Sabtu, 30 Agustus 2008
50 Tahun NTT: Ironi di Era Otonomi
Oleh Alfons Nedabang
PADA awalnya daerah Swatantra Tingkat I meliputi Swa praja Flores, Sumba dan Timor. Ini untuk membedakan NTT dari daerah Swatantra Bali dan Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya tergabung dengan nama Propinsi Sunda Kecil. Pemisahan itu terjadi 1958.
Perjuangan menjadi daerah otonom dilakukan dewan raja-raja serta masyarakat. Tentunya dengan kesadaran yang tinggi bahwa sudah waktunya NTT berdiri sendiri. Semangat pemisahan adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat laju pembangunan daerah.
Lahirnya Undang-undang tentang Pembentukan daerah-daerah Tingkat II mengharuskan Swatantra NTT dibagi menjadi 12 daerah Tingkat II yaitu Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Kupang, TTS, TTU dan Belu.
Tahun 1965 sebutan Swatantra diubah menyusul diberlakukannya UU No 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Swatantra Tingkat I NTT diubah menjadi Propinsi NTT, sedangkan daerah Tingkat II menjadi kabupaten. Jumlah daerah tingkat dua bertambah tatkala pada tahun 1986 Kota Administratif Kupang berubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang.
Tumbangnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi presiden membawa angin segar di berbagai bidang, di antaranya bidang tata kepemerintahan. Reformasi melahirkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang mulai diberlakukan Januari 2001. Selama periode 1999-2003, NTT bertambah tiga kabupaten yaitu Lembata, Rote Ndao dan Manggarai Barat.
Tidak berhenti di situ. Pemekaran terus berlanjut hingga sampai saat ini jumlah kabupaten/kota di NTT menjadi 20. Pemekaran tahap kedua selama periode 2004 - 2007 terbentuk kabupaten Manggarai Timur, Nagekeo, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Sangat mungkin jumlah kabupaten/kota di NTT terus bertambah. Pasalnya, angin segar UU Otonomi Daerah membuat hampir semua daerah berlomba-lomba memekarkan diri. Keranjingan! Wacana pemekaran tidak surut.
Sabu sudah merasa 'tidak nyaman' dalam dekapan Kabupaten Kupang sehingga memproklamirkan ingin memisahkan diri. Malaka mulai bergolak menuntut lepas dari Belu. Adonara bangkit ingin pisah setelah sekian lama tidur lelap di pangkuan Flores Timur. Molo yang selama ini dibuai manis TTS, tidak ketinggalan. Dengan suara lantang Molo berteriak ingin otonomi. Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka sedang diperjuangkan menjadi Kota Madya. Dan, yang lain pasti menyusul.
Otonomi Daerah menurut UU No 22/1999 dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan otonomi berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di tangan pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Dengan otonomi daerah berarti pula pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Pasalnya, kewenangan membuat kebijakan sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom.
Kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom.
Implementasinya? Masih masih jauh dari semangat otonomi daerah. Pelayanan publik belum demikian baik. Pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU), prosesnya lama nian. Pungutannya juga macam-macam, belum lagi perilaku aparat yang selalu meminta uang pelicin. Tidak heran jika warga senantiasa mengeluh dan berteriak.
Pemerintah daerah ternyata belum mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar pelayanan publik yang mudah, murah dan cepat.
Pengisian formasi jabatan tidak mengedepankan profesionalisme. Banyak yang terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, golongan, dia pendukung atau tim sukses. Persatuan dan kesatuan di era otonom kian terusik.
Upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) juga tidak maksimal sehingga hasilnya pun tidak signifikan. Ada daerah yang stagnan bahwa banyak daerah otonomi baru, PAD jongkok terus. Padahal pelaksananaan otonomi telah diwarnai dengan kecenderungan Pemda untuk meningkatkan PAD dengan cara membuat Perda yang berisi retribusi dan pembebanan pajak-pajak daerah.
Kabupaten Lembata, misalnya. Setahun pemekaran (2000) PAD hanya Rp 500 juta lebih. Lima tahun kemudian (2005), pencapaian PAD Lembata Rp 4,5 miliar dari target sebesar Rp 8,8 miliar. Pada tahun 2007, naik mendekati angka Rp 10 miliar. Sedangkan pada 2008 PAD-nya mencapai Rp 11 miliar.
PAD Rote Ndao juga relatif kecil. Pada tahun 2004 penerimaan PAD Rp 1,51 miliar, selanjutnya Rp 6,69 miliar (2005) dan Rp 8,15 miliar (2006). Kecilnya PAD di antaranya disebabkan kurang kreatifnya daerah untuk memanfaatnya potensi daerah masing-masing. Pantai Nemberala yang menjadi salah satu obyek wisata andalan, ditelantarkan selama empat tahun. Dan, masih banyak lagi potensi yang belum digarap.
Kecilnya PAD inilah yang membuat ketergantungan daerah pada program pemerintah pusat sangat tinggi. Banyak dana mengalir ke daerah. Tapi banyak pula dana yang dikelola tidak tepat sasaran. Program mubasir. Ikutannya, banyak orang daerah - entah kepala daerah, anggota DPRD, pejabat lainnya dan pengusaha - tersandung kasus korupsi. Anggapan bahwa desentralisasi korupsi melalui otonomi daerah, ada benarnya.
Pengelolaan dana yang dikelola tidak tepat sasar, sudah tentu berkorelasi negatif pada kondisi masyarakat dan daerah. Persoalan krusial seperti rawan pangan, kekurangan gizi, terisolasi dari daerah lain karena minimnya jaringan, sarana dan prasarana transportasi serta kekurangan air bersih, senantiasa membelengu masyarakat. Stigma kemiskinan pun melekat. Yang lebih fatal adalah otonomi daerah diterjemahkan sebagai upaya mencari dan membagi-bagi kekuasaan. Inilah ironi pembangunan di era otonomi daerah.
Sewindu sudah kita melaksanakan otonomi daerah. Pada tahun ke-8, pelaksanaannya bertepatan dengan peringatan 50 tahun NTT. Kedua momen ini kita kawinkan dan menjadikannya momentum untuk refleksi. Refleksi tentang seberapa besar manfaat pemekaran daerah untuk tujuan percepatan pembangunan, pendekatan pelayanan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semangat pemekaran yang mengebu-gebu hendaknya dibarengi dengan semangat membangun daerah. Agar kita tidak dibilang pemekaran daerah bertujuan untuk kepentingan kekuasaan semata. Jika ini yang terjadi, sangatlah mungkin tidak ada ada perubahan -- berapa pun banyak daerah dimekarkan. Pemekaran menjadi malapetaka karena melahirkan persoalan baru bagi NTT.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar