Oleh Oby Lewanmeru
KABUT tebal seakan menampilkan kesombongan saat menyelimuti kaki Gunung Mbeliling. Dia seakan mau menunjukkan bahwa dia berkuasa menutupi keindahan hutan yang ada di kaki gunung itu. Sedikit-sedikit matahari menembus gumpalan kabut dan menerangi kampung yang terletak persis di sekitar kaki gunung itu. Kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Cecar.
Cecar. Nama ini tidak asing lagi bagi warga Labuan Bajo, Kabupaten Mangarai Barat. Selain sebagai nama kampung, Cecar juga sebagai lokasi sumber air untuk Kota Labuan Bajo sebagai air PAM. Kampung yang terletak di Desa Liang Ndara, Kecamatan Sano Nggoang ini terkenal cukup unik. Kampung ini memiliki potensi besar, namun belum dikelola secara baik demi kepentingan warga setempat.
Kampung ini memiliki panorama alam yang menarik karena berada persis di kaki Gunung Mbeliling, dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaanl laut (dpl). Kampung yang berbatasan dengan Kampung Melo dan Desa Cunca Lolos ini sering menjadi tujuan sejumlah wisatawan untuk melihat masuknya matahari sore (sun set) yang berada persis pada garis lurus Kota Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Nama Cecar diambil karena di kampung ini dulu terdapat banyak pepohonan dan semak.
Di sini warga tidak sulit mendapatkan air bersih karena wilayah itu adalah daerah yang memiliki banyak sumber air, begitu pula dengan pangan. Sumber air yang disuplai dari kampung ini cukup berarti bagi warga. Meski begitu, perhatian pemerintah terhadap wilayah ini belum juga tersentuh sempurna. Warga setempat memang mudah mendapatkan pangan walaupun dulunya sulit.
Berbicara tentang pangan, kampung yang memiliki penduduk kurang lebih 100 kepala keluarga (KK) yang semuanya bermata pencaharian sebagai petani ini dulunya (sekitar tahun 1960-an) hanya memanfaatkan makanan lokal yang sudah menjadi sajian pokok yaitu nasi bercampur jagung (hang kabo). Menu ini selalu disajikan setiap hari meski ada variasi dengan ubi-ubian. Warga di kampung ini masih percaya kalau hang kabo adalah makanan khas mereka. Namun, kini mulai hilang perlahan dengan berkembangnya zaman. Warga Cecar juga sudah mudah mendapat beras dengan mengerjakan sawah karena didukung kondisi alam setempat.
Kampung Cecar hingga saat ini didiami oleh Suku Toe Liang Ndara. Suku ini menurut warga setempat mulanya berasal dari Goa, Sulawesi Selatan, yang sudah lama mendiami sejumlah wilayah di Manggarai Barat. Hal ini dapat dilihat dari struktur perumahan yang sejak dulu menggambarkan ciri khas Sulawesi Selatan. Sekarang memang tidak lagi dominan, hanya tinggal satu atau dua rumah saja yang masih mempertahankan ciri khas itu, yakni dengan model rumah dengan kolong atau dek yang dikenal dengan nama rumah panggung beratap khas. Ada yang dari alang-alang atau ijuk.
Jika menelisik soal penerangan di wilayah ini, warga masih menggunakan lampu pelita dan lampu gas (strong king). Dua bentuk penerangan ini baru dikenal warga dalam dua dasawarsa terakhir. Sebelumnya, warga setempat menggunakan campuran antara buah kemiri dan kapuk yang disenyawakan dengan cara menumbuk kemudian dililitkan pada batang lidi atau bambu yang dihaluskan seperti lidi. Bentuk penerangan yang lazim digunakan warga ini dikenal dengan nama culu welu. Bahan ini siap dibakar menggantikan penerangan lampu pelita ataupun lampu strong king.
Wilayah ini sampai sekarang belum memiliki listrik dari pemerintah. Warga tetap menggunakan pelita dan lampu gas. Hanya ada satu atau dua warga tergolong mampu yang menggunakan motor listrik (genset).
Penggunaan genset saat ini sudah dikomersialkan, yakni warga yang ingin menarik kabel ke rumahnya harus membayar kepada pemilik genset. Bayaran ini menurut warga setempat berkisar antara Rp 30.000,00 hingga Rp. 50.000,00 per bulan per satu unit rumah atau disesuaikan dengan pemakaian bola lampu. Setiap hari genset ini dinyalakan pemilik untul warga konsumen mulai pukul 18.00 wita hingga pukul 22.00 wita.
Warga masih berupaya sendiri dalam memanfaatkan penerangan tersebut, tetapi belakangan ini, dengan adanya kenaikan harga maupun kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), warga cukup cemas dengan penggunaan genset. Sementara culu welu ini mulai hilang setelah warga mulai kenal dengan lampu pelita maupun strong king. Meski begitu ada beberapa warga masih melestarikan jenis penerangan ini sebagai budaya yang tidak dilupakan.
Theo Bin dan Hilarius Haban, warga Kampung Cecar, kepada Pos Kupang, Rabu (14/1/2009), mengatakan, tradisi menggunakan culu welu sulit dilupakan meski di kalangan masyarakat setempat tradisi ini mulai hilang bahkan tidak digunakan lagi hanya karena perkembangan zaman. Menurut keduanya, pemanfaatan culu welu ini sangat dirasakan sekali pada tahun 1965 hingga tahun 1970-an. "Kalau ada warga kampung yang meninggal, setiap kami diharuskan membawa culu welu ini, setiap KK sebanyak 5-10 lidi. Kami bawa ini ke rumah duka sebagai penerangan di rumah tersebut selama masa perkabungan," kata Bin dan Haban.
Penggunaan culu welu ini dengan cara ditancapkan pada sebuah media atau potongan bambu secara miring dan tidak boleh tegak lurus. Hal itu dilakukan agar lampu sejenis obor/culu welu ini tidak padam. Memang penggunaan bahan dari alam ini cukup membantu warga karena itu perlu dilestarikan meski zaman terus berubah.
Haban juga mengakui, beberapa waktu lalu, dengan adanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) maupun akibat krisi global, warga setempat mulai berpikir untuk kembali pada kondisi dulu (back to basic). Rupanya warga di kampung ini sudah siap menerima kenyataan bila suatu saat BBM habis dan adanya kenaikan harga maka bisa beralih kembali ke penerangan tradisional dan unik tersebut. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar