Oleh Adiana Ahmad
KEMATIAN adalah takdir. Kapan sesorang mati, itu rahasia Tuhan. Semua manusia tak bisa menghindari kematian. Manusia kerap menyesali kenapa seseorang meninggal begitu cepat. Apalagi yang "pergi" itu adalah orang-orang dekat. Perasaan tidak rela membuat kita sering merasa mustahil dan tak percaya jika saat itu tiba. Apalagi prosesnya begitu cepat.
Begitulah yang dirasakan orang-orang terdekat almarhum Ir. Umbu Mehang Kunda (Bupati Sumba Timur) yang meninggal dunia, Jumat (2/8/2008) lalu. Rambu Kudu Mbali Yuli, S.E, Agnes Lulu Landukura, A.Md, Yuliana Laji, S.Kom dan Syarif.
Mereka adalah sekretaris dan para sopir pribadi almarhum yang sampai saat ini masih belum percaya bahwa almarhum telah tiada. Hari-hari pasca meninggalnya almarhum merupakan hari-hari yang cukup berat bagi mereka. Tanpa aktivitas dan selalu terbayang sosok yang terkadang mendadak hadir di tengah mereka dengan berbagai guyonan dan sapaan-sapaan khasnya.
Selama sepekan sejak almarhum meninggal, sopir, ajudan dan sekretaris pribadi almarhum nyaris tanpa aktivitas. Pukul 07.00 Wita mereka masuk kantor tetapi tidak jelas mau mengerjakan apa. Sementara pintu ruangan, baik di ruang tunggu, ruang rapat maupun ruang kerja masih digembok. Untuk sementara mereka terpaksa dipekerjakan di Bagian Umum. Terkadang mereka juga naik ke lantai dua tempat di mana ruang kerja bupati berada. Namun mereka hanya mampu mengintip dari luar.
Pada Rabu (13/8/2008), ruang kerja bupati sempat dibuka. Namun hanya sebentar. Para sekretaris dan sopir menyempatkan diri untuk masuk ke ruangan kerja mereka yang berada satu ruangan dengan ruang tunggu bupati. Tidak ada aktivitas. Yang keluar dari mulut mereka hanya cerita kenangan bersama almarhum. Sekitar setengah jam, mereka meninggalkan ruangan. Rambu, Agnes, Yuliana dan Syarif yang ditemui di ruang kerja mereka, mengaku hingga saat ini mereka seakan belum percaya, kalau almarhum telah meninggal dunia. Suasana yang mereka rasakan saat ini seperti suasana saat-saat almarhum sedang berada di luar kota.
"Kami masih tidak percaya dengan keadaan ini. Kami seperti merasa bapak sedang bertugas ke luar daerah," kata Rambu dan teman-temannya.
Ketiganya mengatakan, ketika berada di meja kerja mereka, terkadang mereka lupa kalau almarhum telah tiada. "Selama ini bapak memang sering bertugas ke luar daerah. Tetapi aktivitas kita tetap berjalan seperti biasa. Seperti menerima telepon , fax dan surat-surat. Tetapi satu minggu terakhir setelah bapak meninggal dunia, kami nyaris tanpa aktivitas," kata Rambu.
Ketiganya mengaku, saat-saat bersama almarhum merupakan saat terindah. "Bapak itu tidak pernah marah. Terkadang juga bercanda. Kalau meminta sesuatu selalu memanggil kita 'bos'. Kalau mau bertugas ke luar daerah, bapak selalu bilang kamu jaga kantor baik-baik. Saya mau pergi lawere (jalan-jalan, Red)," kenang Rambu, Adnes dan Yuli.
Almarhum juga menyapa para sopir dan ajudannya dengan 'bos'. Panggilan khas ini untuk menciptakan kedekatan almarhum dengan para sopir, ajudan dan sekretaris pribadinya. Bahkan tak jarang, sopir dan ajudan sering diajak makan semeja di ruang makan rumah jabatan.
Sifat almarhum yang tak mau sepi dan suka berdiskusi banyak hal, terkadang membuatnya lupa waktu untuk beristirahat. Meskipun baru selesai kunjungan ke desa-desa yang medannya berat, almarhum masih mete bersama staf untuk bercerita. Jika tidak ada teman diskusi dari kalangan pejabat, sopir, ajudan dan kepala rumah tangga menjadi sasaran untuk dijadikan teman diskusi.
Salah satu sifat almarhum yang sulit dilupakan para sekretaris pribadi, sopir, ajudan dan kepala rumah tangga adalah mudah terenyuh ketika melihat orang lain susah.
Almarhum selalu memperhatikan kesejahteraan sopir, ajudan dan para sekretarisnya. "Kalau menjelang hari raya, bapak sering menyediakan hadiah untuk kami. Biasanya tanggal 24 Desember , bapak selalu beri hadiah untuk kami," kata Rambu yang diamini Adnes dan Yuliana.
Begitu juga dengan sopirnya yang beragama muslim. Mereka menuturkan, ada pengalaman saat almarhum bertugas ke Australia. Dari Asutrali, almarhum menelpon dan menanyakan oleh-oleh apa yang mereka minta dari Australia. "Saat itu, kita bilang apa saja. Akhirnya bapak bawakan kita cokelat dari Australia," kenang mereka.
Mereka mengatakan, ada satu cita-cita almarhum yang belum sempat terealisasi. Almarhum berencana membawa para sekretarisnya untuk ikut bersama ketika ia bertugas ke luar daerah, terutama ke Jawa atau Bali.
"Suatu saat bapak pernah bilang ke protokoler agar bisa memfasilitasi kita supaya bisa ikut dengannya ketika bertugas ke luar daerah. Sayang, niat itu belum terwujud, bapak keburu pergi," kata Adnes.
Kepala Rumah Tangga, Ferli Supusepa menuturkan, almarhum begitu peduli pada nasib orang kecil. Kisah Ferli, suatu saat seorang warga datang ke rumah jabatan meminta uang buat beli beras. Tanpa basa-basi almarhum langsung memberikan uang Rp 700.000. Pernah juga ada seorang pemuda yang membutuhkan uang untuk membeli obat bagi keluarganya yang sakit. Pemuda tersebut membawa seekor ayam dan menjualnya keliling Kota Waingapu. Namun hingga malam ayam tidak laku sehingga dia membawa ke rumah jabatan.
Pemuda itu masuk melalui pintu belakang dan bertemu almarhum sedang duduk di bawah pohon klengkeng. Almarhum menanyakan maksud kedatangan pemuda tersebut. Mengetahui pemuda itu hendak menjual ayam untuk membeli obat bagi keluarganya yang sakit, almarhum
mengeluarkan uang Rp 300.000 dari kantong celananya dan memberikan kepada pemuda tersebut.
Almarhum juga begitu peduli dengan kesejahteraan para pegawainya. Itu dibuktikan dengan sikap almarhum yang tidak pernah menerima honor dari berbagai kegiatan yang ia lakukan.
"Kalau kita mengantar honor beliau, karena tugas-tugas atau kunjungan kerjanya ke desa-desa, tidak pernah beliau ambil. Uang itu akan dikembalikan kepada pegawai yang mengantar honor tersebut, " kata salah seorang staf di Kantor Bupati Sumba Timur.
Tak heran, banyak pegawai yang berebutan jika disuruh mengantar uang honor kepada almarhum. Almarhum juga tidak tanggung-tanggung memberikan tip kepada para pegawainya yang rajin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar