Menyambut HUT ke-86 Kota Kefamenanu
Oleh Julianus Akoit
HARI Rabu, 10 September 2008 malam, sekitar pukul 20.00 wita, Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Drs. Gabriel Manek, M.Si, berdiri di atas panggung di tengah Lapangan Umum Oemanu, di jantung Kota Kefamenanu. Ia berdiri memegang palu lalu memukul gong, tanda resminya pembukaan pameran pembangunan dan malam kesenian dan budaya dalam rangka HUT ke-86 Kota Kefamenanu dan Tahun Emas Kabupaten TTU. Di sampingnya berdiri Dandim 1618/TTU, Letkol (Inf) Drs. H.M. Sinaga, Kapolres TTU, AKBP Drs. Abdul Syukur, dan Sekda TTU, Drs. Jacobus Taek Amfotis, M.Si, memandang dengan takjub seraya bertepuk tangan dengan gembiranya. Ribuan kembang api menghiasi langit malam Kota Kefamenanu. Betapa semaraknya.
Andaikan saat itu, berdiri juga di samping Bupati Manek, Letnan Sketel -- pimpinan Pemerintahan Militer Belanda yang membawa pasukan Belanda masuk ke Lembah Bikomi dan merintis berdirinya Kota Kefamenanu -- pasti suasana terasa lain. Terbayang Letnan Sketel dalam sosok seorang kakek tua, sedang berdiri membungkuk. Sebilah tongkat kayu dipakai untuk menopang kakinya yang mulai letih dan sedikit gemetar. Ia berusaha mendongak ke atas, menatap langit Kota Kefamenanu yang cerah, yang dipenuhi ribuan warna kembang api.
Terbayang lagi, mata tuanya yang sudah rabun itu mengerjap basah. Kakek Sketel menangis. Entah menangis karena sangat gembira dan bahagia atau karena sedih melihat Kota Kefamenanu yang sudah berubah. Melihat penduduk kotanya yang dinamis, optimis sekaligus menggemaskan tindak-tanduknya. Andaikan saja usia Letnan Sketel masih panjang dan diizinkan Sang Khalik untuk pelesir ke Kota Kefamenanu, pasti seribu kisah masa lalu akan ia tuturkan kepada warga kota. Ah, andaikan saja.
Tapi sudahlah, kita mungkin cuma bisa mengagumi Letnan Sketel melalui lembar sejarah maupun tutur lisan. Tentang bagaimana ia dan pasukannya sampai ke Lembah Bikomi, ke Kota Kefamenanu. Sejarahnya sangat panjang jika ditulis, ceritanya bisa seribu satu malam jika dituturkan kepada anak cucu. Berikut ini cuma rangkumannya saja, sekadar untuk mengingatkan kita.
Lahirnya Kota Kefamenanu tidak lepas dari usaha Belanda untuk menguasai Pulau Timor seluruhnya. Namun niatnya itu terganjal karena sudah bercokol lebih dahulu Portugis di ujung timur Pulau Timor dan sebagian wilayah utara, yang kini dikenal dengan nama Ambenu/Oecusse. Selain itu beberapa raja kecil bersekutu dengan Portugis untuk melawan Belanda. Dan sudah pasti dibayangkan, terjadi beberapa kali perang dan pemberontakan yang dilakukan oleh raja Timor dibantu Portugis.
Topasses (Portugis Hitam) yang menguasai bagian utara Pulau Timor dan beberapa wilayah lainnya berusaha menghalangi langkah Belanda masuk ke pedalaman Timor. Namun usahanya gagal karena hubungan mesranya dengan beberapa raja retak. Konflik ini akibat perebutan 'lahan' dalam perdagangan kayu cendana dan lilin. Beberapa raja kecil memihak Belanda. Sebelumnya, Belanda sedang mengincar Raja Sonbay di Bijela. Sonbay adalah raja yang punya kharisma dan sangat disegani oleh raja-raja Timor lainnya. Dia juga yang mempengaruhi raja-raja kecil lainnya untuk memberontak kepada Belanda.
Tersebutlah, sebuah kerajaan kecil di kaki Gunung Miomaffo, yang sangat taat dan loyal kepada Sonbay. Kerajaan ini disebut Kerajaan Us Kono atau Ama Kono. Keturunan Kono dan Oematan yang berkuasa di Kerajaan Miomaffo, memerintah dari generasi ke generasi. Ibukota kerajaan ini terletak di puncak bukit dan beberapa tempat, kemudian pindah ke Kampung Noetoko. Kampung Noetoko terletak di delta Sungai Noenoni dan Noeniti. Namun kemudian Kono dan Oematan dan rakyatnya memberontak melawan Sonbay, lewat sebuah revolusi berdarah, yaitu Revolusi Letaes'am.
Kenapa terjadi revolusi ini? Karena Raja Sonbay di Oenam sangat kejam, sering meminta persembahan gadis-gadis belia yang cantik dan menjadikan nyawa manusia yaitu rakyatnya sebagai korban persembahan kepada Dewa dalam pesta persembahan hasil panen (tama maus, mau sufa).
Usai melakukan pemberontakan, Kono meminta perlindungan Belanda di Kupang dan Niki-Niki. Jadi ia memerintah kerajaannya dibantu Belanda. Bahkan ia membantu Belanda menangkap Sonbay.
Kendati beberapa keturunan Sonbay dan para meo (panglima perang) ditangkap dan dibunuh, kekuasaan Sonbay tidak juga berakhir. Salah satu keturunan Sonbay melarikan diri ke Mollo (Kapan/TTS) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana.
Belanda tidak tinggal diam. Ia terus mengejar Sonbay dan keturunannya ke Mollo hingga masuk ke wilayah Miomaffo. Pengejaran itu dipimpin oleh Letnan Connmestz. Karena jatuh kasihan, Raja Kono melindungi keturunan Sonbay ini, yang dikenal dengan julukan Sobe Sonbay Ana. Ia kemudian berganti nama menjadi Sobe Kono agar tidak dicari dan ditangkap Belanda. Ia pun hidup aman dan terlindung di Noetoko.
Karena gagal mencari keturunan Sonbay, maka Letnan Connmestz melakukan gencatan senjata dengan para meo dan Raja Kono. Selanjutnya, atas izin Raja Kono, Letnan Connmestz
mendirikan markas militernya di Noetoko pada tahun 1909. Kemudian Belanda menjadikan Noetoko sebagai pusat Pemerintahan Militer Belanda yang disebut Onderafdeeling Noord Midden Timor.
Diangkatlah Letnan Z. Steinmetz sebagai Controleur Landschoofd Noord Midden Timor. Namun, karena letak geografisnya yang sulit dan sempit, Noetoko dianggap kurang pas dijadikan pusat pemerintahannya.
Pengganti Letnan Steinmetz, yaitu Letnan Sketel Olifielt, mencoba mencari wilayah yang dianggap pas untuk dijadikan sebagai kota dan pusat Pemerintahan Militer Belanda. Ia membawa pasukannya mengembara menuju Nilulat, Oefui, Ukimnatu, Fatuknapa, Ekat, Oe'apot, Faotsuba, Oe-ekam, Nunpene, hingga Kampung Mat'manas (wilayah ini terletak di belakang Pasar Baru Kefamenanu sekarang). Di sini Letnan Sketel sempat mendirikan markas militer di tepi Sungai Benpasi. Bekas reruntuhan bangunan markas itu masih ada sampai sekarang. Karena takut banjir dari Sungai Benpasi, Letnan Sketel memindahkan lagi markasnya ke Tele (sekarang kota lama di belakang Tangsi Polisi Lama).
Dalam suatu kesempatan, seorang komandan regu Belanda berkuda mengelilingi wilayah sekitar Tele yang masih terdiri dari hutan lebat. Ia hendak mencari sumber air. Kemudian ia berjumpa dengan seorang warga dan bertanya dalam bahasa Melayu, "Di mana ada sumber air?" Yang ditanya cuma setengah mengerti menunjuk ke sebuah arah sambil menyebut: "Kefam'mnanu!". Sang komandan regu Belanda itu berjalan menuju arah yang ditunjuk, yaitu sebuah tebing jurang yang terjal (sekarang di halaman belakang rumah almarhum Laurens Ogom, di Gua Aplasi).
Ia sangat terkejut ketika menjumpai sebuah pemandangan yang sangat indah. Yaitu sebuah kolam air dari sebuah pusaran air dari tebing yang curam. Air terjun ini menghempas dalam kolam
dan membentuk liukan pusaran seperti perut ayam. Pengalaman ini diceritakan komandan itu kepada semua orang. Dan akhirnya tempat itu diberi nama Kefamenanu (setelah disesuaikan dengan idiolek Bahasa Belanda).
Merasa sangat cocok, maka pada tanggal 22 September 1922, ibukota Pemerintahan Militer Belanda (Onderafdeeling Noord Midden Timor) di Noetoko pindah ke Kefamenanu. Dan pada tahun 1923, Kantor Onderafdeeling Noord Midden Timor dibangun oleh Tuan Peddemons. Dan gedung Kantor Onderafdeeling Noord Midden Timor sempat dijadikan Kantor Bupati TTU oleh mantan Bupati TTU pertama, Petrus Salasa. Sekarang gedung ini dijadikan sebagai kantor Arsip Daerah Kabupaten TTU. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar