Kamis, 14 Agustus 2008

PROKLAMASI LIGA INGGRIS: INI APA GUNANYA?


MANUSIA ditakar dan dibobot dari apa yang dapat dihasilkan dari dirinya, atau manusia pada dasarnya produsen, kata filsuf Yunani Aristoteles. Karl Marx bersorak kemudian berujar bahwa dalam "hantu kapitalisme" ada budak yang bekerja dan ada pemilik modal yang menindas.

Baik dalam kapitalisme maupun marxisme tersimpan kegilaan serentak kerinduan manusia untuk mencecap pembebasan dengan mengusung syahadat: ini apa gunanya? Ini bukan urut-urutan sejarah dari aras pemikiran sosial abad lalu. Ini juga bukan peta hubungan antara pemilik modal dan buruh atau budak. Ini proklamasi dari obsesi manusia yang ingin memerdekakan diri. Ruang pembebasannya yakni Liga Inggris yang siap bergulir pada Minggu (17/8/2008) waktu setempat. Publik pecinta bola dunia merayakan pesta pembebasan, pesta pemerdekaan.

Publik siap menggenggam tiket prestasi, sedangkan klub-klub elite Liga Inggris siap menyajikan pesona dari "olah bola sejarah". Manchester United, Chelsea, Liverpool dan Arsenal memeragakan taktik, mendemonstrasikan strategi di lapangan dengan mengerahkan seluruh kerjasama lini yang apik.

Buahnya, produktivitas gol, tujuannya, trofi Liga Inggris. Kredonya: kami datang, kami bertanding, kami menang. Publik mendulang makna pencerahan apa dari proklamasi Liga Inggris? Jawabnya satu saja, yakni nilai guna. Tunggu dulu, karena jawaban itu tidak kebal kritik.

Buktinya filsuf Jerman Jurgen Moltmann menghancurkan setiap upaya untuk memberi batasan yang serba baku dan serba kaku bagi makna nilai guna dari bola sejarah. Dalam laga kehidupan manusia, nilai guna bukan satu-satunya. Dalam laga bola, ada kegembiraan spontan, jauh dari kepura-puraan, mewarnai setiap capaian prestasi. Ini pembebasan yang sejati dari proklamasi Liga Inggris.

Amati dan cermati saja apa yang didemonstrasikan oleh Liverpool dan Arsenal yang pekan ini berkutat dengan iming-iming gengsi. Kedua tim elite Inggris itu tengah bersibuk dengan fase penyisihan Liga Champions. Manchester United bersemangat mempertahankan gelar, sementara Chelsea berambisi menembus nomor satu di liga domestik, demikian diwartakan Reuters.

Warta bernas dikumandangkan oleh arsitek Liverpool Rafael Benitez. Pelatih asal Spanyol itu mengatakan, "Saya mendengar sorak sorai dari publik pecinta Liverpool. Kami bersiap untuk Liga Champions. Ini perkembangan negatif karena kami tidak mendulang pemain yang selama ini kami incar. Situasinya sangatlah berbeda. Kami memiliki pemain yang baru saja kembali dari sejumlah pertandingan internasional di musim panas ini dan laga Olimpiade Beijing. Kami memiliki pemain muda berkualitas."

Berkah dari Liga Inggris nyatanya membawa pembebasan bagi para pemain dari Eropa Timur. Lasykar dari Eropa Timur mendulang sukses, meraup pundi poundsterling. Kocek mereka sesak dengan memanfaatkan ramainya lalu lintas legiun asing di Liga Premier. Mereka merasakan makna pembebasan. Para petinggi klub mengincar pemain yang selama ini piawai menempati lini pertahanan.

Contohnya, pemain Kroasia Slaven Bilic tampil sebagai figur pujaan saat dirinya tiba di West Ham pada 1996. Begitu pula dengan Igor Stimac yang meghabiskan empat musim kompetisi dengan segudang kesan saat membela Derby pada 1995. Pemain Serbia Dejan Stefanovic begitu populer bagi publik Sheffield Wednesday dan Portsmouth.

David Suker, striker asal Kroasia menunjukkan taji dengan menyarangkan sepuluh gol dalam dua musim kompetisi ketika bermain bagi Arsenal dan West Ham.

Meski pemain sayap Rumania Ilie Dumi Ilie Dumitrescu dan pemain depan Florin Raducioiu tidak juga bersinar. Striker Ukrainia Serhiy Rebrov bersua dengan kekecewaan saat bermukim di Tottenham.

Mantan striker Dynamo Kyiv Andriy Shevchenko boleh dibilang tidak mampu berbuat banyak di Chelsea. Bahkan playmaker Slovenia Milenko Acimovic dicampakan dari Tottenham. Inilah logika bola: tidak menyumbang prestasi, bersiaplah hengkang.

Ada uang, ada gol, ini syahadat yang dikumandangkan saat pemain merayakan perasaan syukur di katedral yang bernama stadion. Publik berucap, kami sudah mengeluarkan sejumlah uang, silakan pemain memberi yang aneka atraksi terbaik.

Publik berteriak, bebaskan kami dari himpitan hidup dengan sepakbola. Untuk tidak mengecewakan penonton, Liga Inggris mensyaratkan bahwa para pemain perlu memiliki fisik kuat, mental tangguh. Fisik serupa banteng, mental sejenis gladiator. Yang diperlukan sekarang, bukan seremonial sarat gegap gempita upacara, tetapi jawaban atas pertanyaan, ini apa gunanya?

Liga Inggris memerlukan pemain yang menempati posisi bek tengah. Para pemain dari Balkan seperti Bilic dan Stimac memenuhi syarat itu karena bermodalkan fisik tangguh dan teknik sepakbola mumpuni. Bagaikan refrain dalam sebuah lagu, manajer sekelas Sir Alex Ferguson mengolah dan mengembangan nada-nada dasar sepakbola Inggris.

Bos Manchester United itu kemudian memanggil dan mengandalkan Nemanja Vidic yang disebut-sebut sebagai pemain bertahan yang sejatinya mampu bertahan, demikian diwartakan AFP.

Ferguson memaknai proklamasi Liga Inggris bahwa sepakbola Inggris memerlukan pemain-pemain bertahan. Ini jawaban manajer asal Skotlandia atas proklamasi, bahwa ini apa gunanya?

Niko Kranjcar, playmaker Kroasia yang pernah bermain bersama Dinamo Zagreb kemudian Hajduk Split, dan kini berlaga bagi Portsmouth mengatakan, "Peran saya di Portsmouth dan di tim nasional terbilang hampir sama. Ini berbeda ketika saya bermain di Dinamo dan Hajduk. Saya berada di belakang para striker. Dengan begitu saya dapat mendukung operasi para pemain depan untuk menciptakan gol ke gawang lawan."

Kranjcar bukan tanpa usaha. Ia merevolusi diri dari pakem 3-4-1-2 atau 4-3-1-2 yang umumnya diterapkan dalam sepakbola di negeri Balkan, dengan pola lima gelandang.

Di laga Piala Eropa, baik Spanyol maupun Jerman tampak ampuh menerapkan resep 4-2-3-1. Arus utama sepakbola Inggris ini mulai ditangkap dan diterapkan oleh pelatih asal Spanyol Juande Ramos yang kini mengadu nasib di Tottenham. Ia seakan mewakili gerbong Spanyol yang siap berekspansi di Liga Inggris. Ada juga nama Xavi Fernandez.

Apakah Liga Premier bakal menjadi ajang proklamasi bagi para pemain asal Eropa Timur dan Spanyol? Ya, karena ketrampilan teknik, ketangguhan fisik dan kelihaian meramu selaksa teknik umumnya ditunjukan oleh pemain dan pelatih Eropa Timur dan Spanyol. Mereka memetik sukses karena memegang petuah filosofis, ini apa gunanya?

Proklamasi bernada beda dikumandangkan oleh Ferguson. Sukses membawa United menyabet gelar Liga Inggris dan juara di laga Liga Champions, Fergie melayangkan pujian kepada Rio Ferdinand. "Rio kini jadi bek tengah yang terbaik di dunia.

Penampilannya membawa pesona unik karena memberi contoh kepada pemain lain. Ia mampu merespons bola yang bergulir ke lini pertahanan. Pemain depan lawan banyak kali berhitung. Ia pemain luar biasa, meski usianya sudah 30 tahun. Pengalamannya segudang."

Kini Ferguson sedang menyibukkan diri dengan menempa lini depan United. Ia menggarap Carlos Tevez, Ryan Giggs dan Nani, sementara Wayne Rooney tengah berjuang keluar dari serangan virus sekembalinya dari tur ke Nigeria. Cristiano Ronaldo pun belum pulih dari cedera engkel, sedangkan Louis Saha belum juga fit. United juga tengah menyambut kembalinya Gary Neville.

United telah memaknai proklamasi Liga Inggris dengan kerja keras. Para pemain Eropa Timur dan Spanyol menangkap nuansa sejati proklamasi Liga Premier, yang tidak melulu mempertanyakan kegunaan, tetapi menyodok kesadaran publik bahwa sepakbola memuat pertanyaan reflektif, bahwa untuk sebuah perdamaian diperlukan perubahan; untuk sebuah pembebasan diperlukan pemerdekaan dari segala keterasingan. Pembebasan untuk revolusi nurani, ini proklamasi dari Liga Inggris.

Bagaimana mungkin manusia yang kini tengah terperangkap kepura-puraan dapat memerangi keterasingan dirinya itu bagi orang lain? Lebih baik mengobati diri sendiri dulu, ketimbang terus melukai orang lain dengan melontarkan berbagai pidato kosong dan berbagai aktivitas palsu.

Sejatinya proklamasi Liga Inggris berbunyi: bagaimana orang bisa keluar dari lingkaran setan kekerasan, apabila kekerasan diperangi dengan kekerasan, seperti diterapkan dalam sebuah revolusi? Jangan terperosok ke jurang verbalisme dan aktivisme, ini warta reflektif dari laga bola. (**)

Tidak ada komentar:

SYALOM