UIS Neno ma Uis Pah. Muit sam Babnain Mollo Miomafo pah manifu Lema a’fa manamas. Anmui fatu kanaf, oekanaf, haukanaf, ma afu. Napoetan Lomit neo ale atoni le ankius ma anen. Nako manas anpe hit bab fin nem ma anhunun. Ue, ae, uhue, Na’ko Buraen sin Lospalos. Usi Liurai, Sonbai, Ifo Bere, Fahik Bere, Onane Tsu Kune, Naike Kune, Jabi Uf, Besi Uf
(Dewa langit dan dewi bumi suku Mollo Miomafo tercinta. Pemberi kesuburan dan pencipta segala sesuatu. Dewa yang membangkitkan roh dan daging bagi mereka yang melihat dan mendengar. Mencipta beribu-ribu suku bangsa Timor yang terbentang dari Buraen, ujung barat Timor, sampai Lospalos, ujung timur pulau Timor, lengkap dengan hutan, gunung, batu, air, dan sungai. Semuanya sebagai pelengkap kesejahteraan. Kami mengajak datang ke tempat ini dan saksikan janji setia kami: anak-cucu suku Mollo Miomafo).
Kalimat pembuka sumpah adat itu mengawali seluruh rangkaian ritus kelestarian hutan, gunung, sungai, dan batu di kalangan suku Mollo, di Desa Tune, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), pertengahan Junilalu. Suku Mollo berdiam di tujuh kecamatan di TTS.
Ada tiga tingkat altar batu di bukit itu, pertama, Amnesat atau pelataran umum. Kedua, di tengah amnesat dibangun pelataran khusus yang disebut Bale Paot atau tempat penantian berukuran 7 x 7 meter persegi dengan ketinggian satu meter dari pelataran umum. Ketiga, altar di atas Bale Paot digunakan untuk upacara Fai Eno atau buka pintu oleh tujuh tetua adat dalam rangka mengundang kehadiran nenek moyang.
Tujuh tetua adat ini mewakili tujuh suku di Mollo, yang disebut "anatobe". Mereka mengenakan pakaian adat khas Timor: sarung, kain ikat kepala, gelang tangan atau kaki, manik-manik, dan kalung yang terbuat dari tembaga.
Di atas Bale Paot ini diletakkan sesajian, uang logam, dan hewan korban. Altar ini hanya diisi para tetua adat dan para undangan khusus (oleh Anatobe setelah ia mendapat bisikan dari nenek moyang).
Rakyat menunggu di pelataran umum. Di sini kaum ibu, anak, orangtua, dan mereka yang sakit hadir menunggu proses pemberian sesajian dan doa adat kepada nenek moyang. Makan bersama diselenggarakan di tempat ini pula.
Baca sumpah
Para tetua adat kemudian berdoa meminta para nenek moyang hadir
mendengarkan keluh kesah, sekaligus sumpah setia anak cucu suku Mollo.
Dalam kesempatan itu, teks sumpah adat yang dibacakan Deci Ola’a Nifu, perempuan keturunan raja Mollo, kemudian diikuti para hadirin. Inti sumpah adalah kesetiaan warga Mollo, termasuk hewan dan ternak, ntuk melestarikan lingkungan sekitar. Gunung-gunung batu yang selama ini dikelola menjadi marmer oleh para pengusaha akan dilindungi karena dipercaya sebagai tulang rusuk nenek moyang. Kehancuran hutan dan gunung batu adalah kehancuran masa depan anak cucu Mollo.
Seusai membacakan teks, semua peserta diajak merenungi apa yang telah diucapkan dan meminta kekuatan nenek moyang untuk membantu merealisasikan sumpah tersebut. Setelah merenung lima menit, upacara dilanjutkan dengan lagu Tanah Mollo, yang menggambarkan kehancuran hutan, batu, gunung dan sungai oleh tangan-tangan jahil. Tanggung jawab dari keadaan itu ada pada seluruh generasi Mollo.
Penjaga batu dan hutan desa Tenu, Yar Oematan, menjelaskan, biasanya sumpah adat ditandai dengan pemotongan hewan kurban di puncak bukit itu berupa babi atau ayam. Darah hewan kurban diteteskan pada tiang-tiang batu, pohon, hutan, dan sungai yang berada di lereng Bukit Peke seusai ikrar sumpah adat.
Namun, tahun ini masyarakat Desa Tenu kesulitan mendapatkan hewan kurban sehingga upacara hanya diselenggarakan dengan doa dan sumpah adat.
Setelah mengikrarkan sumpah setia, peserta naik ke pelataran kedua, tempat kuburan nenek moyang dengan ketinggian sekitar 10 meter dari pelataran umum. Sayangnya, tidak satu pun dari para tetua adat itu tahu siapa yang dikuburkan di tempat tersebut, termasuk pemilik utama bukit, gunung, hutan, dan sungai, yakni suku Oematan. Di lokasi itu hanya ada tumpukan batu tua yang menyerupai kuburan dan sudah ditumbuhi lumut.
Rombongan kemudian mendaki, menuju pelataran ketiga sekitar 10 meter dari kuburan nenek moyang. Di sini terdapat satu batu yang disebut Fatu Sobe atau batu topi. Tempat ini diyakini sebagai tempat terkudus, hanya diinjak para tetua adat yang meminta kekuatan atau perlindungan.
Anak sungai
Di puncak itu bisa disaksikan salah satu anak Sungai Benanain mengalir dari kaki Bukit Peke. Sungai tersebut sering membawa bencana bagi masyarakat TTS, Belu, dan TTU. Luapan Benanain sering dikaitkan dengan kemarahan nenek moyang akibat perusakan lingkungan sekitar.
Ada empat tamaf atau nenek moyang suku Mollo yang mereka yakini. Mereka adalah Limbau Olanone (penjaga Gunung Mutis), Anin Anone Banu (penjaga lembah dan lereng gunung), Lim Klay Noni (penjaga sungai dan lembah), dan Neo Naek (panglima besar yang mengamankan seluruh areal). Siapa yang merusak lingkungan sekitar diyakini akan mendapat hukuman.
Dalam rangka memperkuat peran nenek moyang tersebut, setiap tanggal 15 Juni diselenggarakan sumpah setia di Bukit Peke. Sumpah tersebut dipimpin Yusuf Lim selaku ketua adat. Masing-masing suku atau marga punya peran tersendiri dalam proses sumpah adat itu.
Upacara tahun ini diikuti sekitar 300 orang. Mereka berjalan kaki dari kediaman ketua adat Yusuf Lim sejauh 5 kilometer menuju puncak Bukit Peke. Seluruh peserta sumpah menelusuri lorong setapak melewati hutan dan sungai sampai ke puncak Bukit Peke.
Sebelum mendaki bukit, di kaki bukit itu 10 perempuan tua memukul gong sambil bernyanyi, sedangkan kaum pria mengucapkan mantera-mantera adat. Ketua adat sambil berlindung di bawah salah satu pohon jati berusia ratusan tahun kemudian memintakan izin kepada nenek moyang penjaga bukit bahwa anak cucu ingin bertemu. Setelah itu peserta mendaki bukit. Itulah ritual tujuh suku di NTT.
Sumber: Kompas
Penulis: Kornelis Kewa Ama
Sabtu, 23 Januari 2010
Senin, 11 Januari 2010
Mengenai Keterlambatan Penetapan APBD
HARIAN ini, sejak awal pekan ini, terus memberitakan tentang molornya penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Ada banyak alasan yang mengemuka, mulai dari keterlambatan penetapan alat kelengkapan dewan hingga molornya penyusunan program kerja dari eksekutif.
Menurut pengamat ilmu pemerintahan, David Pandie, APBD merupakan agenda operasional pemerintah. Di situ termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai resources (sumber saya-sumber daya). Persoalan dalam APBD adalah siklus, mulai dari perencanaan, pembahasan, perubahan, pengesahan sampai pelaksanaan anggaran dan perubahan anggaran. Dengan demikian, dibutuhkan manajemen koordinasi yang baik.
Selama ini, eksektif (gubernur/bupati/walikota dan SKPD- nya) selalu menjadi sasaran kritik terkait penyusunan, pembahasan, penetapan dan pelaksanaan. Kalau terlambat ditetapkan atau molor, selalu saja eksekutif yang disalahkan. Apakah benar demikian? Padahal sesuai undang-undang tentang otonomi daerah, pemerintah terdiri dari eksekutif dan legislatif (DPR/DPRD). Itu artinya, kalau siklus APBD bermasalah, maka lembaga legislatif juga harus dimintai pertanggungjawabannya.
Keterlambatan penetapan APBD jelas menimbulkan banyak efek. Efek positif dan negatif yang timbul akan langsung berpengaruh pada hasil pembangunan atau pengelolaan APBD. Keterlambatan penetapan APBD juga akan berdampak pada tertundanya penyaluran dana perimbangan, yakni dana alokasi umum (DAU) sebesar 25 persen. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 31 Januari, APBD sudah harus ditetapkan baru DAU bisa dicairkan.
Salah satunya adalah tidak memanfaatkan dengan tuntas anggaran yang sudah dituangkan dalam APBD. Akibat ikutannya adalah terjadinya Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran). Anggaran yang diplot untuk pembiayaan pembangunan harus dikembalikan kepada negara. Padahal, sistem pengelolaan anggaran yang diterapkan saat ini adalah berbasis kinerja. Artinya, kalau sebuah SKPD tidak mampu menggunakan semua anggarannya, berarti kinerjanya lemah.
Tapi kinerja SKPD tidak seratus persen dilihat dari Silpa. Bagaimana mereka mau maksimal kalau APBD saja baru ditetapkan di pertengahan tahun? Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur bahwa penetapan APBD paling lambat pada tanggal 31 Desember di tahun anggaran sebelumnya. Ini maksudnya adalah, setelah penyerahan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) dari pemerintah pusat daerah sudah siap menyelenggarakan pembangunan karena APBD sudah ditetapkan.
Untuk tahun 2010, NTT mendapat DIPA dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,4 triliun. DIPA itu akan diserahkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya kepada para bupati se-NTT, Kamis (7/12/2009). Ini berarti sejak saat ini, proses pembangunan di NTT sudah bisa dilaksanakan karena anggarannya sudah ada.
Membahas tentang siklus APBD di NTT baik propinsi maupun kabupaten/kota memang menggelikan. Di saat ada kampanye tentang percepatan proses pembangunan, namun secara tidak langsung sudah ada upaya untuk menghambat. Bagaimana aparatur atau pelaksana lapangan bisa bekerja dengan maksimal kalau proses tender proyek saja baru dimulai pertengahan tahun.
Benar juga kritikan dari para pengamat bahwa komunikasi aparatur pemerintah baik eksekutif maupun legislatif di NTT belum ada. Semua masih mempertahankan egonya. Padahal, SKPD dengan pengalaman yang dimilikinya saban tahun selalu menyusun program sehingga seharusnya tidak ada masalah dalam perencanaan dan pembahasan. Selain itu, proses perencanaan pembangunan mulai dari musyawarah tingkat desa/kelurahan hingga propinsi sudah menetapkan prioritas pembangunan. Artinya, rutinitas siklus APBD ini seharusnya bukan menjadi alasan terlambatnya penetapan karena sudah berulangkali dilaksanakan.
Komunikasi antara eksekutif dan legislatif harus dibenahi. Dengan bertamengkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seharusnya proses atau siklus APBD tidak terhambat. Beda kepentingan pun harus dihentikan. Dengan hak anggaran yang dimilikinya, legislatif juga paham bahwa lebih cepat APBD ditetapkan, akan sangat berguna untuk rakyat yang diwakilinya.
Kita semua tentu ingin dana yang diperuntukan untuk rakyat habis terpakai. Rakyat harus menikmati proses pembangunan. Untuk itu proses pembangunan yang diawali dari penetapan APBD harus diselesaikan tepat waktu. Dari sini barulah kinerja aparatur pemerintah bisa dinilai. Apa susahnya merencanakan dan membahas RAPBD sehingga harus berlarut-larut? *
Menurut pengamat ilmu pemerintahan, David Pandie, APBD merupakan agenda operasional pemerintah. Di situ termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai resources (sumber saya-sumber daya). Persoalan dalam APBD adalah siklus, mulai dari perencanaan, pembahasan, perubahan, pengesahan sampai pelaksanaan anggaran dan perubahan anggaran. Dengan demikian, dibutuhkan manajemen koordinasi yang baik.
Selama ini, eksektif (gubernur/bupati/walikota dan SKPD- nya) selalu menjadi sasaran kritik terkait penyusunan, pembahasan, penetapan dan pelaksanaan. Kalau terlambat ditetapkan atau molor, selalu saja eksekutif yang disalahkan. Apakah benar demikian? Padahal sesuai undang-undang tentang otonomi daerah, pemerintah terdiri dari eksekutif dan legislatif (DPR/DPRD). Itu artinya, kalau siklus APBD bermasalah, maka lembaga legislatif juga harus dimintai pertanggungjawabannya.
Keterlambatan penetapan APBD jelas menimbulkan banyak efek. Efek positif dan negatif yang timbul akan langsung berpengaruh pada hasil pembangunan atau pengelolaan APBD. Keterlambatan penetapan APBD juga akan berdampak pada tertundanya penyaluran dana perimbangan, yakni dana alokasi umum (DAU) sebesar 25 persen. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 31 Januari, APBD sudah harus ditetapkan baru DAU bisa dicairkan.
Salah satunya adalah tidak memanfaatkan dengan tuntas anggaran yang sudah dituangkan dalam APBD. Akibat ikutannya adalah terjadinya Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran). Anggaran yang diplot untuk pembiayaan pembangunan harus dikembalikan kepada negara. Padahal, sistem pengelolaan anggaran yang diterapkan saat ini adalah berbasis kinerja. Artinya, kalau sebuah SKPD tidak mampu menggunakan semua anggarannya, berarti kinerjanya lemah.
Tapi kinerja SKPD tidak seratus persen dilihat dari Silpa. Bagaimana mereka mau maksimal kalau APBD saja baru ditetapkan di pertengahan tahun? Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur bahwa penetapan APBD paling lambat pada tanggal 31 Desember di tahun anggaran sebelumnya. Ini maksudnya adalah, setelah penyerahan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) dari pemerintah pusat daerah sudah siap menyelenggarakan pembangunan karena APBD sudah ditetapkan.
Untuk tahun 2010, NTT mendapat DIPA dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,4 triliun. DIPA itu akan diserahkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya kepada para bupati se-NTT, Kamis (7/12/2009). Ini berarti sejak saat ini, proses pembangunan di NTT sudah bisa dilaksanakan karena anggarannya sudah ada.
Membahas tentang siklus APBD di NTT baik propinsi maupun kabupaten/kota memang menggelikan. Di saat ada kampanye tentang percepatan proses pembangunan, namun secara tidak langsung sudah ada upaya untuk menghambat. Bagaimana aparatur atau pelaksana lapangan bisa bekerja dengan maksimal kalau proses tender proyek saja baru dimulai pertengahan tahun.
Benar juga kritikan dari para pengamat bahwa komunikasi aparatur pemerintah baik eksekutif maupun legislatif di NTT belum ada. Semua masih mempertahankan egonya. Padahal, SKPD dengan pengalaman yang dimilikinya saban tahun selalu menyusun program sehingga seharusnya tidak ada masalah dalam perencanaan dan pembahasan. Selain itu, proses perencanaan pembangunan mulai dari musyawarah tingkat desa/kelurahan hingga propinsi sudah menetapkan prioritas pembangunan. Artinya, rutinitas siklus APBD ini seharusnya bukan menjadi alasan terlambatnya penetapan karena sudah berulangkali dilaksanakan.
Komunikasi antara eksekutif dan legislatif harus dibenahi. Dengan bertamengkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seharusnya proses atau siklus APBD tidak terhambat. Beda kepentingan pun harus dihentikan. Dengan hak anggaran yang dimilikinya, legislatif juga paham bahwa lebih cepat APBD ditetapkan, akan sangat berguna untuk rakyat yang diwakilinya.
Kita semua tentu ingin dana yang diperuntukan untuk rakyat habis terpakai. Rakyat harus menikmati proses pembangunan. Untuk itu proses pembangunan yang diawali dari penetapan APBD harus diselesaikan tepat waktu. Dari sini barulah kinerja aparatur pemerintah bisa dinilai. Apa susahnya merencanakan dan membahas RAPBD sehingga harus berlarut-larut? *
Langganan:
Postingan (Atom)