"SEKARANG sumber air su dekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik. Karena mudah ambil air katong bisa hidup sehat."
Nukilan di atas merupakan bagian dari prolog salah satu iklan layanan masyarakat sebuah produk air minum ternama di Indonesia yang membangun fasilitas air bersih bagi masyarkat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Lantaran terus diiklankan di televisi, kabupaten yang berada 110 kilometer dari Kupang, NTT ini menjadi terkenal.
Ikon sumber air su dekat seakan-akan sudah mengental dengan kondisi yang dialami masyarakat TTS sampai saat ini. Persoalan ketiadaan sarana air bersih memang banyak dikeluhkan masyarakat TTS. Tak terkecuali warga Desa Oehela, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Sebelum sarana air dibangun di desa itu, betapa menderitanya warga untuk mendapatkan lima liter air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, warga terpaksa berjalan kaki hingga empat kilometer dari rumah. Jangan membayangkan jalan empat kilometer yang dilalui warga untuk mengambil air bersih itu datar dan lurus. Kondisi warga yang tinggal di wilayah perbukitan membuat mereka harus rela turun dan naik bukit untuk mendapatkan air bersih. Meski demikian, kondisi jalan yang naik-turun bukit tak membuat warga Oehela patah semangat.
Meski harus berjalan dua hingga tiga jam, warga Desa Oehela tetap bisa bertahan hidup dari waktu ke waktu dengan kondisi susah air. Menimba air dari sumber mata air yang dilakukan warga Oehela hanya untuk memenuhi kebutuhan minum saja. Sedangkan untuk mandi dan cuci mungkin urusan nomor kesekian.
Kesengsaraan warga untuk mendapatkan air bersih semakin bertambah bila musim kemarau tiba. Lantaran debit air dari sumber air berkurang, warga tidak bisa seenaknya menimba air. Demi keadilan dan pemerataan jatah air, pemerintah desa membuat jadwal pengambilan air bersih.
Tidak adanya sarana air bersih di Oehela saat itu membuat desa itu rawan terserang diare. Masyarakat saat itu tidak mungkin akan berpikir untuk membuat jamban lantaran susahnya mendapatkan air. Kini kesengsaraan yang dialami warga hingga berpuluh-puluh tahun itu akhirnya mendapatkan jawaban dari Tuhan. Melalui pemerintah daerah, akhirnya dibangun sarana air bersih di desa tersebut.
Kepala Desa Oehela, Yahuda Poli ditemui beberapa waktu lalu menyatakan warganya kini tidak lagi kesusahan mencari air bersih di sekitarnya. Untuk mendapatkan air bersih warga tinggal membuka kran air yang disediakan di beberapa tempat penampungan air. Untuk mencapai bak penampungan air yang sumbernya berasal dari mata air Oenunu di Desa Hane itu warga tinggal melangkah paling jauh seratus meter.
"Sejak saya lahir, baru kali ini saya merasakan adanya kemudahan sarana air bersih. Bila memasuki musim kemarau, warga kami harus rela antre bergiliran untuk mendapatkan air bersih. Keterbatasan debit air yang ada disumber air menjadikan tidak semua warga dapat mengonsumsinya dalam satu hari," ujar Yahuda.
Menurut Yahuda, beberapa waktu lalu warganya baru sekadar memanfaatkan air bersih yang ada untuk kepentingan makan, minum dan cuci. Meski demikian, warga juga akan memanfaatkan air bersih yang ada untuk tanam sayur-mayur. Lewat menanam sayur, masyarakat akan mendapatkan tambahan pendapatan dari hasil penjualan sayur-mayur di pasar," kata Yahuda.
Cerita kesengsaraan mendapat satu jerigen air bersih tidak hanya terjadi di Oehela saja. Cerita yang sama masih banyak terjadi di wilayah selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kondisi seperti itu memang banyak dikeluhkan masyarakat TTS. Dan, ketiadaan sarana air bersih banyak membuat orang sengsara. Meski susah air, masyarakat di desa tetap bisa eksis dan bertahan hidup hingga kini. Hebat! **
Rabu, 15 April 2009
Menyikapi Tawuran di Alor
Oleh Sipri Seko
ALOR, khususnya di Kalabahi, Ibu kota Kabupaten Alor sudah sejak lama dicap sebagai 'kota tawuran.' Tawuran pemuda antar-kampung terus terjadi, seolah-olah tak pernah mau berhenti. Berbagai upaya pendekatan dan solusi terus dicoba untuk mengatasinya, namun belum ada yang membuahkan hasil.
Minggu, (12/4/2009) malam hingga Senin (13/4/2009), bentrokan kembali terjadi. Dua kelompok pemuda di Pasar Inpres Lipa Bawah, Kelurahan Wetabua dan Lipa Atas, Kelurahan Nusa Kenari, Kalabahi, saling bakulempar. Beberapa rumah warga menjadi sasaran lemparan para pemuda. Aparat kepolisian pun harus turun mengamankannya. Namun, situasai menjadi tidak terkendali ketika para pemuda malah menyerang balik aparat kepolisian. Entah sudah jenuh dan 'muak' karena harus terus mengurus bentrok antar-pemuda, beberapa warga sipil yang pun terkena tembakan aparat kepolisian. Seorang anggota polisi juga terkena panah.
Melihat fenomena yang terjadi di Kalabahi, bentrok, tawuran, perkelahian atau apapun namanya yang sering terjadi, biasanya dipicu masalah-masalah yang sepele. Mungkin karena 'rasa solidaritas' yang berlebihan membuat mereka yang tidak berkepentingan dengan masalah tersebut sering ikut campur. Masuknya pihak ketiga seperti inilah yang sering membuat masalah menjadi tambah panjang.
Pengiriman anggota Brimob dari Polda NTT yang sering dilakukan biasanya hanya meredam mereka untuk sementara waktu. Ketika ada aparat kepolisian, tidak ada aksi massa yang nampak, namun ketika aparat kepolisian sudah ditarik bentrok pasti akan terjadilah.
Okelah, kalau menyikapi masalah-masalah seperti Pemerintah Kabupaten Alor langsung menggelar rapat lengkap. Tetapi, sejauh pengalaman selama ini, rapat-rapat tersebut tidak pernah menyelesaikan masalah. Akar persoalan tidak pernah diketahui untuk diselesaikan. Untuk itu, salah satu cara yang harus segera dilakukan adalah mencari akar dari persoalan-persoalan ini.
Sebagai manusia biasa, semua orang tentu tidak ingin saling membenci dengan orang lain. Hal ini juga tentu sama dengan keinginan kelompok pemuda di Lipa Bawah dan Lipa Atas. Mereka tentu menginginkan kedamaian. Mereka tentu masih 'basodara' dan punya garis keturunan yang sama. Untuk itu, dalam menyelesaikan persoalan atau bentrokan yang sering terjadi, harus adil. Tidak boleh ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan yang diambil.
Untuk itu, para pemuda ini harus diajak untuk duduk bersama. Mereka harus diberi kesempatan untuk mengeluarkan unek-uneknya. Setelah itu baru dicarikan solusinya. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini, tokoh-tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tua adat, tokoh agama maupun tokoh-tokoh perempuan harus diajak. Mereka harus diberi kesempatan untuk membantu mencarikan solusi penyelesaiaan, karena saban hari mereka yang bersama para pemuda, sehingga sangat mengetahui persoalan yang terjadi di sana. Di sini, pemerintah harus tetap menjadi fasilitator.
Salah satu saran lainnya untuk menyikapi maraknya bentrok antar-pemuda di Alor adalah dengan mengajak mereka beraktivitas. Berikan kesempatan kepada para pemuda untuk berekspresi, baik lewat kegiatan seni budaya, olahraga atau lainnya. Ciptakan lapangan kerja untuk mereka. Karena biasanya, 'kesenangan' ikut dalam tawuran terjadi karena mereka tidak memiliki ajang untuk melampiaskan ekspresi jiwanya.
Setelah para pemuda ini diajak masuk dalam komunitas yang dibangun, berikan mereka tanggung jawab untuk mengamankan kampungnya. Bentuklah 'pendekar-pendekar kampung' yang akan menjadi orang pertama yang bertanggungjawab bila terjadi bentrok atau tawuran. Agak sukar dan berat untuk melakukan hal-hal ini, namun demi kedamiaan dan kenyamanan dalam pembangunan, solusi harus ditawarkan kepada para pemuda.
Yang pasti, apapun namanya, segala alasan untuk bakupukul antar-kampung tidak dibenarkan. Sebagai pemuda yang oleh banyak pihak disebut sebagai pilar bangsa, harus sadar bahwa masa depan bangsa ada di pundak kita. Ketika ketika meletakan dasar yang tidak baik, maka saatnya nanti, kita jugalah yang akan menuai hasil yang buruk.
Saran juga untuk aparat kepolisian agar dalam menjalankan tugas pengamanannya harus tetap sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Maksudnya, agar ketika ada warga sipil yang tertembak, pertanggungjawabannya jelas, yakni karena melawan hukum. Namun, ketika tembakan dilepas hanya dengan alasan sudah jenuh, bosan atau jengkel, maka itu tidak dibenarkan. Karena bagaimanapun juga, semua manusia pasti menginginkan kedamaian. **
ALOR, khususnya di Kalabahi, Ibu kota Kabupaten Alor sudah sejak lama dicap sebagai 'kota tawuran.' Tawuran pemuda antar-kampung terus terjadi, seolah-olah tak pernah mau berhenti. Berbagai upaya pendekatan dan solusi terus dicoba untuk mengatasinya, namun belum ada yang membuahkan hasil.
Minggu, (12/4/2009) malam hingga Senin (13/4/2009), bentrokan kembali terjadi. Dua kelompok pemuda di Pasar Inpres Lipa Bawah, Kelurahan Wetabua dan Lipa Atas, Kelurahan Nusa Kenari, Kalabahi, saling bakulempar. Beberapa rumah warga menjadi sasaran lemparan para pemuda. Aparat kepolisian pun harus turun mengamankannya. Namun, situasai menjadi tidak terkendali ketika para pemuda malah menyerang balik aparat kepolisian. Entah sudah jenuh dan 'muak' karena harus terus mengurus bentrok antar-pemuda, beberapa warga sipil yang pun terkena tembakan aparat kepolisian. Seorang anggota polisi juga terkena panah.
Melihat fenomena yang terjadi di Kalabahi, bentrok, tawuran, perkelahian atau apapun namanya yang sering terjadi, biasanya dipicu masalah-masalah yang sepele. Mungkin karena 'rasa solidaritas' yang berlebihan membuat mereka yang tidak berkepentingan dengan masalah tersebut sering ikut campur. Masuknya pihak ketiga seperti inilah yang sering membuat masalah menjadi tambah panjang.
Pengiriman anggota Brimob dari Polda NTT yang sering dilakukan biasanya hanya meredam mereka untuk sementara waktu. Ketika ada aparat kepolisian, tidak ada aksi massa yang nampak, namun ketika aparat kepolisian sudah ditarik bentrok pasti akan terjadilah.
Okelah, kalau menyikapi masalah-masalah seperti Pemerintah Kabupaten Alor langsung menggelar rapat lengkap. Tetapi, sejauh pengalaman selama ini, rapat-rapat tersebut tidak pernah menyelesaikan masalah. Akar persoalan tidak pernah diketahui untuk diselesaikan. Untuk itu, salah satu cara yang harus segera dilakukan adalah mencari akar dari persoalan-persoalan ini.
Sebagai manusia biasa, semua orang tentu tidak ingin saling membenci dengan orang lain. Hal ini juga tentu sama dengan keinginan kelompok pemuda di Lipa Bawah dan Lipa Atas. Mereka tentu menginginkan kedamaian. Mereka tentu masih 'basodara' dan punya garis keturunan yang sama. Untuk itu, dalam menyelesaikan persoalan atau bentrokan yang sering terjadi, harus adil. Tidak boleh ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan yang diambil.
Untuk itu, para pemuda ini harus diajak untuk duduk bersama. Mereka harus diberi kesempatan untuk mengeluarkan unek-uneknya. Setelah itu baru dicarikan solusinya. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini, tokoh-tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tua adat, tokoh agama maupun tokoh-tokoh perempuan harus diajak. Mereka harus diberi kesempatan untuk membantu mencarikan solusi penyelesaiaan, karena saban hari mereka yang bersama para pemuda, sehingga sangat mengetahui persoalan yang terjadi di sana. Di sini, pemerintah harus tetap menjadi fasilitator.
Salah satu saran lainnya untuk menyikapi maraknya bentrok antar-pemuda di Alor adalah dengan mengajak mereka beraktivitas. Berikan kesempatan kepada para pemuda untuk berekspresi, baik lewat kegiatan seni budaya, olahraga atau lainnya. Ciptakan lapangan kerja untuk mereka. Karena biasanya, 'kesenangan' ikut dalam tawuran terjadi karena mereka tidak memiliki ajang untuk melampiaskan ekspresi jiwanya.
Setelah para pemuda ini diajak masuk dalam komunitas yang dibangun, berikan mereka tanggung jawab untuk mengamankan kampungnya. Bentuklah 'pendekar-pendekar kampung' yang akan menjadi orang pertama yang bertanggungjawab bila terjadi bentrok atau tawuran. Agak sukar dan berat untuk melakukan hal-hal ini, namun demi kedamiaan dan kenyamanan dalam pembangunan, solusi harus ditawarkan kepada para pemuda.
Yang pasti, apapun namanya, segala alasan untuk bakupukul antar-kampung tidak dibenarkan. Sebagai pemuda yang oleh banyak pihak disebut sebagai pilar bangsa, harus sadar bahwa masa depan bangsa ada di pundak kita. Ketika ketika meletakan dasar yang tidak baik, maka saatnya nanti, kita jugalah yang akan menuai hasil yang buruk.
Saran juga untuk aparat kepolisian agar dalam menjalankan tugas pengamanannya harus tetap sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Maksudnya, agar ketika ada warga sipil yang tertembak, pertanggungjawabannya jelas, yakni karena melawan hukum. Namun, ketika tembakan dilepas hanya dengan alasan sudah jenuh, bosan atau jengkel, maka itu tidak dibenarkan. Karena bagaimanapun juga, semua manusia pasti menginginkan kedamaian. **
Langganan:
Postingan (Atom)