Senin, 11 Januari 2010

Mengenai Keterlambatan Penetapan APBD

HARIAN ini, sejak awal pekan ini, terus memberitakan tentang molornya penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Ada banyak alasan yang mengemuka, mulai dari keterlambatan penetapan alat kelengkapan dewan hingga molornya penyusunan program kerja dari eksekutif.

Menurut pengamat ilmu pemerintahan, David Pandie, APBD merupakan agenda operasional pemerintah. Di situ termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai resources (sumber saya-sumber daya). Persoalan dalam APBD adalah siklus, mulai dari perencanaan, pembahasan, perubahan, pengesahan sampai pelaksanaan anggaran dan perubahan anggaran. Dengan demikian, dibutuhkan manajemen koordinasi yang baik.

Selama ini, eksektif (gubernur/bupati/walikota dan SKPD- nya) selalu menjadi sasaran kritik terkait penyusunan, pembahasan, penetapan dan pelaksanaan. Kalau terlambat ditetapkan atau molor, selalu saja eksekutif yang disalahkan. Apakah benar demikian? Padahal sesuai undang-undang tentang otonomi daerah, pemerintah terdiri dari eksekutif dan legislatif (DPR/DPRD). Itu artinya, kalau siklus APBD bermasalah, maka lembaga legislatif juga harus dimintai pertanggungjawabannya.

Keterlambatan penetapan APBD jelas menimbulkan banyak efek. Efek positif dan negatif yang timbul akan langsung berpengaruh pada hasil pembangunan atau pengelolaan APBD. Keterlambatan penetapan APBD juga akan berdampak pada tertundanya penyaluran dana perimbangan, yakni dana alokasi umum (DAU) sebesar 25 persen. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 31 Januari, APBD sudah harus ditetapkan baru DAU bisa dicairkan.

Salah satunya adalah tidak memanfaatkan dengan tuntas anggaran yang sudah dituangkan dalam APBD. Akibat ikutannya adalah terjadinya Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran). Anggaran yang diplot untuk pembiayaan pembangunan harus dikembalikan kepada negara. Padahal, sistem pengelolaan anggaran yang diterapkan saat ini adalah berbasis kinerja. Artinya, kalau sebuah SKPD tidak mampu menggunakan semua anggarannya, berarti kinerjanya lemah.

Tapi kinerja SKPD tidak seratus persen dilihat dari Silpa. Bagaimana mereka mau maksimal kalau APBD saja baru ditetapkan di pertengahan tahun? Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur bahwa penetapan APBD paling lambat pada tanggal 31 Desember di tahun anggaran sebelumnya. Ini maksudnya adalah, setelah penyerahan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) dari pemerintah pusat daerah sudah siap menyelenggarakan pembangunan karena APBD sudah ditetapkan.

Untuk tahun 2010, NTT mendapat DIPA dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,4 triliun. DIPA itu akan diserahkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya kepada para bupati se-NTT, Kamis (7/12/2009). Ini berarti sejak saat ini, proses pembangunan di NTT sudah bisa dilaksanakan karena anggarannya sudah ada.

Membahas tentang siklus APBD di NTT baik propinsi maupun kabupaten/kota memang menggelikan. Di saat ada kampanye tentang percepatan proses pembangunan, namun secara tidak langsung sudah ada upaya untuk menghambat. Bagaimana aparatur atau pelaksana lapangan bisa bekerja dengan maksimal kalau proses tender proyek saja baru dimulai pertengahan tahun. 

Benar juga kritikan dari para pengamat bahwa komunikasi aparatur pemerintah baik eksekutif maupun legislatif di NTT belum ada. Semua masih mempertahankan egonya. Padahal, SKPD dengan pengalaman yang dimilikinya saban tahun selalu menyusun program sehingga seharusnya tidak ada masalah dalam perencanaan dan pembahasan. Selain itu, proses perencanaan pembangunan mulai dari musyawarah tingkat desa/kelurahan hingga propinsi sudah menetapkan prioritas pembangunan. Artinya, rutinitas siklus APBD ini seharusnya bukan menjadi alasan terlambatnya penetapan karena sudah berulangkali dilaksanakan.

Komunikasi antara eksekutif dan legislatif harus dibenahi. Dengan bertamengkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seharusnya proses atau siklus APBD tidak terhambat. Beda kepentingan pun harus dihentikan. Dengan hak anggaran yang dimilikinya, legislatif juga paham bahwa lebih cepat APBD ditetapkan, akan sangat berguna untuk rakyat yang diwakilinya.

Kita semua tentu ingin dana yang diperuntukan untuk rakyat habis terpakai. Rakyat harus menikmati proses pembangunan. Untuk itu proses pembangunan yang diawali dari penetapan APBD harus diselesaikan tepat waktu. Dari sini barulah kinerja aparatur pemerintah bisa dinilai. Apa susahnya merencanakan dan membahas RAPBD sehingga harus berlarut-larut? *

Tidak ada komentar:

SYALOM