Senin, 01 September 2008

Mari Urus Halaman Rumah Kita

Oleh Paul Burin

"KUPANG sebagai kota tua yang bermodal gede menjadi kota besar yang cantik, memang asli banget tidak didukung warga kotanya. Kesadaran warga sebagai anak tanah untuk ikut mendukung program merawat, sambil mengembangkan kotanya serta ikut bebersih dan berbenah-benah, demi keasrian lingkungan hidup sang kota, rasanya masih jauh dari harapan normal".

Itulah kritikan wartawan senior Rudy Badil melalui tulisannya di Harian Kompas edisi Senin 17 Oktober 2005.
Di bagian lain tulisannya yang diberi judul "Anak Tanah Kota Kupang" itu Rudy Badil melanjutkan kritiknya, "... Kupang sebenarnya tambah tahun tambah kumuh, juga rada ngacak tata kotanya. Kota itu boleh dikata tidak ada apa-apanya lagi dalam urusan konservasi dan pelestarian alam kotanya. Bangunan hunian, perkantoran, dan gedung lainnya kebanyakan hanya merupakan hiasan kota tanpa kejelasan makna artistiknya, serta tidak karuan sentuhan inti estetikanya. Celakanya lagi, kerumunan bangunan orang kota itu sama sekali tidak diimbangi dengan keteduhan dan kehijauan tanaman lingkungan perkotaannya".

Dalam beberapa kali diskusi terbatas, Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra menyebut kota Kupang sebagai kota yang "tidak berjenis kelamin". Tidak terlihat gairah penghuni kota untuk memoles kota ini agar terlihat jelas sebagai "kampung halaman" orang NTT. Bangunan-bangunan di kota ini tidak punya "makna artistik", meminjam istilah Rudy Badil.

Juga tidak ada lagi bekas-bekas yang menandakan bahwa kota ini menyimpan sejarah suku Helong dan rajanya sebagai penghuni pertama. Padahal, nama kota ini diambil dari Nai Kopan/Lai Kopan, Raja Helong. Belanda menyebut Kopan ini dengan Koepan dan dalam perkembangan bahasa menjadi Kupang (http://www.kotakupang.com/webkota/).

Kita tidak boleh melupakan sejarah. Apalagi mengabaikan pemilik nama kota ini, Raja Lai Kopan. Nenek moyang tak boleh dibuat marah, sebab kita bisa kualat.


***
Dua hari setelah kita merayakan HUT ke-63 RI, tiga bangunan toko di Jalan Siliwangi, rubuh di saat subuh menjelang. Ambruknya toko di "halaman rumah raja Helong" itu tentu bukan karena Raja Lai Kopan murka. Itu akibat ibukota propinsi ini mungkin salah urus. Pantai tak lagi diberi ruang yang cukup agar ombak bisa mendatangkan keindahan dan kenyamanan bagi warga.

Ambruknya tiga bangunan toko itu pertanda bahwa manusia tidak boleh melawan alam. Manusia harus menyesuaikan diri dengan alam. Jika kita terus bertahan dan "melawan" gulungan ombak sepanjang Jalan Siliwangi itu, maka entah apa yang terjadi 10, 20 atau 30 tahun yang akan datang.

Kawasan sepanjang Siliwangi merupakan kawasan kota tua. Punya nilai sejarah dan patut dilestarikan. Langkah-langkah yang diambil adalah melakukan konservasi dan revitalisasi. Konservasi adalah upaya untuk mengembalikan dan kemudian mempertahankan fungsi dan citra dari suatu kawasan bersejarah. Sedangkan revitalisasi adalah upaya meningkatkan dan memperbaiki kondisi lingkungan agar kekhasannya tetap ada.

Pemerintah Kota Kupang pun telah mengidentifikasi kawasan ini untuk segera ditangani. Ada beberapa kawasan yang masuk dalam kategori penanganan, yakni kota tua, kawasan Lasiana, kawasan Kuanino, kawasan Jalan El Tari dan rumah dinas Walikota Kupang.

Tetapi melalui serangkaian penelitian, Pemkot Kupang menetapkan Kawasan Kota Tua sebagai prioritas. Pertanyaannya, apakah upaya ini sudah diwujudkan? Rasanya masih jauh dari harapan. Kita belum melihatnya mulai dari kawasan Benteng Concordia, Kali Dendeng, koridor Jalan Soekarno bagian utara, koridor Jalan Sukarno bagian selatan, koridor Jalan Siliwangi, Pantai Kampung Solor dan koridor Jalan Garuda.

Dalam buku penyusunan detail engineering design, disebutkan bahwa penataan kawasan Kota Kupang, terutama kawasan kota tua harus dilakukan karena merupakan kawasan bersejarah. Tempat ini, dulu kala dihuni suku Helong, kemudian orang Cina, warga asal Pulau Solor dan etnis Arab. Orang Helong menghuni kawasan yang saat ini masuk dalam wilayah Kelurahan LLBK.

Etnis Cina yang berdagang di sana membentuk pemukiman di wilayah LLBK, dekat Benteng Concordia. Pelaut-pelaut asal Solor menghuni kawasan pantai yang saat ini disebut Kampung Solor. Sedangkan etnis Arab yang juga datang berdagang dan menyebarkan agama, menempati kawasan di Kelurahan Air Mata. Di sinilah masjid pertama Al Kudus dibangun.

Pusat-pusat pemukiman tua itu pun membekas melalui bangunan-bangunan rumah ibadah. Di Kelurahan Air Mata, berdiri masjid pertama, Al Kudus. Di kawasan LLBK ada Gereja (tua) Kota Kupang.

Dari beberapa fakta sejarah ini kita mencatat bahwa wilayah ini memiliki sejumlah kelebihan. Di sini menjadi awal kota ini, menjadi pusat perdagangan dan pariwisata. Juga aktivitas religius ditunjukkan dengan keberadaan fasilitas keagamaan masjid, gereja dan kelenteng.

Yang kita harapkan adalah kerja keras pemerintah untuk menata kawasan ini agar tetap mempertahankan kelestariannya. Tentunya wilayah lain di kota ini perlahan tapi pasti mulai ditata pula.

Pemerintah dapat menata kota ini dari aspek fasilitas bagi pejalan kaki, menyediakan fasilitas penyeberangan dan tempat tunggu angkutan, drainase yang baik, menyediakan tempat-tempat sampah, lampu jalan, papan nama dan petunjuk arah serta menghindari kawasan kumuh yang semakin terasa di kota ini. Juga menanam pohon dan membuat taman kota.

Kupang sebagai ibukota Propinsi NTT, "kampung halamannya" orang NTT tidak boleh kehilangan halamannya. Sebab kota bukan kerumuman bangunan bertingkat. Kota, sejatinya adalah halaman yang harus punya halaman. Halaman tempat anak-anak kota bermain bola kaki, bermain bola kasti atau bola voli. Agar anak-anak kota tak hanya manfaatkan waktu hujan untuk main bola di jalan-jalan raya.

Lasiana harus diurus dengan benar dan profesional agar layak menjadi teras samping timur kota ini. Di sana tetamu kita dari mancanegara, pun kita sendiri yang ingin menikmati jagung bakar, bisa berjemur diri di pantai nan indah itu. Pantai Namosain, Pantai Teddy's, juga demikian. Jangan tutup pemandangan ke arah pantai. Janganlah mendirikan bangunan bertingkat menghalangi pandangan ke pantai. Pantai adalah hak semua orang untuk menikmatinya setiap saat.

Kawasan Penfui, halaman rumah kita yang menjadi saksi kecamuk Perang Dunia butuh penataan agar asri dan bernilai. Bunker-bunker Jepang yang tidak diurus itu kita pugar karena itu situs bersejarah. Intinya, pada usia emas NTT tahun ini tak haruslah kita berpikir berbuat sesuatu yang mewah. Mari mulai menata ibu kota kita, Kupang, agar halamannya indah, sejuk nan asri. Mewujudkannya menjadi kota yang manusiawi sampai 50, 100, bahkan hingga 1.000 tahun yang akan datang.*

Tidak ada komentar:

SYALOM