Oleh Sipri Seko
DUA bendera Bintang Kejora ditemukan di lereng Gunung Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua dan di Pantai Kwami, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Senin (1/12/2008). Pengibaran bendera ini bertepatan dengan HUT Organisasi Papua Merdeka, 1 Desember 2008.
Sudah begitu jauhkah keinginan masyarakat Papua untuk berpisah dari Indonesia? Apa maksud pengibaran bendera tersebut? Ataukah mereka sengaja membuat sensasi agar mendapat perhatian dunia? Tak ada yang tahu. Tapi yang pasti, mereka ingin merayakan hari ulang tahun organisasinya.
Sabtu, 29 November 2008, massa utusan dari Propinsi Papua, Papua Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), mengikuti pawai budaya bertajuk "Selamatkan Bhineka Tunggal Ika," di Kota Kupang. Peserta menggelorakan Petisi Kupang sebagai hasil konsolidasi Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Regional Sunda Kecil di Kupang, 26-29 November 2008. Aksi yang sama juga telah dilakukan di Surabaya, Jawa Timur, 22-25 November yang diberi nama Deklarasi Surabaya. Petisi Kupang dan Deklarasi Surabaya dibuka oleh Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Untuk Petisi Kupang, ada tujuh keputusan yang dilahirkan. Inti yang digelorakan adalah menegakkan dan mempertahankan kebhinekaan sesuai kearifan leluhur pusaka bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Aksi tersebut bisa dibilang sebagai bentuk keprihatinan masyarakat sipil terhadap maraknya upaya pengkhianatan terhadap konstitusi, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Siapa pun yang menandatangani petisi dan mewakili siapa, bagi kita sebenarnya bukan menjadi persoalan. Yang harus dipetik dari petisi tersebut adalah sebuah bentuk atau upaya kebangkitan dari kaum minoritas. Masyarakat di Indonesia bagian timur yang selama ini kurang diperhatikan berusaha untuk menampilkan keberadaannya. Mereka sebenarnya bukan melawan pemerintahan yang sah, namun mereka juga ingin ke luar dari keterpurukan.
Apakah selama ini Papua, Papua Barat, Bali, NTB dan NTT tidak mendapat perhatian pemerintah? Bukankah APBN dan bantuan-bantuan lainnya yang selama ini diterima masyarakat berasal dari pemerintah pusat? Ada betulnya. Tapi lihat saja kesenjangan pembangunan di daerah lain dibandingkan dengan di Indonesia bagian timur. Upaya membentuk Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pun tak banyak membantu. Indonesia bagian timur masih seperti anak tiri.
Hal ini kemudian diperburuk lagi dengan munculnya regulasi-regulasi yang dinilai hanya mementingkan kelompok tertentu. Ada kelompok yang dilindungi, namun ada pula yang dibiarkan tertekan. Tak heran kalau kemudian, ANBTI Regional Sunda Kecil dan Tanah Papua mendesak pemerintah untuk segera membentuk aturan pelaksana terhadap pasal 18 B ayat 1 dan 2 UUD 1945, mengenai pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya dan segera mencabut UU yang tidak mengakomodir hak masyarakat adat.
Mereka juga menolak pemberlakuan UU Pornografi maupun perundangan lainnya yang memasukkan dengan paksa nilai agama tertentu dan budaya asing yang bersifat diskriminatif untuk dijadikan landasan hukum bernegara. Kebijakan investasi dan pengelolaan sumber daya alam juga dikritisi. Untuk itu seluruh rakyat Indonesia, apa pun latar belakang agama dan sukunya, harus terus bergandengan tangan dan menjaga persatuan bangsa dengan melawan segala bentuk pemaksaan kehendak dan pengkhianatan yang dilakukan secara konstitusional oleh segolongan masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu dengan kehancuran Indonesia.
Bagaimana sikap kita terhadap Petisi Kupang? Sebagai masyarakat modern, transparansi sudah menjadi hal yang lumrah. Saling mengkritisi sudah bukan hal yang tabu lagi. Masyarakat sudah bisa memilih dan tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Petisi Kupang ataupun Deklarasi Surabaya boleh disebut sebagai bentuk perwujudan aspirasi masyarakat yang sebenarnya. UU Pornografi, misalnya, sudah ditolak pengesahannya oleh masyarakat, namun pemerintah 'dengan kepentingannya' tetap mengesahkannya.
Satu yang pasti, ketika aksi ini digelorakan oleh banyak orang dari aneka suku, agama, etnis dan golongan, ini sudah menunjukkan keakuan terhadap kebhinekaan di Indonesia. Mereka akan terus memberontak kalau kebhinekaan tersebut dinodai oleh kepentingan mayoritas. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar