Cerpen Roby B Kapitan
DERU kendaran baru terlewat. Aku tidur di pembaringan tua itu. Seharian telah kuhabiskan energiku untuk mendapatkan sesuap nasi hari ini. Senyum kemenanganku baru saja berakhir kala senja pergi tak tersisa.
Itu tanda kemenanganku, tanda hidup matiku, tanda aku telah mencapai sisa hari ini. Bapaku selalu bercerita tentang akhir hari yang selalu indah pada pukul 18.00. Entah apa yang dimaksudkannya, namun ketika senja hari tiba ia selalu duduk di beranda rumah sambil memandang ke arah barat. Aku terkadang mencuri perhatian dengan mengamatinya.
Dalam hati aku selalu bertanya "apa gerangan yang dipikirkan oleh si pekerja keras ini? Apa ia lagi menikmati indahnya pukul 18.00? Ada sesuatu yang indah di balik terbenamnya mentari? Mungkinkah ia mengingat kembali moment saat ia jatuh cinta pertama kalinya dengan bundaku? Atau malah sebaliknya, ia sedang berpikir tentang masa depan kami anak-anaknya?
Kini di pembaringan aku terlelap. Aku baru saja menyelesaikan tugasku hari ini. Si nyonya tua telah puas dengan karyaku. Iya..itulah kerjanya si nyonya tua, ia tak akan puas kalau aku tak bekerja dengan seserius mungkin. Apalagi kalau aku membuang waktu sedetik sajaàmungkin saja dunia ini bisa runtuh dan akibatnya nasib kerjaku bisa dikorbankan. Kadang aku tak mengerti keinginan si nyonya tua ini.
Ketika aku bekerja tanpa bicara karena kupusatkan konsentrasi terhadap pekerjaanku, ia malah mendakwaku dengan berbagai pendapat streotipnya. Katanya, aku tidak humanlah.., atau aku tu orangnya terlalu pendiam. Pokonya banyak sekali tanpa bisa kuingat lagi. "Dasar orang sinting" kilahku bila ingin menghibur diriku.
Namun ketika aku terlambat sedetik saja kerena menanyakan sesutu yang tak dapat kumengerti kepada teman kerjaku, omelannya langsung mendamprat dan memojokanku. Sungguh sial hidupku ini. Hidup di jaman eyangku dulu, mungkin lebih baik dan barangkali aku tidak senaas ini. "Nasib.. nasib.., sepertinya Tuhan salah memilihku untuk diciptakan!"
Kini di pembaringan aku terlelap. Sekali lagi aku terlelap dalam tidurku. Inilah saat yang kurasa paling indah dalam hidupku. Dalam lelapku, aku selalu bermimpi bahwa aku tak akan pernah lagi mendengar bising suara senapan dan meriam.
Aku tak akan pernah lagi mendengar jerit tangis tetanggaku yang baru saja dilanda musibah. Musuh "si musibah" itu datang tak pernah diundang. Saat tidur malampun, ia datang mengedor pintu rumah-rumah di dusunku.
Entah apa gerangan maunya, terkadang aku berpikir ia gila dengan cita-citanya. Musuh "si musibah" itu datang merenggut dan mencabik bocah-bocah tanpa nama. Aku muak dengan tingkahnya yang sok jagoan tetapi isi kepalanya kosong. Ditanya perkalian satu kali satu saja, pasti minta bantuan pada cucunya. Nah, untuk soal datang pada malam hari, dia jagonya. Ketika binatang peliharaan saja sudah tidur ia masih mau mengusik bocah-bocah yang baru datang kemarin. Mungkin saja bocah-bocah itu belum tahu menangis, namun musuh "si musibah" itu telah datang merenggutnya untuk kembali.
Naas sungguh sial nasibnya, andaikan sang dewi cinta telah meramalkan sang bocah untuk jadi penganti romeo dan juliet dalam drama cinta abadi, bagaiman impian malam ini dapat terwujud? "Iya itu mungkin takdirnya". Kilahku.
"Bukan takdir tolol..!!!" Malah musuh si musibah itu bisa merenggut nyawa dalam satu kampung. Mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika dianiaya dan dirajam sampai dibakar dengan seluruh isi rumahnya. Kejam benar musuh "si musibah" itu. Ia datang bagai awan yang gelap di musim panas dan pergi entah kemana rimbanya.
"Tok...tok....tok...!!!" bunyi sebuah benda keras yang menyentuh "black street" itu.
Aku tertegun, rupanya ada yang lewat di seberang sana. Bayangan hitam, tinggi besar. Firasatku mengatakan sesuatu yang lain. Aku tak tenang, kepalaku linglung, dahiku berkerut. Mau kemana lagi langkahku ini. Tidak puaskah ia datang dan pergi terus dihadapan ku? " bosanàaku benci kamu" dalam hatiku, aku mengutuk diriku.
Aku mencoba menahan napas. Kuturunkan kakiku dari pembaringan itu. Dingin sungguh saat kakiku menyentuh tanah, namun lebih kecut lagi nyaliku di saat-saat seperti ini. Darahku sejenak berhenti mengalir. Nadiku serasa tak berdenyut. Kalau ditempat terang mungkin aku dapat melihat betapa pucatnya wajahku di depan cermin. Ibuku tentu akan membantu memegangkan cermin dan aku akan melihatnya. Namun Inilah nasib, saat mau matipun, tak ada lagi ingatan akan bentuk wajah dan konstruksi tulang pipihku.
Bayangan itu mendekat. Sejenak kupalingkan wajahku sedikit ke kiri dan ke kanan. Ternyata baru kusadari bukannya hanya satu saja bayangan itu. Kuperkirakan akan hadir lima bayangan yang menatapku sebentar nanti. Ya...nampaknya bayangan itu bergerombolan. Mereka seperti kawanan pencuri yang setia sekawan.
Dalam taktiknya, mereka mampu mengelabui mangsa dengan cuma menampakan satu bayangan. Makin dekat bayangan itu, makin besar pula penglihatanku akan bayangan-bayangan itu. "Diam... !!!" terdengar suara dari salah satunya. Mereka berhenti mengerakkan kakinya. Kucoba mengintip dari celah sarungku, "wah..sungguh indah bayangan itu".
Aku meyadari keherananku, serentak otakku berputar dan dalam hati kubuat sebuah pernyataan "ternyata ada bayangan yang bisa mematung." Berarti, teori dari guru sekolah dasarku bahwa patung dibuat dari benda-benda materi belum sepenuhnya lengkap. "Ha...ha...ha...! Aku tahu, ternyata bayangan pun bisa jadi patung."
Aku tahu bayangan itu akan selalu merenggut nyawaku kapan dan dimana saja. Aku tahu dalam situasi ini bayangan itu mampu melenyapkan jiwaku. Patung itu punya nyali untuk mendatangkan maut terhadapku.
Patung itu ciptaan jiwa manusia tetapi patung itu mau melenyapkan jiwaku. "Inilah jiwaku yang dipenjara bagai patung dirimu. Jangan kau apa-apakan jiwaku, aku tuan bagimu" Kilahku.
Pada titik ini, Aku teringat Guru Sekolah Dasarku, ia sering menganalogikan jiwa dengan bayangan. Katanya " jiwa mausia itu seperti bayangan dirimu. Dia akan pergi kemana kau pergi, namun dia tak bisa kamu indrai."
Benarkah demikian? Kalau persoalan ini dihadapkan pada meja filsafat, para filsuf akan mati-matian mempertahankan jawaban masing-masing dengan berbagai alasan yang logis dan masuk akal. Itulah ciri khas para filsuf yang tak puas dengan satu jawaban, samapai-sampai realitas dunia pun tak pernah dirasakan memberi jawaban yang meyakinkan kepadanya.
Namun itu soal filsuf, mereka juga akan merefleksikan kematian, namun kematiannya tak akan bisa direfleksikannya. Kini, aku dihadapan bayangan. Bayangan kematian yang akan merenggut nyawaku.
Lima menit berlalu, bayangan itu tak kunjung pergi. Apa gerangan yang terjadi dengan bayangan itu? Dalam hatiku aku berbisik "Tuhan kalau sampai ajalku ambil saja nyawaku, tapi jangan kau ambil bayanganku. Aku tahu hidupku di dunia ini tidak berarti lagi.
Pemuja cintaku telah pergi selamanya. Pengeran tampanku yang pertama ikut bersama ibundanya. Bunga dahliaku telah dipetik paksa pada malam kelam. Untuk apa hidupku ini? aku orang asing di tanahku sendiri. Aku datang dari negeri seberang mencari serpihan bayanganku yang masih tersisa.
Aku mati di tanahku sendiri, tanah tumpah air mata dan darahku. Kini aku di pembaringan, aku ingin bermimpi di malam jumat, tetapi jangan kau ambil bayanganku"
"Aku pria malam Aku duduk di perapian Tidurku di balik awan Matiku di balik jaman". *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar