Oleh Sipri Seko
ANSAOF Mese, Nekaf Mese! Kata-kata dalam bahasa Timor ini sudah menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat di Timor khususnya di Timor Tengah Utara (TTU) sejak lama. Baik yang berasal dari Biboki, Insana maupun Miomafo, semua tahu arti kata-kata ini.
Kata-kata ini kalau diterjemahkan secara lurus dalam bahasa Indonesia paling tidak artinya adalah, satu jantung (ansaof mese), satu hati (nekaf mese). Bisa juga diartikan, seia sekata.
Hal ini juga berlaku dalam keluarga Talan. Diduga merasa nama baik keluarga besarnya tercoreng karena ulah Paulus Usnaat menghamili anaknya, Talan bersaudara sepakat menghabisi nyawa Usnaat yang ditahan di Polsek Nunpene, Kefamenanu. Demikian reka ulang (rekonstruksi) kasus ini yang digelar di Kefamenanu, belum lama ini.
Kasus ini menghebohkan karena diduga melibatkan Ketua DPRD TTU, Agustinus Talan. Juga karena pembunuhannya terjadi di dalam sel, dimana pengamanan dan pengawasan yang dilakukan tentu ketat. Heboh, karena tersendat-sendat penanganannya, untuk kemudian diambilalih Polda NTT sampai digelar rekonstruksi.
Oleh penyidik dari kepolisian kasus ini disebut sebagai pembunuhan berencana. Talan bersaudara, Alo, Baltazar dan Ema dalam sebuah pertemuan, merencaakan pembunuhan itu. Fakta yang diperankan dalam rekonstruksi, Agustinus Talan hadir dalam pertemuan itu dan memerintahkan para tersangka membunuh korban Paulus Usnaat.
Rekonstruksi yang dipimpin penyidik dari Polda NTT, Aiptu Buang Sine itu berlangsung lancar. Semua keterangan tersangka dan saksi dilakonkan dengan baik. Agustinus Talan yang disebut-sebut ikut terlibat dalam rencana pembunuhan ini pun sudah diperiksa di Polda NTT, Rabu (21/1/2009).
Tapi rekonstruksi itu masih menyisakan beberapa pertanyaan. Pertama, mengapa Agustinus Talan tidak dilibatkan langsung dalam rekonstruksi itu? Asas umum, persamaan di hadapan hukum harus diterapkan. Tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum.
Kedua, mengapa tak ada satu orang anggota polisi pun yang melihat para tersangka berjalan masuk ke dalam Mapolsek Nunpene dan "dengan leluasa" membunuh tahanan Paulus Usnaat. Mengapa pula kunci ruang sel tempat Usnaat ditahan tidak dikunci pada malam kejadian?
Sangat patut menduga dan mengusut kaitan antara personel polisi di Polsek Nunpene dengan para tersangka serta aktor intelektual kasus pembunuhan ini. Juga sangat pantas mempersalahkan polisi dalam kasus ini. Sebab, keselamatan tahanan Usnaat sepenuhnya dalam pengawasan dan tanggung jawab kepolisian. Sel polisi, selain dipakai untuk menahan tersangka guna mempermudah/memperlancar proses hukum, juga untuk menjaga agar korban kejahatan tidak main hakim sendiri terhadap tersangka. Dengan kata lain, tahanan aman di tangan polisi. Namun fakta membuktikan bahwa tahanan Paulus Usnaat justeru tewas di dalam sel. Bisa dikatakan bahwa Usnaat tewas "di tangan polisi". Maka polisi harus bertanggung jawab.
Di sini Baltazar, Alo dan Ema harus berani bersuara di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di persidangan nanti. Siapa aktor intelektual kasus ini harus diungkap. Juga apakah ada "kerja sama" dengan petugas kepolisian dalam kasus ini, juga harus dibeberkan. Kita memang harus mengusung prinsip asas pra duga tak bersalah dalam hal ini. Namun dari rangkaian rekonstruksi, mencuat sejumlah kejanggalan mengenai keberadaan dan posisi polisi (setidaknya petugas piket) dalam kasus pembunuhan ini.
Kasus ini sudah menjadi pembicaraan umum. Berbagai aksi, reaksi dan opini masyarakat bermunculan. Ada yang menyebutnya sebagai kasus kriminal murni, namun ada yang menyebutnya bermuatan politis. Kita percaya polisi mempunyai cara sendiri untuk mengungkap semuanya. Profesionalisme polisi benar-benar diuji dalam penanganan kasus ini.
Penyelesaian akhir kasus ini tetap dinantikan. Apapun ending dari proses hukum yang sedang berjalan ini, ada kata-kata bijak orangtua begini, "sepandai-pandainya seseorang berusaha menutupi aib, namun darah manusia yang ditumpahkannya akan terus mencari keadilan". *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar