Oleh Hyeron Modo
HENTAKAN kaki ditingkahi syair lagu berbalas pantun memecah kesunyian malam. Suara laki-laki dan perempuan dalam pentas danding membangunkan saya di tengah malam ketika sedang tertidur lelap. Itulah suasana di kampungku Ngusu, Desa Rana Mbeling, Kecamatan Kota Komba.
Suasana itu saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar (SD) di tahun 1970-an. Saya dan teman-teman sebayaku pun berbaur bersama anak-anak muda, orang tua laki-laki dan perempuan, ikut danding (tandak). Danding biasanya dimainkan saat Ghan Woja (bahasa Manggarai versi Manus) atau dalam bahasa Manggarai umum disebut Penti. Upacara adat Ghan Woja atau Penti biasanya dilaksanakan setelah panen padi dan jagung di ladang atau sawah. Acara ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas anugerahNya, panen padi dan jagung berhasil. Tetapi, danding di wilayah Manus tidak hanya saat Ghan Woja.
Di kampung saya, Ngusu, danding biasanya dipentaskan warga kampung setiap akhir pekan ketika musim panen usai. Pentas tarian tradisional usai panen ini sambil menunggu penentuan bulan pelaksanaan acara tradisional Ghan Woja. Pentas tandak menjelang pesta adat Ghan Woja ini disebut danding marang.
Danding dilakukan pada malam hari hingga menjelang subuh. Peserta danding, laki-laki dan perempuan, tua dan muda berdiri membentuk lingkaran. Jika peserta banyak, biasanya dibentuk dua lingkaran dengan konfigurasi peserta perempuan dan laki-laki selang-seling. Para peserta sambil memegang tangan bernyanyi berbalas pantun dengan hentakan kaki mengikuti irama lagu. Salah seorang yang cukup mahir memandu acara, berdiri di tengah lingkaran dan memegang giring-giring untuk memberi aba-aba kapan hentakan kaki dilakukan bersama sambil menjawab syair lagu yang dinyanyikan kaum perempuan atau laki-laki dalam lingkaran itu. Pemandu atau komando acara juga berperan untuk menggantikan syair lagu berikutnya dengan cara poka (jeda) dan sako (solo).
Pementasan danding ini menjadi tontonan menarik bagi warga kampung yang tidak mengambil bagian dalam pentas tradisional tersebut. Ketika warga di kampung saya sedang asyik mementaskan danding sekelompok warga dari kampung tetangga datang untuk mengikuti danding. Syair-syair lagu yang dinyanyikan saat danding tidak sekadar acara hiburan. Syair-syair lagu dalam danding sarat makna dan mengandung pesan moral yang luar biasa. Ada syair lagu danding yang mengingatkan dan mengajak sesama warga untuk saling membantu dalam hidup bermasyarakat. Jadi, danding merupakan forum kritik sosial dengan cara menghibur (dalam bentuk nyanyi berbalas pantun). Dalam perkembangan dewasa sekarang, danding lebih dipahami sebagai selebrasi muda-mudi di kampung.
Salah satu syair lagu yang mengandung pesan moral dan bermakna peringatan dan atau ajakan, misalnya, waeng koe e e, waeng koe e wake'n a o o u u wake'n waeng koe/melo ga a e e a a kala melo ga. Artinya, sirih sudah layu perlu disiram sehingga segar kembali. Jika dimaknai secara luas, maka syair lagu danding tersebut bermakna mengajak sesama warga untuk membantu sesama warga lainnya dalam kampung yang mengalami kesusahan atau kesulitan hidup dalam hal apa saja.
Syair lagu Waeng koe wake'n waeng koe/Melo ga kala melo ga, juga bermakna ajakan melestarikan lingkungan hidup. Sebab, lingkungan telah memberi kehidupan bagi manusia. Karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian lingkungannya. Pendekatan yang disampaikan melalui syair-syair lagu danding lebih diterima oleh warga di kampung saya ketimbang pendekatan formal yang dilakukan pemerintah. Tetapi, apakah danding masih menjadi salah satu kearifan lokal untuk mendorong atau mengajak partisipasi masyarakat dalam pembangunan? Semuanya kembali kepada masyarakat itu sendiri, terutama generasi penerus untuk melestarikan budaya yang diturunkan nenek moyang. (hyeron_modo@yahoo.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar