awan" yang digambarkan Katon dalam lagunya seolah berada di depan mata. Damai seketika menyeruak, waktu seperti enggan berlalu.
Kawasan ini pula yang dijadikan tempat pengambilan gambar klip video lagu "Negeri di Awan" Katon.
Tapi, perjalanan lori kali ini tidak sampai Stasiun Tuntang, karena harus kembali karena tidak kuat mengangkut beban.
"Wah sayang nggak sampai Tuntang. Padahal ke arah sana juga ada pemandangan bagus," ujar Sugayo, salah satu penumpang yang sudah kesekian kalinya melalui salah satu jalur tertua kereta api di Indonesia tersebut.
Jika dalam kondisi normal biasanya lori memang akan membawa penumpang sampai Stasiun Tuntang. Melintas di bawah jembatan yang menghubungkan Ungaran dan Salatiga, sehingga akan terlihat oleh mereka yang hendak melintas ke Kota Solo atau Semarang.
Perjalanan satu jam menuju "Negeri di Awan" ini tidak memakan biaya besar. Hanya dengan uang Rp10.000 seseorang sudah bisa menikmati pemandangan nan elok dari alam Ambarawa dan rawa yang dikenal dengan legenda Baru Klinting.
Bagian jalur tertua
Setelah merasakan sendiri menyusuri "Negeri di Awan" dengan lori yang seolah berjalan di atas air, bisa jadi penumpang bertanya-tanya siapa yang begitu cemerlang mempunyai ide membuat jalur kereta di tengah rawa.
Jalur lintasan di Rawa Pening merupakan sambungan dari lintasan rel kereta api pertama di Indonesia, yang pangkalnya dikerjakan pada 7 Juni 1864 di desa Kemijen, Semarang.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1861-1866) Baron Sloet Van Den Beele sendiri yang mencangkul tanah sebagai penanda dimulainya pembangunan rel kereta api di desa Kemijen.
Butuh waktu tiga tahun sampai jalur rel sepanjang 25 km dari Semarang ke Tanggung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tersambung.
Perusahaan kereta api "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV NISM) yang dipimpin Ir J P de Bordes merupakan perusahaan perkeretaapian swasta yang membangun jalur tertua tersebut di Indonesia.
Jika pembangunan jalur rel kereta api Tanggung diteruskan hingga Solo atas dasar perekonomian. Maka alasan membuka jalur Semarang-Yogyakarta melalui Kedungjati dan Ambarawa merupakan bagian dari pertahanan sekaligus ekonomi.
Jalur tersebut bermula dari Kemijen, Semarang, melalui stasiun kecil yakni Brumbung yang menjadi titik perpisahan kereta menuju timur (Surabaya) dengan kereta menuju selatan (Solo), dan stasiun tertua lainnya yakni Tanggung.
Jalur dilanjutkan ke stasiun Kedungjati berukuran lebih besar dan mewah di jamannya. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke stasiun Bringin dan menuju ke Tuntang.
Sampai akhirnya melewati "Negeri di Awan" alias Rawa Pening menuju Stasiun Willem I di Ambarawa, yang kini menjadi Museum Api dengan koleksi 24 kereta uap.
Kini jalur bersejarah tersebut tidak lagi dilalui secara penuh. Dari stasiun Ambarawa menuju Semarang hanya dapat dilalui lori hingga Tuntang, sedangkan arah Yogyakarta menggunakan kereta uap bergerigi hanya sampai stasiun Bedono.
Dua lokomotif uap buatan Jerman tahun 1902 dengan seri B2503 dan B2502 menjadi kereta uap yang masih aktif melayani jalur wisata Ambarawa-Bedono tersebut.
Dengan biaya Rp3,5 juta maka 40 orang wisatawan domestik maupun mancanegara dapat merasakan nostalgia kejayaan kereta api uap di tanah Jawa tersebut. *
Mbatakapidu dan Keladi Putih
Oleh Adiana Ahmad
MBATAKAPIDU berada dalam wilayah Kecamatan Kota Waingapu. Daerahnya berbukit, memiliki satu sumber mata air yang menyokong kebutuhan air bersih Kota Waingapu. Mbatakapidu berada di pinggiran Kota Waingapu. Luasnya 288 kilometer persegi, dihuni oleh 322 kepala keluarga atau 1.495 jiwa.
Meski berada di pinggiran kota, mayoritas penduduk wilayah ini petani. Dari 322 kepala keluarga yang ada di Mbatakapidu, 265 KK berprofesi sebagai petani. Jarak Kota Waingapu ke pusat Desa Mbatakapidu sekitar 11 kilometer.
Jika kita menjelajahi seluruh wilayah desa ini, kita akan menemukan dua kondisi yang sangat kontras. Di bagian barat wilayahnya sangat subur, sementara di bagian Timur sangat gersang. Bahkan beberapa waktu yang lalu di wilayah ini terdapat beberapa anak dan balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang. Ini terjadi karena asupan gizi rendah sebagai dampak dari kekurangan pangan. Pada umumnya masyarakat yang mengalami gizi kurang atau rawan pangan bermukim di antara bukit, terisolir dan sulit dijangkau oleh pelayanan umum.
Makanan pokok masyarakat di bagian timur desa ini adalah jagung. Bila memasuki masa paceklik, masyarakat masuk hutan untuk mencari iwi (ubi hutan). Ubi hutan merupakan makanan alternatif pengganti jagung. Bagi orang luar, iwi identik dengan kelaparan. Padahal bila dikelola dengan baik, maka iwi bisa menghasilkan berbagai makanan dengan rasa yang cukup lezat.
Kondisi alam yang kurang bersahabat ini membangkitkan rasa solider dari masyarakatnya. Mereka membentuk kelompok dan setiap hasil panen sebagiannya disisihkan ke lumbung pangan desa atau lumbung pangan kelompok. Jagung yang disimpan di lumbung kelompok ini, selain untuk mengantisipasi kesulitan pangan pada masa paceklik, juga untuk benih ketika masuk musim tanam tahun berikutnya.
Sementara masyarakat di bagian Barat Mbatakapidu lebih beruntung karena daerahnya subur. Di sini terdapat mata air dan beberapa sungai. Sumber mata air ini yang menyuplai air bersih untuk Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur.
Masyarakatnya hidup berkelompok. Sampai tahun 2008, terdapat enam kelompok tani di daerah ini. Masing-masing kelompok tani memiliki saung atau tempat pertemuan. Di saung inilah berbagai masalah kelompok dibicarakan, termasuk rencana program kelompok dalam satu tahun.
Satu hal menarik yang bisa kita temukan di desa ini yakni semangat masyarakat untuk kembali membudidayakan pangan lokal. Mulai dari jagung, singkong, ganyo dan terakhir talas atau keladi putih.
Melihat antusiasme masyarakat untuk kembali ke pangan lokal, pemerintah daerah Sumba Timur kemudian mencanangkan Mbatakapidu sebagai pusat pengembangan pangan lokal. Dari Mbatakapidu pemerintah Kabupaten Sumba Timur akan memperluas ke wilayah lain di daerah itu.
Sampai dengan awal tahun 2009, sudah 31.750 anakan keladi putih ditanam di Kabupaten Sumba Timur di atas 17,7 ha hamparan (25.000 anakan/ ha, bukan 25.000 ha). Sebanyak 9.250 anakan dari jumlah tersebut ditanam di Desa Mbatakapidu.
Untuk mempermudah pemeliharaannya, pemerintah memberikan bibit kepada petani dengan pola penanaman secara tumpang sari. Menurut penyuluh yang mendampingi para petani di desa itu, Lukas R Malo, keladi putih memiliki keunggulan karena diminati oleh semua lapisan masyarakat, sekali tanam panen berkali-kali, tidak dimakan ternak dan ditanam secara tumpang sari.
Keladi putih juga tahan terhadap serangan penyakit, berguna untuk konservasi lahan, produk tahan lama dan prospek pasar cukup cerah. Mbakapidu, katanya, merupakan salah satu desa yang cukup potensial untuk pengembangan pangan lokal seperti keladi putih, selain karena alamnya cocok juga karena semangat masyarakatnya yang cukup tinggi untuk mengembangkan tanaman ini dan berbagai tanaman pangan lokal.
Karena itu, Lukas mengatakan, pihaknya akan terus mendorong masyarakat di desa itu melalui pendampingan-pendampingan hingga suatu saat Mbatakapidu menjadi daerah sentra pangan lokal untuk Sumba Timur. (*)
MBATAKAPIDU berada dalam wilayah Kecamatan Kota Waingapu. Daerahnya berbukit, memiliki satu sumber mata air yang menyokong kebutuhan air bersih Kota Waingapu. Mbatakapidu berada di pinggiran Kota Waingapu. Luasnya 288 kilometer persegi, dihuni oleh 322 kepala keluarga atau 1.495 jiwa.
Meski berada di pinggiran kota, mayoritas penduduk wilayah ini petani. Dari 322 kepala keluarga yang ada di Mbatakapidu, 265 KK berprofesi sebagai petani. Jarak Kota Waingapu ke pusat Desa Mbatakapidu sekitar 11 kilometer.
Jika kita menjelajahi seluruh wilayah desa ini, kita akan menemukan dua kondisi yang sangat kontras. Di bagian barat wilayahnya sangat subur, sementara di bagian Timur sangat gersang. Bahkan beberapa waktu yang lalu di wilayah ini terdapat beberapa anak dan balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang. Ini terjadi karena asupan gizi rendah sebagai dampak dari kekurangan pangan. Pada umumnya masyarakat yang mengalami gizi kurang atau rawan pangan bermukim di antara bukit, terisolir dan sulit dijangkau oleh pelayanan umum.
Makanan pokok masyarakat di bagian timur desa ini adalah jagung. Bila memasuki masa paceklik, masyarakat masuk hutan untuk mencari iwi (ubi hutan). Ubi hutan merupakan makanan alternatif pengganti jagung. Bagi orang luar, iwi identik dengan kelaparan. Padahal bila dikelola dengan baik, maka iwi bisa menghasilkan berbagai makanan dengan rasa yang cukup lezat.
Kondisi alam yang kurang bersahabat ini membangkitkan rasa solider dari masyarakatnya. Mereka membentuk kelompok dan setiap hasil panen sebagiannya disisihkan ke lumbung pangan desa atau lumbung pangan kelompok. Jagung yang disimpan di lumbung kelompok ini, selain untuk mengantisipasi kesulitan pangan pada masa paceklik, juga untuk benih ketika masuk musim tanam tahun berikutnya.
Sementara masyarakat di bagian Barat Mbatakapidu lebih beruntung karena daerahnya subur. Di sini terdapat mata air dan beberapa sungai. Sumber mata air ini yang menyuplai air bersih untuk Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur.
Masyarakatnya hidup berkelompok. Sampai tahun 2008, terdapat enam kelompok tani di daerah ini. Masing-masing kelompok tani memiliki saung atau tempat pertemuan. Di saung inilah berbagai masalah kelompok dibicarakan, termasuk rencana program kelompok dalam satu tahun.
Satu hal menarik yang bisa kita temukan di desa ini yakni semangat masyarakat untuk kembali membudidayakan pangan lokal. Mulai dari jagung, singkong, ganyo dan terakhir talas atau keladi putih.
Melihat antusiasme masyarakat untuk kembali ke pangan lokal, pemerintah daerah Sumba Timur kemudian mencanangkan Mbatakapidu sebagai pusat pengembangan pangan lokal. Dari Mbatakapidu pemerintah Kabupaten Sumba Timur akan memperluas ke wilayah lain di daerah itu.
Sampai dengan awal tahun 2009, sudah 31.750 anakan keladi putih ditanam di Kabupaten Sumba Timur di atas 17,7 ha hamparan (25.000 anakan/ ha, bukan 25.000 ha). Sebanyak 9.250 anakan dari jumlah tersebut ditanam di Desa Mbatakapidu.
Untuk mempermudah pemeliharaannya, pemerintah memberikan bibit kepada petani dengan pola penanaman secara tumpang sari. Menurut penyuluh yang mendampingi para petani di desa itu, Lukas R Malo, keladi putih memiliki keunggulan karena diminati oleh semua lapisan masyarakat, sekali tanam panen berkali-kali, tidak dimakan ternak dan ditanam secara tumpang sari.
Keladi putih juga tahan terhadap serangan penyakit, berguna untuk konservasi lahan, produk tahan lama dan prospek pasar cukup cerah. Mbakapidu, katanya, merupakan salah satu desa yang cukup potensial untuk pengembangan pangan lokal seperti keladi putih, selain karena alamnya cocok juga karena semangat masyarakatnya yang cukup tinggi untuk mengembangkan tanaman ini dan berbagai tanaman pangan lokal.
Karena itu, Lukas mengatakan, pihaknya akan terus mendorong masyarakat di desa itu melalui pendampingan-pendampingan hingga suatu saat Mbatakapidu menjadi daerah sentra pangan lokal untuk Sumba Timur. (*)
Jumat, 13 Maret 2009
Mendukung Pembangunan PLTU
Oleh Sipri Seko
AIR, jalan dan listrik selalu menjadi permasalahan klasik bagi masyarakat di NTT. Saban tahun, anggaran untuk jalan, air dan listrik mencapai miliaran rupiah. Namun, semua program yang didukung anggaran besar tersebut belum menjawab tuntas persoalan-persoalan ini.
Khusus untuk listrik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya pemasok kebutuhan listrik, ternyata belum sanggup memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Memanfaatkan sumber listrik dari mesin diesel, jelas kekuatannya tidak besar untuk menjangkau masyarakat hingga pelosok pedesaan. Selain itu, dengan kondisi mesin-mesin keluaran 1970-an hingga awal 1980-an kerusakan masih sering terjadi.
Kendala lainnya yang selalu menjadi alasan PLN untuk melakukan pemadaman bergilir adalah mahalnya biaya perawatan mesin, jaringan maupun pemasangan jaringan baru. Saban tahun, selalu saja ada pengumuman jumlah kerugian dari PLN. PLN tak pernah untung! Padahal, terlambat bayar, pelanggan pasti didenda, sedangkan kalau listrik padam, PLN sudah merasa cukup ketika pemberitaan maaf sudah diumumkan lewat media massa.
Krisis listrik memang tidak hanya terjadi di NTT, tapi di seluruh pelosok Indonesia. Berbagai strategi pun dilakukan, mulai dari seruan untuk penghematan, hingga mencari potensi sumber tenaga listrik selain diesel. Pencobaan menggunakan tenaga angin (bayu), uap, gas hingga matahari (surya) untuk mendapatkan energi listrik terus dilakukan.
Di NTT, sesuai dengan kondisi alamnya, potensi listrik dari tenaga uap dan gas cukup tinggi. Eksploitasi pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Atadei-Lembata, Mataloko-Ngada dan Ropa-Ende. Di Mataloko, misalnya, kalau berhasil dieksploitasi kekuatannya akan sanggup menghidupkan aliran listrik di Pulau Flores.
Kabar terakhir adalah mulai dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kampung Afuik, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu. Dengan kekuatan 4x6 megawatt (MW), PLTU ini akan mulai dibangun pertengahan tahun 2009 ini. Di perkirakan, PLTU ini bisa melayani kebutuhan listrik di daratan Pulau Timor dan dipastikan pada bulan Agustus 2010 sudah beroperasi.
PLTU ini merupakan proyek yang dibangun menggunakan dana APBN. Selain di Afuik, PLTU juga akan dibangun di Kupang untuk melayani kebutuhan listrik wilayah Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). PLTU di Afuik, untuk melayani kebutuhan listrik di Belu dan Timor Tengah Utara (TTU). Ini tentu saja merupakan berita gembira bagi masyarakat di Pulau Timor. Melihat kampung-kampung akan terang benderang tampaknya bukan hanya dalam mimpi.
Sambutan positif dari Bupati Belu, Joachim Lopez, terhadap proyek ini merupakan sebuah apresiasi dan dukungan demi kepentingan masyarakat. Kalau sudah demikian, hendaknya jalinan komunikasi antara pengelola proyek, kontraktor pelaksana, pemerintah dan masyarakat harus dibangun dengan baik.
Ada persoalan klasik di NTT, yakni masyarakat sering menolak memberikan tanahnya untuk sebuah proyek terutama yang dibiayai dari pusat. Terkadang dengan mengandalkan kekuatan modal (uang), masyarakat tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya diterima.
Betul juga pernyataan Bupati Lopes agar manajemen PLN menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat sehingga bisa mendapat dukungan moril. Selain itu, ia juga meminta agar PLN dan kontraktornya menjaring tenaga kerja baik buruh kasar, maupun tenaga teknis lainnya dari putra daerah setempat. Dia ingin tenaga buruh, tenaga teknis mesin lulusan STM, ataupun sarjana yang ada di sana diakomodir.
Kalau semua program ini berjalan dengan baik, harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat bisa terwujud dengan cepat. Krisis listrik, pemadaman bergilir, padam secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, alat-alat elektronik yang rusak hingga jalanan yang gelap gulita tentu tidak akan terjadi lagi. Pelanggan pun tidak akan protes lagi kalau didendan karena terlambat membayar beban yang dipakainya.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar semua ini bisa terwujud? Berikan dukungan! Jadilah pengawas yang baik agar proses pengerjaan dilaksanakan sesuai mekanisme yang sudah ditetapkan. Maksudnya adalah jika proyek dikerjakan asal jadi, maka dana triliunan rupiah yang digunakan akan hilang sia-sia. Harapan adanya penerangan pun akan sirna. Komitmen kesuksesan juga harus dibangun dalam diri pengelola proyek. Artinya, motivasi untuk membangun jangan muncul hanya karena di sana ada gelimang rupiah. *
AIR, jalan dan listrik selalu menjadi permasalahan klasik bagi masyarakat di NTT. Saban tahun, anggaran untuk jalan, air dan listrik mencapai miliaran rupiah. Namun, semua program yang didukung anggaran besar tersebut belum menjawab tuntas persoalan-persoalan ini.
Khusus untuk listrik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya pemasok kebutuhan listrik, ternyata belum sanggup memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Memanfaatkan sumber listrik dari mesin diesel, jelas kekuatannya tidak besar untuk menjangkau masyarakat hingga pelosok pedesaan. Selain itu, dengan kondisi mesin-mesin keluaran 1970-an hingga awal 1980-an kerusakan masih sering terjadi.
Kendala lainnya yang selalu menjadi alasan PLN untuk melakukan pemadaman bergilir adalah mahalnya biaya perawatan mesin, jaringan maupun pemasangan jaringan baru. Saban tahun, selalu saja ada pengumuman jumlah kerugian dari PLN. PLN tak pernah untung! Padahal, terlambat bayar, pelanggan pasti didenda, sedangkan kalau listrik padam, PLN sudah merasa cukup ketika pemberitaan maaf sudah diumumkan lewat media massa.
Krisis listrik memang tidak hanya terjadi di NTT, tapi di seluruh pelosok Indonesia. Berbagai strategi pun dilakukan, mulai dari seruan untuk penghematan, hingga mencari potensi sumber tenaga listrik selain diesel. Pencobaan menggunakan tenaga angin (bayu), uap, gas hingga matahari (surya) untuk mendapatkan energi listrik terus dilakukan.
Di NTT, sesuai dengan kondisi alamnya, potensi listrik dari tenaga uap dan gas cukup tinggi. Eksploitasi pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Atadei-Lembata, Mataloko-Ngada dan Ropa-Ende. Di Mataloko, misalnya, kalau berhasil dieksploitasi kekuatannya akan sanggup menghidupkan aliran listrik di Pulau Flores.
Kabar terakhir adalah mulai dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kampung Afuik, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu. Dengan kekuatan 4x6 megawatt (MW), PLTU ini akan mulai dibangun pertengahan tahun 2009 ini. Di perkirakan, PLTU ini bisa melayani kebutuhan listrik di daratan Pulau Timor dan dipastikan pada bulan Agustus 2010 sudah beroperasi.
PLTU ini merupakan proyek yang dibangun menggunakan dana APBN. Selain di Afuik, PLTU juga akan dibangun di Kupang untuk melayani kebutuhan listrik wilayah Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). PLTU di Afuik, untuk melayani kebutuhan listrik di Belu dan Timor Tengah Utara (TTU). Ini tentu saja merupakan berita gembira bagi masyarakat di Pulau Timor. Melihat kampung-kampung akan terang benderang tampaknya bukan hanya dalam mimpi.
Sambutan positif dari Bupati Belu, Joachim Lopez, terhadap proyek ini merupakan sebuah apresiasi dan dukungan demi kepentingan masyarakat. Kalau sudah demikian, hendaknya jalinan komunikasi antara pengelola proyek, kontraktor pelaksana, pemerintah dan masyarakat harus dibangun dengan baik.
Ada persoalan klasik di NTT, yakni masyarakat sering menolak memberikan tanahnya untuk sebuah proyek terutama yang dibiayai dari pusat. Terkadang dengan mengandalkan kekuatan modal (uang), masyarakat tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya diterima.
Betul juga pernyataan Bupati Lopes agar manajemen PLN menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat sehingga bisa mendapat dukungan moril. Selain itu, ia juga meminta agar PLN dan kontraktornya menjaring tenaga kerja baik buruh kasar, maupun tenaga teknis lainnya dari putra daerah setempat. Dia ingin tenaga buruh, tenaga teknis mesin lulusan STM, ataupun sarjana yang ada di sana diakomodir.
Kalau semua program ini berjalan dengan baik, harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat bisa terwujud dengan cepat. Krisis listrik, pemadaman bergilir, padam secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, alat-alat elektronik yang rusak hingga jalanan yang gelap gulita tentu tidak akan terjadi lagi. Pelanggan pun tidak akan protes lagi kalau didendan karena terlambat membayar beban yang dipakainya.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar semua ini bisa terwujud? Berikan dukungan! Jadilah pengawas yang baik agar proses pengerjaan dilaksanakan sesuai mekanisme yang sudah ditetapkan. Maksudnya adalah jika proyek dikerjakan asal jadi, maka dana triliunan rupiah yang digunakan akan hilang sia-sia. Harapan adanya penerangan pun akan sirna. Komitmen kesuksesan juga harus dibangun dalam diri pengelola proyek. Artinya, motivasi untuk membangun jangan muncul hanya karena di sana ada gelimang rupiah. *
Rabu, 11 Maret 2009
Kencani Nenek Kaya Hingga Pewaris BMW
INI masih cerita soal Helg Sgarbi (44) yang dijuluki sebagai gigolo Swiss. Gaya hidup kelas tingginya, sebagai upaya menjerat wanita kaya, kini terantuk teralis besi. Dia diganjar 6 tahun penjara oleh pengadilan Munich pada Senin (9/3/2009) lalu setelah mengakui telah menipu, berusaha menipu dan berusaha memeras Susanne Klatten (46), pewaris BMW.
Media Eropa seperti Guardian dan The Telegraph, menggambarkan Sgarbi bukanlah pria yang tampan. Biasa-biasa saja. Namun dia pintar bermulut manis. Dengan mudah dia melumerkan hati para wanita kaya yang kesepian. Cukup dengan pendekatan singkat dan tanpa banyak penjelasan, dia bisa mengencani wanita-wanita kaya di Eropa.
Sgarbi tak pernah berhitung siapa saja korbannya. Yang jauh berumur dengan dia pun dia 'santap', asalkan bisa dia peloroti hartanya.
Korban lanjut usia Sgarbi itu adalah seorang bangsawan Prancis, Verena du Pasquier. Atas bujuk rayu Sgarbi yang mengaku sebagai pejabat Swiss untuk daerah yang terkena krisis, Verena menggelontorkan uang lebih dari Rp 464 miliar.
Sgarbi terpaksa mengembalikan Rp 414 miliar dari jumlah itu ke pemiliknya setelah teman-teman Countess Verena mengancam Sgarbi membawa kasus ini ke polisi. Countess Verena meninggal pada tahun 2003 dalam usia 83 tahun.
Masih ada sejumlah wanita kaya yang menjadi korbannya. Namun di antara mereka yang paling kaya adalah Susanne Klatten, wanita paling tajir di Jerman, dan masuk daftar orang terkaya di dunia.
Tak butuh waktu hingga setahun bagi Sgarbi untuk mengadali Klatten. Mereka berjumpa di sebuah resort kesehatan eksklusif di Innsbruck pada Juli 2007, sebulan kemudian terlibat affair di selatan Prancis, lalu berlanjut kencan di Hotel Holiday Inn Munich.
Di hotel inilah petaka Klatten dimulai. Dengan akal liciknya, Sgarbi memfilmkan hubungan terlarang mereka. Bagaimana ini bisa dilakukan?
Ternyata Sgarbi bekerjasama dengan kaki tangannya, seorang warga Italia bernama Ernano Barretta (63). Pria ini mensyuting dari kamar di sebelah kamar Sgarbi-Klatten. Bulan depan Barretta diadili dengan tuduhan penipuan dan pemerasan di Pescara, Italia.
Pada bulan September, Sgarbi berutang kepada Klatten 7 juta euro (sekitar Rp 106 miliar) dan berjanji mengembalikannya. Dia butuh uang itu untuk membayar seorang mafia yang anak gadisnya terluka dalam kecelakaan mobil yang melibatkan Sgarbi di Florida, AS.
Sgarbi mengaku mafia itu meminta 10 juta euro dan dia hanya punya 3 juta euro. Jika dia tak segera membayar sisanya, maka nyawanya dihabisi oleh si mafia.
Klatten akhirnya mengucurkan utangan 7 juta euro di garasi Holiday Inn.
Setelah itu tingkah Sgarbi kian menggila. Dia merayu Klatten, ibu 3 anak, untuk meninggalkan suaminya dan hidup bersama dia. Dia merayu Klatten agar meletakkan dana investasi 290 juta euro (Rp 4,3 triliun) untuk biaya hidup mereka.
Untunglah Klatten akhirnya tersadar bahwa hubungannya dengan Sgarbi tidak benar sehingga pebisnis yang dikenal low profile dan bercitra serius ini menghakhiri hubungan.
Sgarbi tidak terima. Di sinilah dia mengancam Klatten. Dia akan mengeluarkan film hot mereka dan mengirimkan ke direksi BMW, suami Klatten dan media, bila Klatten tak memberinya 49 juta euro (Rp 742 miliar). Sgarbi kemudian menurunkan nilai ancaman menjadi 14 juta euro dan harus diserahkan maksimal 15 Januari 2009.
Dengan menahan malu, Klatten melaporkan upaya pemerasan ini pada polisi Jerman. Polisi pun mencokok Sgarbi di Austria. Kasus ini dikenal sebagai "gigolo vs miliuner" dan menjadi sorotan media Eropa.
Sgarbi diadili pada 9 Maret dan mengakui kejahatannya. Dia meminta maaf pada para wanita yang telah menjadi korbannya. Hanya saja, dia merahasiakan ke mana saja uang hasil kejahatan dia habiskan.
Sgarbi diganjar hukuman 6 tahun, lebih ringan dari tuntutan jaksa 9 tahun penjara. Dengan pengakuan Sgarbi di sidang pertama, maka Klatten terhindar dari rasa malu untuk hadir di sidang. Sebab jika Sgarbi tak mengaku salah, Klatten harus bersaksi di pengadilan melawan Sgarbi. Wanita korban Sgarbi lainnya juga harus didatangkan, suatu hal yang cukup sulit.
Meskipun Sgarbi dikenal mengibuli sejumlah wanita kaya, namun dalam hal ini dia disidang atas laporan Klatten. Hanya Klatten yang lapor polisi. Jaksa memuji keberanian Klatten. **
Media Eropa seperti Guardian dan The Telegraph, menggambarkan Sgarbi bukanlah pria yang tampan. Biasa-biasa saja. Namun dia pintar bermulut manis. Dengan mudah dia melumerkan hati para wanita kaya yang kesepian. Cukup dengan pendekatan singkat dan tanpa banyak penjelasan, dia bisa mengencani wanita-wanita kaya di Eropa.
Sgarbi tak pernah berhitung siapa saja korbannya. Yang jauh berumur dengan dia pun dia 'santap', asalkan bisa dia peloroti hartanya.
Korban lanjut usia Sgarbi itu adalah seorang bangsawan Prancis, Verena du Pasquier. Atas bujuk rayu Sgarbi yang mengaku sebagai pejabat Swiss untuk daerah yang terkena krisis, Verena menggelontorkan uang lebih dari Rp 464 miliar.
Sgarbi terpaksa mengembalikan Rp 414 miliar dari jumlah itu ke pemiliknya setelah teman-teman Countess Verena mengancam Sgarbi membawa kasus ini ke polisi. Countess Verena meninggal pada tahun 2003 dalam usia 83 tahun.
Masih ada sejumlah wanita kaya yang menjadi korbannya. Namun di antara mereka yang paling kaya adalah Susanne Klatten, wanita paling tajir di Jerman, dan masuk daftar orang terkaya di dunia.
Tak butuh waktu hingga setahun bagi Sgarbi untuk mengadali Klatten. Mereka berjumpa di sebuah resort kesehatan eksklusif di Innsbruck pada Juli 2007, sebulan kemudian terlibat affair di selatan Prancis, lalu berlanjut kencan di Hotel Holiday Inn Munich.
Di hotel inilah petaka Klatten dimulai. Dengan akal liciknya, Sgarbi memfilmkan hubungan terlarang mereka. Bagaimana ini bisa dilakukan?
Ternyata Sgarbi bekerjasama dengan kaki tangannya, seorang warga Italia bernama Ernano Barretta (63). Pria ini mensyuting dari kamar di sebelah kamar Sgarbi-Klatten. Bulan depan Barretta diadili dengan tuduhan penipuan dan pemerasan di Pescara, Italia.
Pada bulan September, Sgarbi berutang kepada Klatten 7 juta euro (sekitar Rp 106 miliar) dan berjanji mengembalikannya. Dia butuh uang itu untuk membayar seorang mafia yang anak gadisnya terluka dalam kecelakaan mobil yang melibatkan Sgarbi di Florida, AS.
Sgarbi mengaku mafia itu meminta 10 juta euro dan dia hanya punya 3 juta euro. Jika dia tak segera membayar sisanya, maka nyawanya dihabisi oleh si mafia.
Klatten akhirnya mengucurkan utangan 7 juta euro di garasi Holiday Inn.
Setelah itu tingkah Sgarbi kian menggila. Dia merayu Klatten, ibu 3 anak, untuk meninggalkan suaminya dan hidup bersama dia. Dia merayu Klatten agar meletakkan dana investasi 290 juta euro (Rp 4,3 triliun) untuk biaya hidup mereka.
Untunglah Klatten akhirnya tersadar bahwa hubungannya dengan Sgarbi tidak benar sehingga pebisnis yang dikenal low profile dan bercitra serius ini menghakhiri hubungan.
Sgarbi tidak terima. Di sinilah dia mengancam Klatten. Dia akan mengeluarkan film hot mereka dan mengirimkan ke direksi BMW, suami Klatten dan media, bila Klatten tak memberinya 49 juta euro (Rp 742 miliar). Sgarbi kemudian menurunkan nilai ancaman menjadi 14 juta euro dan harus diserahkan maksimal 15 Januari 2009.
Dengan menahan malu, Klatten melaporkan upaya pemerasan ini pada polisi Jerman. Polisi pun mencokok Sgarbi di Austria. Kasus ini dikenal sebagai "gigolo vs miliuner" dan menjadi sorotan media Eropa.
Sgarbi diadili pada 9 Maret dan mengakui kejahatannya. Dia meminta maaf pada para wanita yang telah menjadi korbannya. Hanya saja, dia merahasiakan ke mana saja uang hasil kejahatan dia habiskan.
Sgarbi diganjar hukuman 6 tahun, lebih ringan dari tuntutan jaksa 9 tahun penjara. Dengan pengakuan Sgarbi di sidang pertama, maka Klatten terhindar dari rasa malu untuk hadir di sidang. Sebab jika Sgarbi tak mengaku salah, Klatten harus bersaksi di pengadilan melawan Sgarbi. Wanita korban Sgarbi lainnya juga harus didatangkan, suatu hal yang cukup sulit.
Meskipun Sgarbi dikenal mengibuli sejumlah wanita kaya, namun dalam hal ini dia disidang atas laporan Klatten. Hanya Klatten yang lapor polisi. Jaksa memuji keberanian Klatten. **
Rabu, 04 Maret 2009
Spesialis Naik Bemo dan Kos Kamar
Oleh Dion DB Putra
GARA-gara urusan senyum dan sapa, John Robert Powers, Lembaga Pendidikan tentang Pengembangan Pribadi ikut disebut di ruang redaksi Pos Kupang, tempat Kopdar FAN berlangsung 21 Februari 2009. Ada apa gerangan? Diskusi tentang rumah sakit kok bawa-bawa nama John Robert Powers yang akrab dengan dunia modeling. Apakah rumah sakit rujukan satu-satunya di NTT mau dibawa ke sana?
Tentu tidak! Lembaga pengembangan kepribadian itu sempat disebut peserta diskusi ketika alur percakapan mulai menyentuh pelayanan terhadap pasien. Direktur RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG tidak mengingkari bahwa senyum yang ramah, sapaan yang santun dan meneguhkan si sakit belum sepenuhnya membumi di RSUD Kupang. "Nilai dasar yang melandasi pelayanan RSU Kupang adalah santun, integritas, kebersamaan, akuntabel dan profesional. Tapi kami akui nilai dasar pelayanan itu belum terwujud karena indeks kepuasan pelanggan masih jauh dari target Depkes," kata Alphons.
Pesannya jelas. Ada masalah pelik. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN) merumuskan masalah yang dihadapi RSUD Kupang sebagai berikut. Padat modal, padat karya, padat teknologi, padat manusia (SDM), dan padat masalah.
Modal bagi RSUD Kupang memadai. Setiap tahun anggaran, lembaga itu memperoleh alokasi dana kesehatan dari APBD NTT berkisar antara 74-76 persen. Menurut Dokter Alphons Anapaku, fasilitas pelayanan rumah sakit tipe B itu tidak buruk. Di sana ada Instalasi Rawat Inap, Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi ICU, ICCU, HCU, NICU dan Hemodialisa, Instalasi Farmasi, Patologi Anatomi, Radiologi, Gizi dan Instalasi Pemulasaran Jenasah. "Beberapa alat canggih pun segera dioperasikan seperti CT-Scan, Mamografi dan Endoskopi," kata Alphons.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), jumlah mitra kerja direktur cukup mencengangkan. Latar belakang pendidikan mereka mulai dari tingkat SD hingga S3. Dalam diskusi 21 Februari lalu, Dokter Alphons Anapaku menyebut angka 1.050 orang yang berkarya di RSU Kupang. Rumah sakit itu "berkekuatan" 95 tenaga dokter yang terdiri dari Dokter Spesialis 36 orang, Dokter S2 Kesehatan Masyarakat 5 orang, Dokter Umum 49 orang dan 5 orang Dokter Gigi. Para dokter itu didukung ratusan tenaga perempuan dan laki-laki dengan keahlian masing-masing sesuai kebutuhan manajemen rumah sakit tipe B.
Mengelola "ribuan kepala" tentu bukan perkara gampang. Maka tepatlah pernyataan Dokter Hyron Fernandez, padat manusia, padat masalah. Menurut Dokter Alphons, rumah sakit itu masih butuh dokter spesialis karena jumlahnya belum memadai pada spesialisasi tertentu, misalnya anestesi.
Sampai di sini ada kisah menarik. Ternyata ada dokter spesialis yang naik bemo (sapaan untuk mobil angkutan kota di Kupang, Red) dan tinggal di kamar kos. Bayangkan mobilitas dokter spesialis melayani pasien kalau mengandalkan bemo? Sebagai spesialis mereka berhak mendapatkan kendaraan operasional dari pemerintah daerah. Tidak perlu mewah. Yang utama nyaman dan aman.
Manajemen RSUD Kupang pernah meminta dana untuk kendaraan operasional kepada DPRD NTT. Dalam rapat anggaran, permintaan itu ditolak para wakil rakyat yang terhormat. Ada anggota DPRD berkata demikian, "Kami anggota Dewan saja naik bemo kok."
Oh.....alasan apa ini? Kepentingan dokter dan Dewan berbeda bung! Dokter butuh kendaraan operasional guna memudahkan pelayanan. Lima menit itu penting bagi orang sakit. Kalau anggota DPRD yang segar bugar terlambat lima menit bahkan berkali-kali mangkir dari sidang Dewan tidak berakibat sampai dengan kematian. Terlambat lima menit bagi yang sekarat bisa fatal.
Masuk akal kalau banyak kabar tentang dokter spesialis hengkang dari beranda Flobamora. Mengertilah kita kalau hampir seluruh kabupaten/kota di NTT berteriak ketiadaan dokter ahli. Salah siapa? Muncul pertanyaan kecil, seberapa besar batas kewenangan seorang direktur rumah sakit milik pemerintah daerah. Di era otonomi daerah, mereka malah kelihatan tak berdaya. Siapa sesungguhnya yang kuat kuasa di belakang layar?
Anggota FAN, Silvester Ndaparoka membagi pengalamannya. Dia pernah tinggal bersebelahan kamar kos dengan dokter spesialis bedah yang bertugas di RSUD Kupang. Dokter itu tidak diberi kendaraan yang menjadi haknya. "Bagaimana mau bertahan kalau hak-hak mereka tidak diperhatikan?" kata salah seorang peserta diskusi. Dokter Alphons Anapaku, dr. Yudith M Kota dan drg. Maria K Setyawati mengangguk-anggukkan kepala. Tanda setuju.
Sebenarnya masih ada perkara lain berkenaan dengan komitmen pelayanan dokter spesialis di RSUD Kupang. Namun, dalam diskusi FAN 21 Februari 2009, berkali-kali terdengar pernyataan off the record. Dan, itu mutlak dipatuhi pers. Belum waktunya diungkap untuk publik. Mungkin pada kesempatan lain.
Cukup menarik pernyataan Ketua YLKI NTT, Mus Malessy. "Dokter kan manusia, bukan Superman yang tidak pernah lelah. Undang-undang membolehkan dokter dapat membuka praktik maksimum tiga tempat, tapi apakah mereka dapat mengukur kemampuan dirinya?" kata Malessy.
Dalam diskusi yang sangat terbuka itu, Alphons Anapaku juga menyinggung kasus Yakobus Anunut yang menggendong jenazah putrinya, Limsa Setiana Katarina Anunut (2,5 tahun) dari RSU menuju rumahnya di Kelurahan Oesapa Selatan, Kamis dinihari, 12 Februari 2009. Anunut memilih jalan kaki karena tak punya uang Rp 300 ribu untuk menyewa mobil ambulans rumah sakit.
Menurut Dokter Alphons, yang menawarkan jasa mobil ambulans seharga Rp 300 ribu kepada Yakobus Anunut bukan karyawan IPJ RSUD Kupang, melainkan calo. "Ada calo di RSU. Dia menawari ongkos ambulans Rp 300 ribu dan ongkos taksi Rp 400 ribu. Kasus percaloan seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka memanfaatkan keadaan. Untuk pasien dari keluarga miskin seperti Yakobus, tidak ada biaya mengantar jenazah sampai ke rumah. Mungkin dibilang kami bela diri, tapi kenyataan memang seperti itu," tegas Dokter Alphons.
Kawasan rumah sakit mestinya area paling netral. Nyaman dan aman. Ternyata jebol sisi keamanannya. Calo berkeliaran. Mereka memangsa sesama yang letih, panik dan cemas. Memangsa saudara sendiri yang berlinang air mata. Keterlaluan! Rumah sakit pemerintah tak sekadar poor quality for poor people. Siapa yang masih menganggap ini bukan prahara? *
GARA-gara urusan senyum dan sapa, John Robert Powers, Lembaga Pendidikan tentang Pengembangan Pribadi ikut disebut di ruang redaksi Pos Kupang, tempat Kopdar FAN berlangsung 21 Februari 2009. Ada apa gerangan? Diskusi tentang rumah sakit kok bawa-bawa nama John Robert Powers yang akrab dengan dunia modeling. Apakah rumah sakit rujukan satu-satunya di NTT mau dibawa ke sana?
Tentu tidak! Lembaga pengembangan kepribadian itu sempat disebut peserta diskusi ketika alur percakapan mulai menyentuh pelayanan terhadap pasien. Direktur RSUD Prof.Dr. WZ Johannes Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG tidak mengingkari bahwa senyum yang ramah, sapaan yang santun dan meneguhkan si sakit belum sepenuhnya membumi di RSUD Kupang. "Nilai dasar yang melandasi pelayanan RSU Kupang adalah santun, integritas, kebersamaan, akuntabel dan profesional. Tapi kami akui nilai dasar pelayanan itu belum terwujud karena indeks kepuasan pelanggan masih jauh dari target Depkes," kata Alphons.
Pesannya jelas. Ada masalah pelik. Hyron Fernandez dari Forum Academia NTT (FAN) merumuskan masalah yang dihadapi RSUD Kupang sebagai berikut. Padat modal, padat karya, padat teknologi, padat manusia (SDM), dan padat masalah.
Modal bagi RSUD Kupang memadai. Setiap tahun anggaran, lembaga itu memperoleh alokasi dana kesehatan dari APBD NTT berkisar antara 74-76 persen. Menurut Dokter Alphons Anapaku, fasilitas pelayanan rumah sakit tipe B itu tidak buruk. Di sana ada Instalasi Rawat Inap, Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Bedah Sentral, Instalasi ICU, ICCU, HCU, NICU dan Hemodialisa, Instalasi Farmasi, Patologi Anatomi, Radiologi, Gizi dan Instalasi Pemulasaran Jenasah. "Beberapa alat canggih pun segera dioperasikan seperti CT-Scan, Mamografi dan Endoskopi," kata Alphons.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), jumlah mitra kerja direktur cukup mencengangkan. Latar belakang pendidikan mereka mulai dari tingkat SD hingga S3. Dalam diskusi 21 Februari lalu, Dokter Alphons Anapaku menyebut angka 1.050 orang yang berkarya di RSU Kupang. Rumah sakit itu "berkekuatan" 95 tenaga dokter yang terdiri dari Dokter Spesialis 36 orang, Dokter S2 Kesehatan Masyarakat 5 orang, Dokter Umum 49 orang dan 5 orang Dokter Gigi. Para dokter itu didukung ratusan tenaga perempuan dan laki-laki dengan keahlian masing-masing sesuai kebutuhan manajemen rumah sakit tipe B.
Mengelola "ribuan kepala" tentu bukan perkara gampang. Maka tepatlah pernyataan Dokter Hyron Fernandez, padat manusia, padat masalah. Menurut Dokter Alphons, rumah sakit itu masih butuh dokter spesialis karena jumlahnya belum memadai pada spesialisasi tertentu, misalnya anestesi.
Sampai di sini ada kisah menarik. Ternyata ada dokter spesialis yang naik bemo (sapaan untuk mobil angkutan kota di Kupang, Red) dan tinggal di kamar kos. Bayangkan mobilitas dokter spesialis melayani pasien kalau mengandalkan bemo? Sebagai spesialis mereka berhak mendapatkan kendaraan operasional dari pemerintah daerah. Tidak perlu mewah. Yang utama nyaman dan aman.
Manajemen RSUD Kupang pernah meminta dana untuk kendaraan operasional kepada DPRD NTT. Dalam rapat anggaran, permintaan itu ditolak para wakil rakyat yang terhormat. Ada anggota DPRD berkata demikian, "Kami anggota Dewan saja naik bemo kok."
Oh.....alasan apa ini? Kepentingan dokter dan Dewan berbeda bung! Dokter butuh kendaraan operasional guna memudahkan pelayanan. Lima menit itu penting bagi orang sakit. Kalau anggota DPRD yang segar bugar terlambat lima menit bahkan berkali-kali mangkir dari sidang Dewan tidak berakibat sampai dengan kematian. Terlambat lima menit bagi yang sekarat bisa fatal.
Masuk akal kalau banyak kabar tentang dokter spesialis hengkang dari beranda Flobamora. Mengertilah kita kalau hampir seluruh kabupaten/kota di NTT berteriak ketiadaan dokter ahli. Salah siapa? Muncul pertanyaan kecil, seberapa besar batas kewenangan seorang direktur rumah sakit milik pemerintah daerah. Di era otonomi daerah, mereka malah kelihatan tak berdaya. Siapa sesungguhnya yang kuat kuasa di belakang layar?
Anggota FAN, Silvester Ndaparoka membagi pengalamannya. Dia pernah tinggal bersebelahan kamar kos dengan dokter spesialis bedah yang bertugas di RSUD Kupang. Dokter itu tidak diberi kendaraan yang menjadi haknya. "Bagaimana mau bertahan kalau hak-hak mereka tidak diperhatikan?" kata salah seorang peserta diskusi. Dokter Alphons Anapaku, dr. Yudith M Kota dan drg. Maria K Setyawati mengangguk-anggukkan kepala. Tanda setuju.
Sebenarnya masih ada perkara lain berkenaan dengan komitmen pelayanan dokter spesialis di RSUD Kupang. Namun, dalam diskusi FAN 21 Februari 2009, berkali-kali terdengar pernyataan off the record. Dan, itu mutlak dipatuhi pers. Belum waktunya diungkap untuk publik. Mungkin pada kesempatan lain.
Cukup menarik pernyataan Ketua YLKI NTT, Mus Malessy. "Dokter kan manusia, bukan Superman yang tidak pernah lelah. Undang-undang membolehkan dokter dapat membuka praktik maksimum tiga tempat, tapi apakah mereka dapat mengukur kemampuan dirinya?" kata Malessy.
Dalam diskusi yang sangat terbuka itu, Alphons Anapaku juga menyinggung kasus Yakobus Anunut yang menggendong jenazah putrinya, Limsa Setiana Katarina Anunut (2,5 tahun) dari RSU menuju rumahnya di Kelurahan Oesapa Selatan, Kamis dinihari, 12 Februari 2009. Anunut memilih jalan kaki karena tak punya uang Rp 300 ribu untuk menyewa mobil ambulans rumah sakit.
Menurut Dokter Alphons, yang menawarkan jasa mobil ambulans seharga Rp 300 ribu kepada Yakobus Anunut bukan karyawan IPJ RSUD Kupang, melainkan calo. "Ada calo di RSU. Dia menawari ongkos ambulans Rp 300 ribu dan ongkos taksi Rp 400 ribu. Kasus percaloan seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Mereka memanfaatkan keadaan. Untuk pasien dari keluarga miskin seperti Yakobus, tidak ada biaya mengantar jenazah sampai ke rumah. Mungkin dibilang kami bela diri, tapi kenyataan memang seperti itu," tegas Dokter Alphons.
Kawasan rumah sakit mestinya area paling netral. Nyaman dan aman. Ternyata jebol sisi keamanannya. Calo berkeliaran. Mereka memangsa sesama yang letih, panik dan cemas. Memangsa saudara sendiri yang berlinang air mata. Keterlaluan! Rumah sakit pemerintah tak sekadar poor quality for poor people. Siapa yang masih menganggap ini bukan prahara? *
Senin, 02 Maret 2009
Kata
...Kata-kata dibalas dengan kata-kata...
AKHIR bulan Juli 2007, isu panas menembus dinding Istana Merdeka. Isu itu digulirkan mantan Wakil Ketua DPR RI, Zaenal Maarif. Dalam jumpa pers di Gedung DPR RI, Senayan-Jakarta hari Kamis 26 Juli 2007, Zaenal yang baru saja di-recall dari keanggotaan DPR berbicara penuh semangat di hadapan para wartawan.
"Saya akan menyampaikan data-data bahwa SBY pun pernah menikah sebelum masuk Akmil (Akademi Militer). Karena itu, copot gelar dan jabatannya. Saya akan melaporkan data itu kepada DPD, DPR, MK, dan MPR. Dan, MPR akan menggelar sidang," katanya. Seperti dirilis detikcom saat itu, Zaenal bicara dengan nada berapi-api. Zaenal menambahkan, SBY bahkan memiliki anak dengan perempuan yang dinikahinya sebelum masuk Akmil. Dia tahu nama dan alamat perempuan itu.
Wartawan mana yang tidak tertarik dengan informasi semacam ini? Informasi tersebut mengandung unsur penting sekaligus menarik. Sumber berita bukan orang biasa. Dalam sekejap informasi itu menyebar luas. Menjadi berita utama media massa cetak dan elektronik di tanah air. Sejumlah media yang berbasis di Jakarta menggali lebih jauh keterangan dari beberapa sumber yang secara politis agaknya tidak sejalan dengan SBY guna menambahöbumbuö berita tentang orang paling berkuasa di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY diserang dengan garang. Sungguh membuat merah kuping dan hati panas.
Zaenal Maarif memang bukan orang pertama yang mengungkap isu tentang SBY menikah sebelum masuk Akmil tahun 1971. Sebelum pemilihan presiden tahun 2004, isu tersebut dilempar Jenderal (Purn) Hartono. Namun, bobotnya berbeda. Hartono meniupkan isu pada masa kampanye pemilihan umum sehingga dianggap cuma trik untuk meruntuhkan citra SBY. Buktinya SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden tahun 2004. Ketika Zaenal Maarif bernyanyi lagi tentang lagu yang sama tahun 2007, situasinya sudah berbeda. Apabila terbukti benar, SBY bisa lengser dari jabatan sebagai Presiden RI.
Poin yang mau beta sampaikan adalah sikap Presiden SBY menanggapi tudingan yang dapat menghancurkan bahtera rumah tangga, membunuh karakter bahkan jabatannya. Presiden SBY tidak mengadukan pemimpin redaksi atau penanggung jawab media massa yang memberitakan isu tersebut kepada aparat penegak hukum. Padahal berita sejumlah media sudah melewati batas kewajaran. Presiden SBY memilih cara elegan sesuai amanat Pasal 5 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers yaitu menggunakan hak jawab. SBY mengirim tanggapan tertulis kepada media massa yang memberitakan informasi dari Zaenal Maarif. Menurut UU Pers, yang dimaksudkan dengan hak jawab adalah Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Coba tuan dan puan bayangkan kejadian ini menimpa presiden pada masa Orde Baru? Media massa bakal dibredel dan pemimpin redaksi atau penanggung jawabnya dipastikan masuk penjara. Sikap Presiden SBY juga berbeda dengan presiden lain yang memimpin selama era reformasi.
SBY mengambil langkah hukum bukan terhadap jurnalis tetapi kepada sumber berita yaitu Zaenal Maarif. Proses hukum kemudian terbukti, isu yang ditiupkan Zaenal tidak benar dan posisi SBY sebagai presiden bertahan sampai hari ini.
Presiden SBY membuktikan komitmennya tidak mengganggu kemerdekaan pers di Indonesia. Prinsip yang dianut presiden adalah kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Kata-kata dibalas dengan kata-kata. Bukan kuasa atau otot.
Untuk komitmennya itu, panitia Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2009 menganugerahkan Medali Emas Kemerdekaan Pers kepada SBY untuk kategori individu. Untuk kategori institusi, panitia HPN 2009 yang terdiri dari delapan komponen masyarakat pers nasional menyerahkan medali emas kepada lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI).
SBY dan TNI dinilai mendukung kemerdekaan pers dengan menggunakan mekanisme hak jawab saat berperkara dengan pers.
Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebagai individu yang sejak 2005 hingga 2008 paling banyak menggunakan hak jawab menanggapi kasus pemberitaan tentang dirinya di media massa. Demikian pula dengan lembaga TNI. Penghargaan medali emas kepada Presiden SBY diserahkan tokoh pers, Jakob Oetama pada puncak peringatan HPN 2009 di Tenis Indoor, Senayan-Jakarta 9 Februari 2009.
Sedangkan penghargaan kepada TNI yang diterima Panglima TNI, Jenderal TNI Djoko Santoso diserahkan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal. "Saya sungguh ingin menjadi bagian dari kuatnya kemerdekaan pers, dan saya hanya salah satu dari pelaku di negeri ini," tutur SBY ketika itu.
Panitia HPN 2009 tingkat pusat melibatkan para pemangku kepentingan pers, antara lain PWI, Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSNI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia.
Penghargaan Medali Emas Kemerdekaan Pers merupakan tradisi baru. Baru pertama dalam sejarah pers nasional. Menurut Ketua Umum PWI Pusat, Margiono, tradisi itu akan dipertahankan dengan terus menyempurnakan mekanisme penilaian terhadap individu maupun institusi di masa datang.
Tentu saja tradisi yang baik ini akan menular ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk beranda rumah Flobamora. Mungkin tak lama lagi. Kata harus dibalas dengan kata. Bukankah kata-kata jauh lebih tajam daripada pedang? Kalau lebih tajam mengapa masih senang memakai otot? Mengapa masih doyan menggunakan teror? Kemerdekaan pers bukan bagi insan pers sendiri. Kemerdekaan pers adalah kebutuhan seluruh rakyat di negara demokrasi. Kata dibalas dengan kata..! (dionbata@poskupang.co.id)
Ikan Botok dan Gotong Royong Model Saluruk
NOELBAKI hanyalah sebuah desa kecil di pinggiran kota. Luasnya sekitar 20 kilometer persegi. Letaknya sekitar 17 kilometer arah timur Kota Kupang, ibukota Propinsi NTT. Meski desa ini kecil, namanya sudah telanjur 'besar' dan terkenal ke mana-mana. Desa ini dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Kabupaten Kupang.
Wilayah ini juga dikenal sebagai 'dapurnya' warga Kota Kupang, karena dari desa ini aneka sayuran dan buah-buahan diangkut ke sejumlah pasar di Kota Kupang.
Warga setempat umumnya bekerja sebagai petani sawah serta petani sayur dan buah. Ada juga peternak sapi paron atau ayam buras, buruh bangunan dan sisanya wiraswasta dan pegawai pemerintah (PNS).
Penduduk desa ini beraneka ragam. Sering disebut Desa Bhineka Tunggal Ika. Pasalnya, penduduknya terdiri dari warga lokal dan pendatang. Entah itu dari Sabang, Batak, Medan, Minangkabau, Pontianak, Jawa, Bali, Lombok, Makassar, Timor Leste (Eks Timor Timur), Ambon hingga Papua. Namun semuanya tetap hidup rukun dan damai.
Di desa kecil ini, saya menghabiskan masa kanak-kanak dan sebagian masa remaja. Pulang dari sekolah, saya dan teman-teman main kuti kelereng, main gala asing, atau main papan seluncur dari pelepah pinang atau pelepah kelapa di rafen (tebing curam, Red). Bosan main, kami beradu rezeki memancing ikan botok, mujair dan belut di sawah atau di danok (danau kecil, Red).
Kalau bosan, kami pergi fiti (menembak pakai katapel, Red) burung takek (betet, Red) di rumpun padi yang sudah menguning sambil bersembunyi di samping 'orang-orangan' yang berdiri menancap di tengah sawah. Kadang mete (begadang) fiti kabauk (kelelawar) yang curi buah pepaya dan pisang setengah masak atau buah kapuk yang masih muda.
Lain waktu, kami pergi jerat burung koak di pohon nunuk (beringin) pakai getah pohon dilak (buah Maja) atau jerat burung takukur (perkutut) dan burung pompa (merpati hutan, Red) serta burung puyuh pakai bulu ekor kuda. Atau main bola sepak jelang petang di tegalan sawah yang sedikit berlumpur. Masa kecil dan remajaku benar-benar indah.
Ada satu nilai kehidupan yang dianut warga Desa Noelbaki, yang sampai hari ini masih terus terpelihara dengan sangat baiknya. Yaitu semangat hidup bergotong royong. Pesta kenduri orang nikah, orang yang mati (kedukaan) atau bekerja di sawah, selalu dilakukan secara bergotong royong. Kalau ada orang yang ditimpa kedukaan, semua warga ramai-ramai 'kumpul keluarga', menyisihkan sedikit uang untuk meringankan beban keluarga yang berduka. Pemuda yang hendak melamar kekasihnya atau hendak menggelar pesta nikah, pasti warga datang untuk 'kumpul keluarga'. Bersihkan gereja atau masjid dilakukan bersama-sama.
Ada satu bentuk nilai dan model gotong royong yang sampai sekarang masih hidup di kalangan petani sawah di Noelbaki. Gotong royong model ini barangkali tidak ada di tempat lain. Yaitu gotong royong Saluruk. Saluruk adalah sebutan untuk sebuah wadah berbentuk bakul kecil. Biasanya terbuat dari anyaman daun lontar atau daun gewang.
Lalu bagaimana gotong royong model saluruk itu? Misalnya, ada warga yang hendak menanam benih padi di sawahnya atau hendak koruk padi di sawahnya, ia mengundang tetangga dan kerabatnya agar datang membantu. Mereka bergotong royong menanam benih padi (Nuk) di sawah atau Koruk (memotong batang padi pakai sabit) dan 'pukul padi' atau merontok bulir padi hingga jelang petang. Mereka bekerja bergotong royong sambil mendendangkan lagu-lagu yang indah atau melempar pantun di antara mereka, ditingkahi suara gemericik air dari pancuran dan jeritan burung angsa sawah. Benar-benar musik alam yang indah menawan hati.
Sampai hari terakhir panen, baru saluruk dikeluarkan oleh pemilik sawah. Saluruk ini diletakkan di tengah-tengah tumpukan gabah kering beralaskan tikar. Selanjutnya pemilik sawah menuangkan padi dalam saluruk hingga penuh. Padi dalam saluruk ini diberikan kepada kerabatnya yang datang membantu. Pemberian itu sebagai wujud penghargaan dan 'ucapan terima kasih' karena sudah membantu bekerja di sawah.
Sebut saja namanya Minah. Saat menanam, Minah membantu selama lima hari. Selanjutnya ketika koruk padi, Minah membantu selama lima hari. Berarti total 10 hari Minah membantu pemilik sawah. Satu hari kerja rata-rata Minah 'dihargai' dengan tiga saluruk. Berarti total Minah mendapat 30 saluruk atau setara empat karung putih penuh padi menjadi milik Minah untuk dibawa pulang ke rumahnya.
Dulunya, pemberian padi 'saluruk' ini semata-mata bernilai sosial religius daripada bernilai ekonomis. Dulunya, saluruk itu menjadi simbol perekat hubungan sosial dan kekerabatan antarwarga dalam kampung. Orang yang datang membantu pemilik sawah akan terus dikenang jasanya dan dianggap 'sodara dekat' karena sudah menghargai 'undangan' untuk datang membantu bekerja di sawah. Entah sekarang, mungkin nilai sosial religius pada saluruk ini sudah bergeser nilai menjadi sebatas upah kerja. Semoga tidak begitu. (Julianus Akoit)
Langganan:
Postingan (Atom)