Minggu, 07 September 2008
Pertahankan Kehormatan Olahraga
Oleh Sipri Seko
JOHNI Asadoma tak pernah melupakan mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe yang memberinya uang Rp 250 ribu pada tahun 1993. Saat itu ada program dari Musakabe untuk mendata kembali semua atlet yang pernah mengharumkan nama NTT di tingkat nasional maupun internasional. Prestasi mereka dihargai meskipun kecil nilainya.
Johni tidak mendapatkan bonus sepeserpun dari Pemerintah Propinsi (pemprop) NTT saat masih aktif bertinju. Padahal, Johni Asadoma adalah atlet NTT dengan prestasi membanggakan. Dialah atlet NTT pertama yang merebut medali emas SEA Games XII 1983 di Singapura. Dia juga menjadi atlet NTT pertama yang ikut Olimpiade. Johni akhirnya gantung sarung tinju saat masih berjaya karena dia lulus masuk Akabri. Artinya, dia tidak pernah meninggalkan NTT.
Tidak demikian dengan Eduardus Nabunome, Osias Kamlasi, Ahmad Sake, Oliva Sadi, Fery Subnafeu, Kamilus Lero, Mansyur Yunus, Yules Pulu. Tak puas dengan perhatian daerah yang minim, bersama ratusan atlet asal NTT lainnya, mereka hijrah ke daerah lain.
Ada rasa sakit hati dari para pengurus olahraga di NTT melihat mereka pindah tanpa kompensasi. Keringat yang mengalir saat membina mereka seperti tak dihargai. KONI NTT tidak punya kuasa untuk menahan mereka. Demi masa depan, biarkan mereka memilih! Dan, di daerah baru prestasi mereka tidak surut.
***
MELALUI olahraga prestasi, kehormataan Nusa Tenggara Timur tegak berdiri. Sampai detik ini.Sejak pertama kali mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) V tahun 1961 di Bandung. Prestasi dicatat Wempy Fonay yang menyabet satu medali perak dari nomor lempar cakram dan medali perunggu dari tolak peluru.
Di PON VI, Wempy Foenay menguasai nomor lempar cakram nasional dengan rekor 33,2 meter dan baru pecah pada tahun 1973 oleh atlet DKI Jakarta, Sri Numini. Prestasi nasional sebenarnya sudah dicatat Wempy sejak zaman Propinsi Sunda Kecil. Ia menjadi juara I Piala Angkatan Perang 1955, medali perak PON IV 1958 di Makassar dan lainnya. Untuk tingkat internasional, Wempy merebut medali perunggu Asian Games 1964 di Jakarta dan juara I Ganefo di Jakarta.
Selain Foenay, NTT memiliki sejumlah olahragawan legendaris seperti Mathilda Fanggidae, Mace Siahainenia, Rony Mello, Ratmini, Welmince Sonbay, Theo Rodja, Ruben Ludji, Amos Kamesah, Eduardus Nabunome, Hermensen Ballo dan
nama lain yang merupakan terbaik Indonesia di kelas dan nomornya. Dengan peralatan sederhana, sarana prasarana terbatas dan tanpa bonus, para atlet NTT yang termotivasi bisa keliling Indonesia tanpa keluar biaya, berlatih tekun dan mengharumkan nama Flobamora.
Sekarang sudah berubah. Kalau dulu olahraga sekadar sport atau untuk kesehatan, sekarang cakupannya sangat luas. Olahraga mengandung unsur bisnis dan hiburan. Fakta menunjukkan olahraga tidak lagi bermakna tunggal.
Pierre de Coubertin, pria Perancis yang memelopori penyelenggaraan Olimpiade tahun 1896 di Athena Yunani mungkin tidak membayangkan ajang Olimpiade begitu berkembang seperti sekarang ini. Di Indonesia, Presiden Soekarno memelopori penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) sebagai sarana pemersatu anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Setiap kali digelar, hati tiap atlet ikut bergetar. Ada rasa bangga yang tulus. Ada kehormatan yang menyelimuti sanubari. Mereka berlaga tak sekadar demi kebanggaan daerah, tapi juga mempertebal semangat nasionalisme. Waktu berlalu, muncul suasana baru. Yang kokoh justru primordial. Rasa bangga dan ambisi penguasa daerah menjadi prioritas. Dari sisi atlet pun demikian. Banyak yang tak peduli lagi di mana ia lahir dan dibina. Orientasi bergeser, prestasi tinggi mesti diimbangi takaran komersial dan materi. Banyak atlet terkontaminasi tuntutan gaya hidup. Mereka bersedia membela satu daerah asal mendapatkan penghasilan besar. Akibatnya, pembinaan atlet menjadi terbengkalai.
Tudingan penyelenggaraan PON hanya hura-hura nasional menghabiskan ratusan miliar memang benar. Kualitas dan prestasi PON terus menurun. Yang semakin menonjol justru seremonial dan permainan politik. Bukti lainnya, prestasi olahraga Indonesia di aras dunia anjlok. Kalau Johni Asadoma dan Hermensen Ballo pernah ikut Olimpiade, di Olimpiade Cina bulan Agustus 2008, Indonesia tanpa atlet tinju. Situasi semacam itu juga terjadi di NTT. Prestasi olahraga Flobamora menurun bila merujuk pada hasil PON terakhir.
***
APA yang kita lakukan sekarang? Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, ada kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi olahraga. Dana bukan hanya untuk pembinaan tapi penghargaan atas prestasi atlet. Perintah UU tersebut belum sepenuhnya direalsisasikan di NTT.
Prestasi spektakuler di PON XVI 2004 sirna begitu saja ketika gelombang hijrah atlet-atlet terbaik NTT tidak bisa dibendung. Pengalaman pahit itu kiranya tidak terulang. Ada beberapa catatan kecil bagi pengurus dan pelaku olahraga NTT pada ulang tahun ke-50 propinsi ini.
Pertama, pembinaan yang fokus. KONI NTT sudah menetapkan cabang super prioritas, prioritas, unggulan dan non unggulan atau olahraga prestasi dan olahraga masyarakat. Tapi melihat sejarah prestasi NTT, fokus pembinaan harus lebih diarahkan untuk cabang olahraga atletik dan beladiri. Untuk beladiri harus ada skala prioritas, merujuk pada prestasi yang telah dicapai. Di sini alokasi anggaran untuk cabang atletik dan beladiri haruslah yang terbesar. Impian kita dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, NTT sungguh menjadi barometer prestasi cabang atletik dan beladiri. Seperti Kota Kudus di Jawa Tengah terkenal sebagai kota yang melahirkan atlet bulutangkis tingkat dunia, atlet atletik dan beladiri (tinju, kempo, taekwondo, silat, dan lainnya) harus lahir dari NTT.
Kedua, bidang penelitian dan pengembangan dimaksimalkan. Buat dan petakan potensi olahraga berdasarkan daerah. Bila perlu dirikan laboratorium olahraga di NTT. Ini dengan target menjadikan NTT sebagai model pembinaan cabang atletik dan beladiri bagi Indonesia. Tirulah Kuba yang lebih miskin dari NTT namun merupakan laboratorium tinju dunia atau Brasil yang menjadi idola tua muda sejagat karena prestasi sepakbolanya yang menyihir.
Ketiga, perbanyak try out. Di Indonesia, cabang bulutangkis selalu mempersembahkan medali di ajang internasional. Mereka berprestasi karena sudah biasa ikut ajang internasional. Suhu dan tekanan pertandingan saat Olimpiade, Asian Games atau SEA Games sudah jadi kebiasaan mereka. Atlet-atlet NTT harus dibiasakan dengan iklim pertandingan yang ketat.
Keempat, apresiasi terhadap atlet dan pelatih. Gebrakan pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay memberikan bonus besar kepada atlet peraih medali PON XVII dan Porcanas VIII harus dipertahankan. Lihat saja kebanggaan semu anak-anak NTT ketika melihat Fery Subnafeu dkk merebut medali emas bagi Kalimantan Timur di PON XVII lalu. Jangan terulang! Keringat dan darah yang mengalir saat berlatih di NTT harus menjadi kebanggaan Bumi Flobamora bukan untuk orang lain. Takkan ada yang memrotes atau marah kalau mereka yang berprestasi dihargai bukan hanya sebatas bonus uang, tapi disediakan lapangan kerja.
Kelima, jadikan olahraga sebagai kebanggaan daerah. Hanya olahraga yang bisa mengibarkan panji Flobamora di Indonesia dan dunia. Tugas ini menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat NTT. Di usia emas tahun 50 tahun, saatnya NTT Bangkit lagi di bidang olahraga. Kehormatan itu harus kita pertahankan dan tingkatkan lagi sesuai tuntutan zaman. Salam Olahraga! **
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar