TIGA kali sudah kompetisi sepakbola Piala Gubernur NTT digelar. Tahun 2008, Persap Alor keluar sebagai juara. Kalau tahun lalu Perseftim Flores Timur menjadi yang terbaik, tahun ini sang raksasa sepakbola NTT, PS Ngada (PSN) adalah sang juara.
Kompetisi ini digelar sebagai ajang seleksi bagi klub-klub untuk mewakili NTT di kualifikasi Divisi III Liga Indonesia. Kalau sebelumnya Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI) memberi jatah tiga klub bagi Indonesia, tahun ini dinaikkan menjadi empat. Itu artinya, peringkat pertama hingga keempat berhak mewakili NTT di Divisi III.
Hanya tim terbaik yang mengikuti Divisi III. Mereka harus melewati babak penyisihan yang ketat sehingga peringkat pertama, kedua, ketiga dan keempat yang diraihnya merupakan sebuah prestasi. Namun, harapan untuk mendapatkan tim berkualitas di tahun ini nampaknya masih jauh dari harapan. Bagaimana tidak, dari 21 kabupaten/kota di NTT, hanya lima tim yang berpartisipasi di Piala Gubernur 2010. Satu tim, Persena Nagekeo, sesuai informasi yang dihimpun harian ini, semua pemainnya adalah anak-anak Kota Kupang yang tersisih saat seleksi di tim PS Kota Kupang.
Itu artinya, hanya empat klub yang mengikuti kompetisi ini, karena Nagekeo tidak mengirim tim. Kalaupun Nagekeo mengirimkan tim, sesuai penjelasan dari Sekretaris Umum Pengprop PSSI NTT, Drs. Lambert Tukan, M.M, saat Raparda PSSI di Aula Dinas Kesehatan Propinsi NTT, mereka tidak bisa bermain di Divisi III karena belum terdaftar sebagai klub resmi di PSSI. Apakah Persena Nagekeo adalah klub ilegal yang mengikuti kompetisi resmi di bawah PSSI ini?
Mendaftar saja untuk ikut Piala Gubernur, PSN, PSKK, Perss SoE, Perse Ende sudah pasti lolos ke Divisi III. Kalau Piala Gubernur ukuran adalah lolos ke Divisi III, maka PSN, PSKK, Perss dan Perse sudah mencatat prestasi besar. Namun kalau ukurannya adalah prestasi, pertanyaan lanjutannya adalah apakah PSN layak juara dan PSKK pantas menjadi runner-up? Semua orang mengakui PSN dan PSKK adalah raksasa sepakbola di NTT. Namun meraih gelar tanpa lewat kompetisi yang ketat, belum bisa dijadikan acuan kualitas.
Kita tidak bisa mengalahkan siapa-siapa. Bukan tanggungjawab PSN dan PSKK ketika tim lain tidak mau mengikuti kompetisi. Klub lain juga tidak bisa meragukan gelar mereka karena itu diraih melalui kompetisi yang resmi. Kita juga tidak bisa mempersalahkan Pemprop NTT sebagai pemilik anggaran dan Pengprop PSSI NTT yang terkesan hanya mau menghabiskan anggaran dan menjalankan program yang sudah direncanakan.
Pekerjaan penting yang harus dilakukan sekarang adalah mempersiapkan diri lebih matang menghadapi kualifikasi Divisi III tahun depan. Empat klub mewakili NTT membuat peluang Kota Kupang untuk menjadi tuan rumah sangat besar. Untuk itu, mumpung saat ini masih dalam tahap pembahasan anggaran di DPRD, para pengurus bola dan KONI Ngada, Kota Kupang, TTS dan Ende sudah harus memasukannya dalam anggaran di APBD.
Saran ini diberikan kalau kita memang menginginkan sepakbola NTT berprestasi di tingkat nasional. Kendala dana menjadi persoalan klasik dalam pembinaan sepakbola di NTT. Lihat saja Persap Alor atau PSN yang hampir masuk Divisi I, namun akhirnya terdegradasi hanya karena tidak ikut lanjutan kualifikasi akibat ketiadaan dana.
Yang menjadi persoalan adalah kita di NTT ini antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan pelaku bola belum sepaham tentang sepakbola industri, sepakbola modern ataupun sepakbola bisnis. Kita baru sebatas tahu bahwa sepakbola adalah permainan rakyat yang sering menimbulkan kericuhan akibat kualitas wasit yang rendah, misalnya. Kita belum tahu kalau sepakbola itu bisa jadi sumber pendapatan, lapangan kerja baru, arena sosialisasi diri, promosi maupun pertaruhan gengsi daerah.
Kalau ini dipahami dengan benar, dana seharusnya bukan sebuah kendala. Lihat saja daerah lain yang dalam satu kabupaten/kota ada lebih dari satu tim yang bermain di Liga Super Indonesia, Divisi Utama maupun Divisi I. Padahal, mereka berkompetisi lewat anggaran dari APBD. Di sana, pemahamanannya adalah, anggaran dari APBD untuk sepakbola adalah investasi sebagai salah satu sumber PAD, bukan sumbangan cuma-cuma. Mereka tahu bahwa anggaran Rp 20 miliar misalnya untuk satu musim kompetisi imbal baliknya akan lebih dari itu.
Bagaimana itu bisa terjadi di NTT? Tugas kita bersama. Tugas para pengurus bola untuk meyakinkan pemegang kebijakan bahwa berinvestasi untuk pembangunan kemasyarakatan juga bisa lewat olahraga. Perangkat aturannya jelas, yakni UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang salah satu ayatnya menekankan tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk olahraga. Apakah NTT sudah melakukannya? **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar