Oleh D Elcid Li
Co-editor Jurnal Academia NTT
HIRUK pikuk 'nyapres' di Jakarta hanya memberikan tempat orang-orang di pinggiran - termasuk NTT - sekadar penonton saja. Kalau pun ada yang ikut di pusat, posisinya masih sama : penonton. Singkat cerita, Pemilu Presiden 2009 mendatang gambarnya hampir mirip dengan permainan 'bola guling' di rumah duka.
Warga Flobamorata (akronim untuk beberapa pulau besar di NTT: Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata) jelas bukan pemain/pemasang taruhan, cuma sekadar penonton yang mengitari meja. Sebagai penonton kadang berdecak kagum karena jagonya menang, kadang marah-marah karena jagonya kalah, dan kadang tidak pusing juga karena duit yang dimakan bandar bukanlah miliknya. Tapi, kadang jika semangat mendukung salah satu pemain, bukan tidak mungkin ia dapat tip. Bisa jadi tip cukup besar dan dinamakan jabatan. Lumayan cuma modal mulut.
Jika meja bola guling adalah pentas politik, maka rumah duka itu adalah negara. Pemilu bagi warga NTT adalah ajang melayat. Yang namanya melayat meskipun dekat dengan kematian tidak berarti isinya duka melulu. Sebab di bawah terpal biasanya para sahabat lama bertemu, musuh pun saling berjabat tangan, karena semuanya tahu bahwa 'kematian' memang bisa tiba kapan saja. Dan, hari terakhir bisa jadi malam itu. Para pemain wajahnya ada dua belas rupa, siap bertukar wajah untuk mengaburkan pesan dan jumlah uang yang dibawa di kantong. Kata pengamat, kantong ada hubungan dekat dengan suara. Kata pengamat politik lagi, Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia.
Tetapi, pertanyaannya, siapa yang meninggal ketika pemilu tiba? Jawabannya tak mesti orang. Bisa jadi negara, bisa jadi kematian orang pinggiran untuk kesekian kali. Pinggiran atau marginal di sini tidak mesti berdasarkan aspek ruang geografis semata, tetapi persoalan pinggiran itu sendiri. Jadi yang mati, bisa jadi demokrasi itu sendiri. Jika tidak sepakat, minimal argumentasi ini mewakili kematian orang pinggiran dalam Pemilu sebagai ajang demokrasi.
Wapres dari NTT?
Penjelasannya begini. Bukan cuma Anda yang kaget dengan pertanyaan siapa wapres dari NTT? Tetapi para pembaca mailing list Forum Academia NTT pun kaget, begitu kagetnya tidak ada yang membalas pertanyaan itu meskipun setelah satu minggu berlalu. Padahal anggotanya adalah adalah dosen, wartawan, anggota DPR, mahasiswa, aktivis LSM, pastor, pendeta, dokter, dan lainnya. Jadi persoalannya bukan pada persoalan intelektual. Tapi kalau bukan itu, lantas apa?
Apa mungkin untuk berimajinasi pun orang NTT sudah tidak berani lagi? Jika sudah tidak berani berimajinasi, apakah tidak boleh dianggap mati? Jika demokrasi sebagai sebuah imajinasi pun telah mati bagi masyarakat pinggiran, lantas apa yang sedang terjadi?
Atau, jangan-jangan, judul tulisan ini pun dianggap sebagai humor semata. Humor yang tak mungkin dan menjengkelkan jadi tidak perlu dibahas. Sarkasme semacam itu jelas tidak memberikan atmosfir persahabatan. Jika kita tiba dengan rasa ini, apa ini bukan sebuah cara 'mati rasa' yang biasa?
Jika para calon wakil presiden saat ini cukup gagah menempelkan CV-nya, dan menuliskan nama trah keluarganya, juga jabatannya dalam logika sejarah moderen, maka jangan ditanya mana CV orang yang berimajinasi saja sudah tidak.
Sejarah Nenek Moyang
Soal sejarah besar tentulah orang-orang pinggiran di NTT tidak menyimpannya. Tak pernah ada kitab soal sejarah itu. Nenek moyang yang menulis saja tak. Soal berapa lautan yang telah diarungi tempo doloe pun, orang Dawan di Timor pun tidak ada yang tahu, sebab banyak lagi yang belum melihat laut.
Tetapi, tanpa semua kedigdayaan dan cerita besar soal kerajaan masa lalu, apakah lantas orang-orang pinggiran pantas dipinggirkan, dan pantas merasa tidak ada? Apakah benar tidak ada calon wakil presiden dari NTT? Soal ini, bukan cuma orang NTT saja yang merasa ini wajar. Tempo edisi terbaru pun tidak menulis adanya calon wakil presiden dari NTT. Dan, itu bukan masalah!
Sampai di sini, tentu sidang perkabungan sudah mengerti, mengapa pentas demokrasi pun bisa memberi kabar duka untuk orang pinggiran. Mungkin ada yang bertanya, kenapa menjawab calon wapres saja tidak berani, bagaimana kalau pertanyaannya: 'siapa calon presiden dari NTT?' *
Jumat, 31 Oktober 2008
Rabu, 22 Oktober 2008
Bis Kayu
Oleh Dion DB Putra
SEBELAS tahun lalu sentilan itu sungguh menusuk. Membuat malu. Menggaruk- garuk gengsi remajaku yang masih segunung. Tetapi di Bolok pekan lalu, beta tak sanggup lagi berdalih. Ada "neraka" di beranda rumah Flobamora.
"Kamu tahu letak neraka? Neraka adalah menumpang 'bis kayu' di Flores," kata seorang misionaris asal Spanyol di salah satu tempat di Timor Timur medio Juli 1997. Sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor itu sungguh-sungguh. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores. "Di dalam bis kayu, saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar," kata sang misionaris.
Dan, 'bis kayu' masih ada di Flores. Jumlah tak sebanyak tahun 1997, tetapi keberadaannya belum punah. Dia masih menjadi sarana transportasi andalan yang menerobos jalan desa dan gunung. Masuk sampai ke udik. Mudah ditemukan di pasar mingguan seantero Pulau Flores. Sejatinya bis kayu adalah truk. Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk dari papan dan beratap. Demi mengatasi hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisinya.
Kata "neraka" kembali mengganggu saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok pekan lalu. "Saya menemukan neraka di geladak Umakalada," kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala.
Dia hendak pulang ke Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti. "Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka," katanya sambil tertawa.
Memang tidak mengherankan. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita. Kapal di NTT Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas. Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.
Markus, kawan beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat empat tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. "Gengsi eja. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa," katanya. Bukankah banyak orang seperti Markus? Setelah bertitel "pejabat negara", nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber- AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. (email: dionbata@poskupang.co.id)
SEBELAS tahun lalu sentilan itu sungguh menusuk. Membuat malu. Menggaruk- garuk gengsi remajaku yang masih segunung. Tetapi di Bolok pekan lalu, beta tak sanggup lagi berdalih. Ada "neraka" di beranda rumah Flobamora.
"Kamu tahu letak neraka? Neraka adalah menumpang 'bis kayu' di Flores," kata seorang misionaris asal Spanyol di salah satu tempat di Timor Timur medio Juli 1997. Sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor itu sungguh-sungguh. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores. "Di dalam bis kayu, saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar," kata sang misionaris.
Dan, 'bis kayu' masih ada di Flores. Jumlah tak sebanyak tahun 1997, tetapi keberadaannya belum punah. Dia masih menjadi sarana transportasi andalan yang menerobos jalan desa dan gunung. Masuk sampai ke udik. Mudah ditemukan di pasar mingguan seantero Pulau Flores. Sejatinya bis kayu adalah truk. Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk dari papan dan beratap. Demi mengatasi hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisinya.
Kata "neraka" kembali mengganggu saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok pekan lalu. "Saya menemukan neraka di geladak Umakalada," kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala.
Dia hendak pulang ke Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti. "Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka," katanya sambil tertawa.
Memang tidak mengherankan. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita. Kapal di NTT Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas. Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.
Markus, kawan beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat empat tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. "Gengsi eja. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa," katanya. Bukankah banyak orang seperti Markus? Setelah bertitel "pejabat negara", nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber- AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Senin, 20 Oktober 2008
Hati-hati! Ponsel Bisa Merusak Sperma
TAMPAKNYA kaum laki-laki yang doyan mengobrol berjam-jam dengan menggunakan telepon seluler (ponsel) perlu berhati-hati. Bisa-bisa, mereka akan kehilangan kesempatan menjadi seorang ayah. Apa pasal? Ternyata, radiasi yang ditimbulkan ponsel bisa merusak kualitas sperma.
Penelitian Universitas Newcastle menemukan bahwa terdapat kerusakan DNA pada sperma yang diakibatkan oleh penggunaan ponsel yang berlebihan. Dalam eksperimennya, para peneliti menggunakan radiasi yang dibuat menyerupai radiasi yang dihasilkan sebuah ponsel.
Penelitian pendahuluan yang diperagakan dalam sebuah konferensi mengenai kesuburan di Brisbane Senin (20/10/2008) seperti dilansir news.com.au merupakan penelitian pertama mengenai hal ini dan mendukung penelitian lain di AS yang menyebutkan bahwa pengguna "berat" telepon seluler memiliki sperma 40% lebih rendah dibanding pengguna "ringan".
Para peneliti di Universitas Newcastle tersebut mengembangkan sebuah alat yang dapat memancarkan radiasi pada frekuensi radio yang sama dengan radiasi akibat panggilan telepon.
Profesor John Aitken, Direktur Pusat Bioteknologi dan Perkembangan mengatakan bahwa pihaknya mampu mengidentifikasi secara akurat perpecahan DNA di dalam sperma. "Setelah 16 jam terekspos (radiasi), terlihat bukti nyata kerusakan sperma," ungkap Profesor Aitkens. "Hal ini memang merupakan penemuan yang amat
dini. Tapi hal ini membangkitkan kekhawatiran yang amat sangat," tambahnya.
Kerusakan DNA di dalam sperma telah diidentifikasikan dengan kesuburan yang menurun, meningkatnya risiko keguguran, dan berbagai penyakit lain yang menyerang keturunan seperti kanker pada usia kanak-kanak, dan kerusakan neurologis seperti autisme, kelainan bipolar, dan schizophrenia spontan.
Prof Aitken mengemukakan bahwa telah lama diketahui bahwa perpecahan DNA sperma disebabkan oleh infeksi, merokok, dan usia lanjut, namun hanya sedikit penelitian yang meneliti hubungannya dengan penggunaan ponsel.
Di tempat lain, sebuah penelitian di Jerman menemukan bahwa penghangat jok kursi di mobil-mobil mewah juga dapat merusak sperma. Hal ini disebabkan peningkatan temperatur sekitar alat kelamin di atas level optimal bagi produksi sperma. **
Asam Timor, Potensi yang Terlupakan
Oleh Muhlis al Alawi
BERBAGAI potensi dimiliki Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya sektor pertanian yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Di sektor ini TTS mempunyai jagung, padi hingga tanaman tumpang sari. Aneka tanaman ini telah membudaya untuk mencukupi kebutuhan pangan warga.
Tetapi TTS tidak cuma punya jagung, padi dan tanaman tumpang sari. Sudah sejak dulu Kabupaten Cendana Wangi ini memiliki asam. Asam sesungguhnya sangat prospektif. Sayang, sejauh ini pemerintah masih menganaktirikan asam. Rakyat dibiarkan sendiri memburu asam di hutan. Memburu, karena pohon asam di hutan tidak punya pemilik. Siapa saja bebas memetik dan atau memungut buahnya yang jatuh ke tanah.
Menjelang musim panen, yakni Agustus, September dan Oktober warga ramai- ramai masuk keluar hutan memburu asam. Saking banyaknya, jangan pernah menyangka bahwa warga akan naik ke pohon lalu menjatuhkan buahnya. Tidak. Mereka lebih memungut buah yang sudah jatuh ke tanah. Buah itu lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual kepada pengepul.
Siklus mencari, mengumpul dan menjual asam ke pengepul sudah jadi tradisi. Sudah lazim dan berjalan setiap tahun. Meski sudah lazim dan dilakonkan ramai- ramai oleh warga di desa dan kampung, hal itu belum berhasil memberi inspirasi kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk mengembangkan asam menjadi komoditas primadona. Beruntung, pohon asam tidak rewel seperti tanaman yang lain. Di hutan-hutan pohon asam tumbuh alamiah. Kokoh berdiri. Tidak perlu dirawat.
Tetapi melihat potensi dan prospeknya yang lumayan, mestinya pemerintah bisa memikirkan untuk melipatgandakan fungsi asam sehingga lebib berdaya guna. Harganya memang terbilang murah. Cuma Rp 600,00 hingga Rp 1.000,00/kg. Tetapi kalau pemerintah bisa menjadikan asam sebagai komoditas massal dan diusahakan secara massal, tak sulit menghitung berapa duit yang diraup warga. Apalagi, asam bukan cuma daging buahnya yang bermanfaat. Biji asam juga dicari untuk diolah menjadi zat pewarna untuk industri tekstil.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan TTS, Drs. Daniel Dede, yang saat diwawancarai masih menjabat, mengatakan, setiap tahun TTS dapat memproduksi asam sebanyak 2.000 hingga 3.000 ton. Bila warga menjual asam ke pengusaha di Kota SoE, maka akan mendapatkan harga setiap kilogramnya Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00. Sementara bila biji asam diolah menjadi tepung bisa dihargai dengan Rp 7.000,00/kg.
Kendati demikian, kata Dede, untuk mengubah biji asam menjadi tepung dibutuhkan teknologi mesin pengolahnya. Selain itu, sebelum dipasarkan ke perusahaan tekstil tepung itu harus memenuhi standar mutu internasional. Dede menegaskan mutu tepung biji asam dari TTS memiliki kualitas paling baik.
Konon, biji dan daging buah asam dari Timor memiliki kualitas yang unggul dibandingkan dengan asam lainnya di Indonesia. Di pasaran, pengusaha besar di Jawa lebih memilih asam daratan Timor untuk diolah menjadi makanan ringan, minuman ringan dan bahan komestik.
"Tepung yang terbuat dari biji asam saat ini sangat dicari perusahaan tekstil untuk pewarna kain. Untuk Indonesia, tepung biji asam masih didatangkan dari India lantaran ketiadaan tepung biji asam di tanah air. Makanya, bila TTS dapat menyuplai setidaknya sepuluh ton tepung biji asam, maka kabupaten ini akan kebanjiran investor perusahaan tekstil. Dan tentunya industri ini akan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat TTS," kata Dede.
Untuk merancang ke arah industri rumah tangga, lanjut Dede, pihaknya terlebih dahulu akan mengoptimalkan bantuan mesin pengolah biji asam menjadi tepung tahun ini. Bila berhasil, tahun berikutnya Disperindag akan melakukan pengadaan biji asam dan sekaligus mesin pengelolaanya.
Tak beda dengan Dede, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan TTS, Drs. Urias Sanam, yang dikonfirmasi melalui Kasi Rehabilitasi dan Pengkayaan Hutan, Chris Koenunu, S.Hut mengatakan pohon asam bisa berbuah dalam usia lima tahun. Selain mudah membudidayakannya, menanam pohon asam tidak memerlukan perawatan ekstra layaknya tanaman lainnya. Ibarat tinggal menabur bijinya saja, maka tanaman itu bisa tumbuh hingga besar.
Dalam catatan Dishutbun TTS, produksi asam tujuh tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2001, produksi asam isi sebanyak 792 ton, tahun 2002, 487,5 ton, tahun 2003 sebanyak 4.635 ton, tahun 2004, 3.261 ton, tahun 2005, 3.174 ton, tahun 2006, 3.287 ton dan tahun 2007 sebanyak 5.535 ton.
Menurut Koenunu hampir seluruh daratan di TTS ditumbuhi pohon asam. Namun pohon asam itu tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya unsur kesengajaan pemilik tanah menanamnya. Koenunu menyebutkan daerah penghasil asam terbesar berada di Kecamatan Kualin, Kolbano, Boking, Toianas, Amanuban Selatan, Mollo Utara, Mollo Tengah dan Mollo Barat.
Nah, tidak ada salahnya bila asam timor dapat dijadikan sebagai aset yang paling berharga untuk menambah pendapatan warga. Bila saja pemerintah memprogramkan penanaman asam secara massal, maka di saat musim kemarau warga tak lagi gigit jari menunggu berbagai bantuan pangan dari pihak luar lantaran kekurangan pangan. Terlebih lagi, bila pemerintah serius, maka dengan sentuhan teknologi perkebunan dan pertanian dapat memungkinkan satu pohon asam berbuah dua hingga tiga kali dalam setahun. Alhasil, warga pemilik pohon asam pun dapat berbesar hati. Rupiah pun dapat diraup warga saat musim panen tiba. Dan, untuk menghindari gejolak turunnya harga pada saat musim panen maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membeli asam milik masyarakat.
Timor Tengah Selatan pernah berjaya karena cendana. Kini secara ekonomis, cendana telah punah. Kabupaten ini juga pernah harum namanya karena buah apel. Kini, apel SoE tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Kabupaten dingin ini juga punya nama besar karena jeruk keproknya. Tetapi TTS tidak hanya punya itu. Dia punya asam dengan kualitas sangat baik. Cepat atau lambat, asam akan melambungkan nama Timor Tengah Selatan. **
BERBAGAI potensi dimiliki Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya sektor pertanian yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Di sektor ini TTS mempunyai jagung, padi hingga tanaman tumpang sari. Aneka tanaman ini telah membudaya untuk mencukupi kebutuhan pangan warga.
Tetapi TTS tidak cuma punya jagung, padi dan tanaman tumpang sari. Sudah sejak dulu Kabupaten Cendana Wangi ini memiliki asam. Asam sesungguhnya sangat prospektif. Sayang, sejauh ini pemerintah masih menganaktirikan asam. Rakyat dibiarkan sendiri memburu asam di hutan. Memburu, karena pohon asam di hutan tidak punya pemilik. Siapa saja bebas memetik dan atau memungut buahnya yang jatuh ke tanah.
Menjelang musim panen, yakni Agustus, September dan Oktober warga ramai- ramai masuk keluar hutan memburu asam. Saking banyaknya, jangan pernah menyangka bahwa warga akan naik ke pohon lalu menjatuhkan buahnya. Tidak. Mereka lebih memungut buah yang sudah jatuh ke tanah. Buah itu lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual kepada pengepul.
Siklus mencari, mengumpul dan menjual asam ke pengepul sudah jadi tradisi. Sudah lazim dan berjalan setiap tahun. Meski sudah lazim dan dilakonkan ramai- ramai oleh warga di desa dan kampung, hal itu belum berhasil memberi inspirasi kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk mengembangkan asam menjadi komoditas primadona. Beruntung, pohon asam tidak rewel seperti tanaman yang lain. Di hutan-hutan pohon asam tumbuh alamiah. Kokoh berdiri. Tidak perlu dirawat.
Tetapi melihat potensi dan prospeknya yang lumayan, mestinya pemerintah bisa memikirkan untuk melipatgandakan fungsi asam sehingga lebib berdaya guna. Harganya memang terbilang murah. Cuma Rp 600,00 hingga Rp 1.000,00/kg. Tetapi kalau pemerintah bisa menjadikan asam sebagai komoditas massal dan diusahakan secara massal, tak sulit menghitung berapa duit yang diraup warga. Apalagi, asam bukan cuma daging buahnya yang bermanfaat. Biji asam juga dicari untuk diolah menjadi zat pewarna untuk industri tekstil.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan TTS, Drs. Daniel Dede, yang saat diwawancarai masih menjabat, mengatakan, setiap tahun TTS dapat memproduksi asam sebanyak 2.000 hingga 3.000 ton. Bila warga menjual asam ke pengusaha di Kota SoE, maka akan mendapatkan harga setiap kilogramnya Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00. Sementara bila biji asam diolah menjadi tepung bisa dihargai dengan Rp 7.000,00/kg.
Kendati demikian, kata Dede, untuk mengubah biji asam menjadi tepung dibutuhkan teknologi mesin pengolahnya. Selain itu, sebelum dipasarkan ke perusahaan tekstil tepung itu harus memenuhi standar mutu internasional. Dede menegaskan mutu tepung biji asam dari TTS memiliki kualitas paling baik.
Konon, biji dan daging buah asam dari Timor memiliki kualitas yang unggul dibandingkan dengan asam lainnya di Indonesia. Di pasaran, pengusaha besar di Jawa lebih memilih asam daratan Timor untuk diolah menjadi makanan ringan, minuman ringan dan bahan komestik.
"Tepung yang terbuat dari biji asam saat ini sangat dicari perusahaan tekstil untuk pewarna kain. Untuk Indonesia, tepung biji asam masih didatangkan dari India lantaran ketiadaan tepung biji asam di tanah air. Makanya, bila TTS dapat menyuplai setidaknya sepuluh ton tepung biji asam, maka kabupaten ini akan kebanjiran investor perusahaan tekstil. Dan tentunya industri ini akan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat TTS," kata Dede.
Untuk merancang ke arah industri rumah tangga, lanjut Dede, pihaknya terlebih dahulu akan mengoptimalkan bantuan mesin pengolah biji asam menjadi tepung tahun ini. Bila berhasil, tahun berikutnya Disperindag akan melakukan pengadaan biji asam dan sekaligus mesin pengelolaanya.
Tak beda dengan Dede, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan TTS, Drs. Urias Sanam, yang dikonfirmasi melalui Kasi Rehabilitasi dan Pengkayaan Hutan, Chris Koenunu, S.Hut mengatakan pohon asam bisa berbuah dalam usia lima tahun. Selain mudah membudidayakannya, menanam pohon asam tidak memerlukan perawatan ekstra layaknya tanaman lainnya. Ibarat tinggal menabur bijinya saja, maka tanaman itu bisa tumbuh hingga besar.
Dalam catatan Dishutbun TTS, produksi asam tujuh tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2001, produksi asam isi sebanyak 792 ton, tahun 2002, 487,5 ton, tahun 2003 sebanyak 4.635 ton, tahun 2004, 3.261 ton, tahun 2005, 3.174 ton, tahun 2006, 3.287 ton dan tahun 2007 sebanyak 5.535 ton.
Menurut Koenunu hampir seluruh daratan di TTS ditumbuhi pohon asam. Namun pohon asam itu tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya unsur kesengajaan pemilik tanah menanamnya. Koenunu menyebutkan daerah penghasil asam terbesar berada di Kecamatan Kualin, Kolbano, Boking, Toianas, Amanuban Selatan, Mollo Utara, Mollo Tengah dan Mollo Barat.
Nah, tidak ada salahnya bila asam timor dapat dijadikan sebagai aset yang paling berharga untuk menambah pendapatan warga. Bila saja pemerintah memprogramkan penanaman asam secara massal, maka di saat musim kemarau warga tak lagi gigit jari menunggu berbagai bantuan pangan dari pihak luar lantaran kekurangan pangan. Terlebih lagi, bila pemerintah serius, maka dengan sentuhan teknologi perkebunan dan pertanian dapat memungkinkan satu pohon asam berbuah dua hingga tiga kali dalam setahun. Alhasil, warga pemilik pohon asam pun dapat berbesar hati. Rupiah pun dapat diraup warga saat musim panen tiba. Dan, untuk menghindari gejolak turunnya harga pada saat musim panen maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membeli asam milik masyarakat.
Timor Tengah Selatan pernah berjaya karena cendana. Kini secara ekonomis, cendana telah punah. Kabupaten ini juga pernah harum namanya karena buah apel. Kini, apel SoE tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Kabupaten dingin ini juga punya nama besar karena jeruk keproknya. Tetapi TTS tidak hanya punya itu. Dia punya asam dengan kualitas sangat baik. Cepat atau lambat, asam akan melambungkan nama Timor Tengah Selatan. **
Ubi Nua Bosi
Oleh Maria Matildis Banda
SAMA seperti ubi kayu lainnya, ubi kayu yang berasal dari Nua Bosi, Kabupaten Ende biasa-biasa saja. Potongannya persis ubi kayu dari mana saja. Tetapi bukan ubi Nua Bosi namanya kalau tidak diangkat jadi bahan pembahasan tiga sahabat karib kali ini. Semua orang juga tahu, bentuk dan potongan boleh sama, tetapi soal rasa dan harga, nanti dulu. Rasanya yang sangat spesial, karena itulah harganya juga mahal.
Silahkan ke pasar Mbongawani Ende, masuk ke bagian paling selatan pasar ikan, persis di tepi jalan lalu lintas motor, mobil, dan kendaraan dan kesibukan pasar Mbongawani, di sanalah berderet dan bertumpuk-tumpuk ubi Nua Bosi. Pasti selalu tersedia kapan saja. Namun kalau saat kapal dan feri berangkat, ubi Nua Bosi pun rata, terbang jadi ole-oleh ke Kupang, Denpasar, Ujung Pandang, Surabaya, Jakarta. Percaya atau tidak percaya? Ubi Nua Bosi dengan penampilan apa adanya, pun terbang ke negera lain di Asia dan ke benua lain seperti Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika.
***
"Karena itu kita kasih kado Ubi Nua Bosi saja untuk bupati terpilih!" Demikianlah Rara menyampaikan usul yang menurutnya usulan terbaik yang pernah disampaikannya sepanjang hidupnya. "Apa sudah gila? Bagaimana mungkin kasih kado untuk bupati terpilih hanya sekadar ubi Nua Bosi? Aduuh, seumur hidup saya, saya baru ketemu dengan orang gila seperti kamu!" Jaki segera pasang jurus tangkis.
"Ini kado istimewa!" Potong Rara dengan serius bin serius.
"Kita isi ke dalam dos aqua terus kita bungkus baik-baik dengan kertas kado warna pelangi, terus kita ikat dengan pita merah, terus kita kirim. Untuk paket Doa yang menang di Ende, kita antar langsung saja pakai ojek. Untuk paket Konco di Sumba Barat Daya kita kirim via feri besok pagi-pagi. Untuk paket Nazar di Rote Ndao, kita kirim pakai pesawat Trans Nusa! Aman bukan?"
"Aduh, kamu benar-benar sudah miring," Jaki memiringkan telunjuk di dahinya. "Kalau paket Doa tidak masalah, sebab Doa sudah hafal luar kepala yang namanya ubi Nua Bosi. Kalau untuk Konco, kamu tahu tidak? Kornelis Kodi Mete itu dokter yang baik hati. Apakah kamu tega mengirim kado ubi Nua Bosi untuk dokter itu? Kalau Nazar, Christian Nehemia Dillak, apakah kamu yakin pernah makan ubi Nua Bosi?" Tanya Jaki. "Kalau kamu memang sudah gila, gila yang benar, gila yang baik-baik!"
"Pokoknya, harus ubi Nua Bosi! Titik!" Rara tidak bergeming.
"Wah, kamu punya gaya persis penguasa! Kalau sudah mentok, mulai menggunakan jurus pokoknya, pokoknya, pokoknya..." kata Jaki. "Silahkan saja, saya dan Benza tidak mau terlibat!"
***
"Itu gagasan cemerlang!" Jaki kaget setengah mati waktu Benza berpihak pada Rara. Gagasan cemerlang? Aduh! Benza sudah sama gilanya dengan Rara. Kalau sampai ini terjadi, maka terjadilah bencana besar. Yang pasti Jaki tidak mau harus malu besar gara-gara kado yang sama sekali tidak nyambung dengan tujuan. Jaki bertekat untuk undur diri dari urusan kado.
"Dengar dulu Jaki," Benza menjelaskan. "Ubi kayu itu kado yang paling cocok untuk bupati terpilih di Ende, Sikka, Sumba Tengah, Rote Ndao, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan di mana saja. Juga hadiah istimewa untuk gubernur dan presiden. Bila perlu kita kirim juga untuk Barrak Obama kalau sudah terpilih jadi Presiden Amrik nanti!"
"Apa argumentasinya?" Jaki tampak putus asa.
"Ubi kayu itu makanan rakyat, makanan orang susah. Ubi kayu sumber karbohidrat. Dalam karbohidrat terkandung glukosa yang berfungsi sebagai sumber tenaga. Makanya karbohidrat disebut sumber tenaga. Pesannya, jadilah karbohidrat bagi masyarakat atau berikanlah karbohidrat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat. Namun ingatlah! Dalam ubi kayu ada juga kandungan asam biru, racunnya ubi kayu. Kalau asam birunya tinggi ubi kayu akan berubah menjadi racun yang memabukkan. Artinya, jangan sampai menjadi asam biru, apalagi memberi asam biru untuk rakyat. Berjaga-jagalah! Agar karbohidarat tidak berubah menjadi asam biru. Semua orang yang berada di sekitar kita, juga dapat menjadi karbohidrat atau asam biru. Sepanjang dominasi sekitar adalah karbohidrat oke-oke saja. Tetapi kalau lingkungan sekitar didominasi asam biru demi kepentingan pribadi, maka tinggal tunggu saja kapan saatnya asam biru benar-benar menjadi racun. Bukankah sukses dan gagal hanya dipisahkan oleh tirai tipis yang tembus pandang? Analogi ini penting dipahami agar tidak ada satu pun yang berada di sekitar kita menjadi asam biru. Kamu mengerti bukan?"
***
"Bukan!" Jawab Jaki tetap putus asa.
"Ubi Nua Bosi hadiah paling istimewa!"
"Kamu sudah kirim ke mana saja?"
"Ke dokter Dami Wera di Sikka, dokter Kornelis di Sumba barat Daya, Simon Hayon di Flotim, Yohanes Samping Aoh di Nagekeo, juga buat Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dan Gubernur Bali, Mangku Pastika!"
"Apa aku bilang?" Rara senang bukan main sebab baru kali ini gagasannya diterima telak oleh sabahatnya Benza. "Ubi kayu apa saja boleh.Tetapi karena ubi Nua Bosi adalah ubi terbaik, maka pantaslah kita berikan ubi Nua Bosi!" Rara tertawa bangga."Ayoh kita ke Nua Bosi, kita beli langsung di kebun!"
"Beli di pasar Mbongawani saja!" Protes Jaki dengan wajah masam.
"Ke Nua Bosi biar dapat yang matang di pohon, segar, bersih, dan terjamin bebas asam biru," Rara dan Benza langsung cabut, dan Jaki pun tinggal akui saja. **
SAMA seperti ubi kayu lainnya, ubi kayu yang berasal dari Nua Bosi, Kabupaten Ende biasa-biasa saja. Potongannya persis ubi kayu dari mana saja. Tetapi bukan ubi Nua Bosi namanya kalau tidak diangkat jadi bahan pembahasan tiga sahabat karib kali ini. Semua orang juga tahu, bentuk dan potongan boleh sama, tetapi soal rasa dan harga, nanti dulu. Rasanya yang sangat spesial, karena itulah harganya juga mahal.
Silahkan ke pasar Mbongawani Ende, masuk ke bagian paling selatan pasar ikan, persis di tepi jalan lalu lintas motor, mobil, dan kendaraan dan kesibukan pasar Mbongawani, di sanalah berderet dan bertumpuk-tumpuk ubi Nua Bosi. Pasti selalu tersedia kapan saja. Namun kalau saat kapal dan feri berangkat, ubi Nua Bosi pun rata, terbang jadi ole-oleh ke Kupang, Denpasar, Ujung Pandang, Surabaya, Jakarta. Percaya atau tidak percaya? Ubi Nua Bosi dengan penampilan apa adanya, pun terbang ke negera lain di Asia dan ke benua lain seperti Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika.
***
"Karena itu kita kasih kado Ubi Nua Bosi saja untuk bupati terpilih!" Demikianlah Rara menyampaikan usul yang menurutnya usulan terbaik yang pernah disampaikannya sepanjang hidupnya. "Apa sudah gila? Bagaimana mungkin kasih kado untuk bupati terpilih hanya sekadar ubi Nua Bosi? Aduuh, seumur hidup saya, saya baru ketemu dengan orang gila seperti kamu!" Jaki segera pasang jurus tangkis.
"Ini kado istimewa!" Potong Rara dengan serius bin serius.
"Kita isi ke dalam dos aqua terus kita bungkus baik-baik dengan kertas kado warna pelangi, terus kita ikat dengan pita merah, terus kita kirim. Untuk paket Doa yang menang di Ende, kita antar langsung saja pakai ojek. Untuk paket Konco di Sumba Barat Daya kita kirim via feri besok pagi-pagi. Untuk paket Nazar di Rote Ndao, kita kirim pakai pesawat Trans Nusa! Aman bukan?"
"Aduh, kamu benar-benar sudah miring," Jaki memiringkan telunjuk di dahinya. "Kalau paket Doa tidak masalah, sebab Doa sudah hafal luar kepala yang namanya ubi Nua Bosi. Kalau untuk Konco, kamu tahu tidak? Kornelis Kodi Mete itu dokter yang baik hati. Apakah kamu tega mengirim kado ubi Nua Bosi untuk dokter itu? Kalau Nazar, Christian Nehemia Dillak, apakah kamu yakin pernah makan ubi Nua Bosi?" Tanya Jaki. "Kalau kamu memang sudah gila, gila yang benar, gila yang baik-baik!"
"Pokoknya, harus ubi Nua Bosi! Titik!" Rara tidak bergeming.
"Wah, kamu punya gaya persis penguasa! Kalau sudah mentok, mulai menggunakan jurus pokoknya, pokoknya, pokoknya..." kata Jaki. "Silahkan saja, saya dan Benza tidak mau terlibat!"
***
"Itu gagasan cemerlang!" Jaki kaget setengah mati waktu Benza berpihak pada Rara. Gagasan cemerlang? Aduh! Benza sudah sama gilanya dengan Rara. Kalau sampai ini terjadi, maka terjadilah bencana besar. Yang pasti Jaki tidak mau harus malu besar gara-gara kado yang sama sekali tidak nyambung dengan tujuan. Jaki bertekat untuk undur diri dari urusan kado.
"Dengar dulu Jaki," Benza menjelaskan. "Ubi kayu itu kado yang paling cocok untuk bupati terpilih di Ende, Sikka, Sumba Tengah, Rote Ndao, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan di mana saja. Juga hadiah istimewa untuk gubernur dan presiden. Bila perlu kita kirim juga untuk Barrak Obama kalau sudah terpilih jadi Presiden Amrik nanti!"
"Apa argumentasinya?" Jaki tampak putus asa.
"Ubi kayu itu makanan rakyat, makanan orang susah. Ubi kayu sumber karbohidrat. Dalam karbohidrat terkandung glukosa yang berfungsi sebagai sumber tenaga. Makanya karbohidrat disebut sumber tenaga. Pesannya, jadilah karbohidrat bagi masyarakat atau berikanlah karbohidrat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat. Namun ingatlah! Dalam ubi kayu ada juga kandungan asam biru, racunnya ubi kayu. Kalau asam birunya tinggi ubi kayu akan berubah menjadi racun yang memabukkan. Artinya, jangan sampai menjadi asam biru, apalagi memberi asam biru untuk rakyat. Berjaga-jagalah! Agar karbohidarat tidak berubah menjadi asam biru. Semua orang yang berada di sekitar kita, juga dapat menjadi karbohidrat atau asam biru. Sepanjang dominasi sekitar adalah karbohidrat oke-oke saja. Tetapi kalau lingkungan sekitar didominasi asam biru demi kepentingan pribadi, maka tinggal tunggu saja kapan saatnya asam biru benar-benar menjadi racun. Bukankah sukses dan gagal hanya dipisahkan oleh tirai tipis yang tembus pandang? Analogi ini penting dipahami agar tidak ada satu pun yang berada di sekitar kita menjadi asam biru. Kamu mengerti bukan?"
***
"Bukan!" Jawab Jaki tetap putus asa.
"Ubi Nua Bosi hadiah paling istimewa!"
"Kamu sudah kirim ke mana saja?"
"Ke dokter Dami Wera di Sikka, dokter Kornelis di Sumba barat Daya, Simon Hayon di Flotim, Yohanes Samping Aoh di Nagekeo, juga buat Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dan Gubernur Bali, Mangku Pastika!"
"Apa aku bilang?" Rara senang bukan main sebab baru kali ini gagasannya diterima telak oleh sabahatnya Benza. "Ubi kayu apa saja boleh.Tetapi karena ubi Nua Bosi adalah ubi terbaik, maka pantaslah kita berikan ubi Nua Bosi!" Rara tertawa bangga."Ayoh kita ke Nua Bosi, kita beli langsung di kebun!"
"Beli di pasar Mbongawani saja!" Protes Jaki dengan wajah masam.
"Ke Nua Bosi biar dapat yang matang di pohon, segar, bersih, dan terjamin bebas asam biru," Rara dan Benza langsung cabut, dan Jaki pun tinggal akui saja. **
Minggu, 19 Oktober 2008
Dicari, 'Gudang Ternak' Sapi di Pulau Timor
Oleh Julianus Akoit
DUA atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang).
Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.
Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali.
Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.
Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.
Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).
Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.
Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor.
Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor.
Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali.
Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan.
Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.
Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.
Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.
"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu. Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa.
"Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.
Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi jantan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun
1970. "Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.
Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat.
Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.
Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.
Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.
Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga. **
DUA atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang).
Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.
Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali.
Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.
Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.
Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).
Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.
Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor.
Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor.
Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali.
Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan.
Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.
Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.
Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.
"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu. Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa.
"Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.
Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi jantan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun
1970. "Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.
Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat.
Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.
Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.
Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.
Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga. **
Oepoli, Negeri Madu
Oleh Aris Ninu
AKHIR Agustus 2008 saya pulang ke Pulau Timor, tempat kelahiran saya. Mengunjungi keluarga dan sanak keluarga. Saya juga mengunjungi kakak saya yang bertugas sebagai pastor paroki di Oepoli-Amfoang Timur, Kabupaten Kupang.
Ini kali pertama saya pergi ke Oepoli. Sebelum ini nama Oepoli dan Amfoang saya dengar hanya dari cerita orang.
Oepoli berada di perbatasan antara Kabupaten TTU dan Distrik Oecusi-Timor Leste. Oepoli berada di Kecamatan Amfoang Timur. Di pantai utara Pulau Timor. Oepoli juga berdekatan dengan Pulau Batek, salah satu pulau terluar.
Penduduk Oepoli sangat ramah. Kehidupan mereka setiap hari masih tradisional. Mereka kebanyakan warga eks pengungsi dari Oecusi. Mereka telah menyatu karena perkawinan dan masih memiliki hubungan darah dengan warga Oecusi, Timor Leste.
Ada apa di Oepoli? Ternyata tempat ini memiliki potensi yang luar biasa. Oepoli memiliki sejuta harapan dan perubahan bagi masyarakatnya jika potensi itu diolah dan dikembangkan.
Namun Oepoli jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kupang. Untuk ke Oepoli kita harus melewati ruas jalan yang cukup mengerikan. Ada dua jalur jalan ke sana, yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat bisa melalui Kabupaten TTU, bisa juga melalui Sulamu, Kabupaten Kupang.
Perjalanan saya ke Oepoli kali ini melalui Kabupaten TTU, melintasi Kecamatan Miomafo Barat-Eban terus ke Aplal lalu Naekake. Melewati dua kali besar yang airnya mengalir dari Gunung Mutis dan menyaksikan pemandangan gersang dan kering di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Menyaksikan dan merasakan kondisi jalan yang berlubang dan tidak beraspal. Menyaksikan anak-anak bertelanjang dada sepanjang jalan. Menyaksikan pula banyak lahan tandus dan kritis yang dijadikan kebun oleh warga.
Semua pemandangan itu sungguh menyedihkan. Banyak hal yang kurang diperhatikan dan disentuh oleh pemerintah. Masyarakat dibiarkan berpikir dan membangun daerahnya tanpa ada perhatian.
Wilayah Eban yang punya potensi malah jalannya rusak berat. Apalagi Naekake dan Aplal, tentunya lebih memprihatinkan lagi.
Di Oepoli lain lagi. Saya menyaksikan anak-anak bermain di sepanjang jalan, di depan rumah-rumah beratap daun lontar.Ada yang lupa mengurusi mereka. Memasuki daerah Oepoli, saya menyaksikan dedaunan berserakan dan pohon-pohon penuh debu.
Oepoli memang masih jauh dari perhatian pemerintah. Daerah ini punya potensi madu yang kekhasannya telah dibawa ke mana-mana. Madu Amfoang telah dikenal berkhasiat, tapi orang Amfoang tidak pernah menyadarinya.
Banyak kalangan menganggap Oepoli jauh. Tapi, apa yang tidak ada di Oepoli? Oepoli punya lahan pertanian luas. Punya potensi laut. Punya potensi alam yang luar biasa. Oepoli penuh madu, tapi tidak ada yang memperhatikan madu tersebut agar berguna bagi masyarakat.
Martinus Goa, warga Oepoli, menuturkan, potensi laut di Oepoli cukup menjanjikan, tapi banyak yang belum disentuh. Tidak ada nelayan.
Pemerintah Kabupaten Kupang hendaknya melirik dan mendekat ke Amfoang Timur dan daerah pinggiran di Pulau Timor. Sarana jalan ke sana menyedihkan. Pelayanan kesehatan, masalah pertanian belum terselesaikan di Oepoli hingga kini. Siapa yang bertanggung jawab? Masyarakat telah berusaha untuk mandiri, tapi kalau tanpa campur tangan pemerintah dan pihak lain, sia-sialah upaya tersebut. (aris79_timor@yahoo.co.id)
AKHIR Agustus 2008 saya pulang ke Pulau Timor, tempat kelahiran saya. Mengunjungi keluarga dan sanak keluarga. Saya juga mengunjungi kakak saya yang bertugas sebagai pastor paroki di Oepoli-Amfoang Timur, Kabupaten Kupang.
Ini kali pertama saya pergi ke Oepoli. Sebelum ini nama Oepoli dan Amfoang saya dengar hanya dari cerita orang.
Oepoli berada di perbatasan antara Kabupaten TTU dan Distrik Oecusi-Timor Leste. Oepoli berada di Kecamatan Amfoang Timur. Di pantai utara Pulau Timor. Oepoli juga berdekatan dengan Pulau Batek, salah satu pulau terluar.
Penduduk Oepoli sangat ramah. Kehidupan mereka setiap hari masih tradisional. Mereka kebanyakan warga eks pengungsi dari Oecusi. Mereka telah menyatu karena perkawinan dan masih memiliki hubungan darah dengan warga Oecusi, Timor Leste.
Ada apa di Oepoli? Ternyata tempat ini memiliki potensi yang luar biasa. Oepoli memiliki sejuta harapan dan perubahan bagi masyarakatnya jika potensi itu diolah dan dikembangkan.
Namun Oepoli jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kupang. Untuk ke Oepoli kita harus melewati ruas jalan yang cukup mengerikan. Ada dua jalur jalan ke sana, yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat bisa melalui Kabupaten TTU, bisa juga melalui Sulamu, Kabupaten Kupang.
Perjalanan saya ke Oepoli kali ini melalui Kabupaten TTU, melintasi Kecamatan Miomafo Barat-Eban terus ke Aplal lalu Naekake. Melewati dua kali besar yang airnya mengalir dari Gunung Mutis dan menyaksikan pemandangan gersang dan kering di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Menyaksikan dan merasakan kondisi jalan yang berlubang dan tidak beraspal. Menyaksikan anak-anak bertelanjang dada sepanjang jalan. Menyaksikan pula banyak lahan tandus dan kritis yang dijadikan kebun oleh warga.
Semua pemandangan itu sungguh menyedihkan. Banyak hal yang kurang diperhatikan dan disentuh oleh pemerintah. Masyarakat dibiarkan berpikir dan membangun daerahnya tanpa ada perhatian.
Wilayah Eban yang punya potensi malah jalannya rusak berat. Apalagi Naekake dan Aplal, tentunya lebih memprihatinkan lagi.
Di Oepoli lain lagi. Saya menyaksikan anak-anak bermain di sepanjang jalan, di depan rumah-rumah beratap daun lontar.Ada yang lupa mengurusi mereka. Memasuki daerah Oepoli, saya menyaksikan dedaunan berserakan dan pohon-pohon penuh debu.
Oepoli memang masih jauh dari perhatian pemerintah. Daerah ini punya potensi madu yang kekhasannya telah dibawa ke mana-mana. Madu Amfoang telah dikenal berkhasiat, tapi orang Amfoang tidak pernah menyadarinya.
Banyak kalangan menganggap Oepoli jauh. Tapi, apa yang tidak ada di Oepoli? Oepoli punya lahan pertanian luas. Punya potensi laut. Punya potensi alam yang luar biasa. Oepoli penuh madu, tapi tidak ada yang memperhatikan madu tersebut agar berguna bagi masyarakat.
Martinus Goa, warga Oepoli, menuturkan, potensi laut di Oepoli cukup menjanjikan, tapi banyak yang belum disentuh. Tidak ada nelayan.
Pemerintah Kabupaten Kupang hendaknya melirik dan mendekat ke Amfoang Timur dan daerah pinggiran di Pulau Timor. Sarana jalan ke sana menyedihkan. Pelayanan kesehatan, masalah pertanian belum terselesaikan di Oepoli hingga kini. Siapa yang bertanggung jawab? Masyarakat telah berusaha untuk mandiri, tapi kalau tanpa campur tangan pemerintah dan pihak lain, sia-sialah upaya tersebut. (aris79_timor@yahoo.co.id)
Hentikan Pencaloan Perekrutan PNS
Oleh Sipri Seko
KAJARI Bajawa, Semuel Say, S.H, Kamis (16/10/2008) siang, memerintahkan jaksa Robert J Lambila, S.H, dan Indi Premadasa, S.H, menangkap Petrus Kanisius Noka, oknum PNS di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO), Kabupaten Ngada. Noka ditangkap jaksa karena terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pendataan tenaga kontrak pada Dinas PPO Ngada yang diusulkan masuk dalam data base BKN tahun 2007.
Menjadi pegawai negeri di NTT masih menjadi sesuatu yang sangat membanggakan. Banyak orang merasa belum memiliki pekerjaan tetap kalau pekerjaan yang sedang digelutinya bukan PNS. Tak heran kalau mereka kemudian akan menggunakan berbagai cara agar bisa diluluskan sebagai PNS.
Mereka tak peduli, apakah nanti saat menjadi PNS pekerjaannya hanya membuat amplop, mengantar surat, kliping koran atau bahkan tidak ada kerja sama sekali. Yang penting bisa memakai seragam PNS dia akan bangga sekali. Untuk mengejar impian ini, berapa pun duit, sapi, kerbau bahkan tanah rela mereka berikan kepada mereka yang mengaku bisa mengurus proses pengangkatannya.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu di lingkup pemerintahan untuk membuka 'lahan' pendapatan baru. Tak peduli kalau orang yang diurusnya memiliki kualifikasi atau tidak. Asalkan mau menyetor atau memberikan apa yang dimintanya, maka proses lainnya akan mudah dilakukan.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini telah lama dilakukan. Kasus PNS yang membuat Sumba Barat 'berdarah' di akhir tahun 1990-an masih membekas. Ada cap darah di spanduk dari masyarakat Lembata yang menolak penentuan kelulusan PNS tahun 2000. Ini beda dengan yang terjadi di TTS, dimana para pendemo yang protes penentuan kelulusan testing PNS, akan lulus tahun depan bila ikut test, dan masih banyak kasus lainnya. Pemicunya sama, yakni indikasi KKN, meluluskan orang dalam, menggunakan calo dan lainnya.
Perbuatan-perbuatan korup seperti ini makin menjadi-jadi ketika ada kebijakan dari menteri aparatur negara (Menpan) agar semua pegawai honor daerah (Honda) dimasukkan dalam data base. Secara bergilir, para tenaga honda ini akan diluluskan. Dari sisi penghargaan atas prestasi yang sudah dilakukan dan pengalaman kerja, kebijakan ini sangat bagus. Namun, yang menjadi persoalan adalah pola penentuan pegawai honda yang dilakukan oknum-oknum pejabat berwenang.
Semua anggota keluarga dimasukkan dalam data base. Surat keputusan (SK) penetapan sebagai pegawai honda dibuat mundur untuk memenuhi syarat masuk dalam daftar data base. Di sini 'permainan' makin korup ketika ada di antara pejabat ini yang meminta sejumlah penghargaan atas 'prestasinya' memasukkan seseorang dalam data base. Demi sesuap nasi, demi pakaian seragam, meski tak punya kualifikasi, mereka yang diminta akan menyanggupinya, meski berutang dengan janji akan dikembalikan kalau sudah jadi PNS.
Coba bandingkan kondisi ini dengan penghargaan atas prestasi seorang atlet atau pelajar yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional, bahkan internasional. Saat mereka diusulkan untuk menjadi PNS, prosesnya sangat rumit. Bahkan ada atlet yang nekat pindah ke daerah lain hanya karena usulannya menjadi PNS dipersulit.
Kalau sudah demikian, maka sangatlah jelas bahwa salah satu faktor penghambat laju pembangunan adalah kualifikasi PNS yang masih bermasalah. Mereka menjadi PNS lewat proses yang korup. Tak heran kalau kemudian, instansi-instansi pemerintah pun menjadi lahan korupsi yang paling subur.
Langkah kejaksaan Bajawa untuk menangkap dan menahan Petrus Kanisius Noka harus didukung. Kejaksaan di daerah lainnya juga harus berani melakukan hal yang sama. Sebagai lembaga peradilan, kejaksaan harus benar-benar menyebarkan rasa keadilan kepada semua lapisan masyarakat. Hentikan praktek-praktek seperti ini kalau tidak ingin NTT masih tetap terpuruk, meski usianya sebentar lagi akan menjadi 50 tahun.
Pemerintah atau pengambil kebijakan juga harus tegas. Jangan langsung mempercayai laporan bawahan yang biasanya berlagak 'lebih hebat' dari seorang pimpinan, tapi harus ikut mengecek ke lapangan. KKN harus diberantas mulai dari akarnya. Jangan harap KKN di lingkup pemerintahan akan berakhir kalau proses perekrutan pegawainya sudah diawali dengan KKN.
Ingat, sekali melakukan KKN, maka nama baik akan menjadi rusak. Pertanggungjawabkan semua perbuatan kepada anak, istri, Tuhan dan masyarakat. PNS harus menjadi teladan yang baik. Penyesalan ketika sudah berada di balik jeruji besi tidak akan berarti. *
KAJARI Bajawa, Semuel Say, S.H, Kamis (16/10/2008) siang, memerintahkan jaksa Robert J Lambila, S.H, dan Indi Premadasa, S.H, menangkap Petrus Kanisius Noka, oknum PNS di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO), Kabupaten Ngada. Noka ditangkap jaksa karena terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pendataan tenaga kontrak pada Dinas PPO Ngada yang diusulkan masuk dalam data base BKN tahun 2007.
Menjadi pegawai negeri di NTT masih menjadi sesuatu yang sangat membanggakan. Banyak orang merasa belum memiliki pekerjaan tetap kalau pekerjaan yang sedang digelutinya bukan PNS. Tak heran kalau mereka kemudian akan menggunakan berbagai cara agar bisa diluluskan sebagai PNS.
Mereka tak peduli, apakah nanti saat menjadi PNS pekerjaannya hanya membuat amplop, mengantar surat, kliping koran atau bahkan tidak ada kerja sama sekali. Yang penting bisa memakai seragam PNS dia akan bangga sekali. Untuk mengejar impian ini, berapa pun duit, sapi, kerbau bahkan tanah rela mereka berikan kepada mereka yang mengaku bisa mengurus proses pengangkatannya.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu di lingkup pemerintahan untuk membuka 'lahan' pendapatan baru. Tak peduli kalau orang yang diurusnya memiliki kualifikasi atau tidak. Asalkan mau menyetor atau memberikan apa yang dimintanya, maka proses lainnya akan mudah dilakukan.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini telah lama dilakukan. Kasus PNS yang membuat Sumba Barat 'berdarah' di akhir tahun 1990-an masih membekas. Ada cap darah di spanduk dari masyarakat Lembata yang menolak penentuan kelulusan PNS tahun 2000. Ini beda dengan yang terjadi di TTS, dimana para pendemo yang protes penentuan kelulusan testing PNS, akan lulus tahun depan bila ikut test, dan masih banyak kasus lainnya. Pemicunya sama, yakni indikasi KKN, meluluskan orang dalam, menggunakan calo dan lainnya.
Perbuatan-perbuatan korup seperti ini makin menjadi-jadi ketika ada kebijakan dari menteri aparatur negara (Menpan) agar semua pegawai honor daerah (Honda) dimasukkan dalam data base. Secara bergilir, para tenaga honda ini akan diluluskan. Dari sisi penghargaan atas prestasi yang sudah dilakukan dan pengalaman kerja, kebijakan ini sangat bagus. Namun, yang menjadi persoalan adalah pola penentuan pegawai honda yang dilakukan oknum-oknum pejabat berwenang.
Semua anggota keluarga dimasukkan dalam data base. Surat keputusan (SK) penetapan sebagai pegawai honda dibuat mundur untuk memenuhi syarat masuk dalam daftar data base. Di sini 'permainan' makin korup ketika ada di antara pejabat ini yang meminta sejumlah penghargaan atas 'prestasinya' memasukkan seseorang dalam data base. Demi sesuap nasi, demi pakaian seragam, meski tak punya kualifikasi, mereka yang diminta akan menyanggupinya, meski berutang dengan janji akan dikembalikan kalau sudah jadi PNS.
Coba bandingkan kondisi ini dengan penghargaan atas prestasi seorang atlet atau pelajar yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional, bahkan internasional. Saat mereka diusulkan untuk menjadi PNS, prosesnya sangat rumit. Bahkan ada atlet yang nekat pindah ke daerah lain hanya karena usulannya menjadi PNS dipersulit.
Kalau sudah demikian, maka sangatlah jelas bahwa salah satu faktor penghambat laju pembangunan adalah kualifikasi PNS yang masih bermasalah. Mereka menjadi PNS lewat proses yang korup. Tak heran kalau kemudian, instansi-instansi pemerintah pun menjadi lahan korupsi yang paling subur.
Langkah kejaksaan Bajawa untuk menangkap dan menahan Petrus Kanisius Noka harus didukung. Kejaksaan di daerah lainnya juga harus berani melakukan hal yang sama. Sebagai lembaga peradilan, kejaksaan harus benar-benar menyebarkan rasa keadilan kepada semua lapisan masyarakat. Hentikan praktek-praktek seperti ini kalau tidak ingin NTT masih tetap terpuruk, meski usianya sebentar lagi akan menjadi 50 tahun.
Pemerintah atau pengambil kebijakan juga harus tegas. Jangan langsung mempercayai laporan bawahan yang biasanya berlagak 'lebih hebat' dari seorang pimpinan, tapi harus ikut mengecek ke lapangan. KKN harus diberantas mulai dari akarnya. Jangan harap KKN di lingkup pemerintahan akan berakhir kalau proses perekrutan pegawainya sudah diawali dengan KKN.
Ingat, sekali melakukan KKN, maka nama baik akan menjadi rusak. Pertanggungjawabkan semua perbuatan kepada anak, istri, Tuhan dan masyarakat. PNS harus menjadi teladan yang baik. Penyesalan ketika sudah berada di balik jeruji besi tidak akan berarti. *
Jumat, 17 Oktober 2008
Perilaku, Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas
HAMPIR di semua sudut Kota Kupang dan sekitarnya, melihat tumpukan batu dan nyala lilin di tepi jalan adalah hal biasa. Ini memang sudah menjadi kebiasaan warga untuk memberi tanda bahwa di tempat itu baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa orang. Di tempat kecelakaan batu ditumpukkan, kemudian saban petang keluarga dan kerabat datang menyalakan lilin.
Begitu banyaknya tumpukan batu di jalan-jalan dalam Kota Kupang menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan yang terjadi cukup tinggi. Tanda ini belum termasuk mereka yang celaka, namun hanya menderita luka-luka atau patah tulang. Dari hasil identifikasi terhadap korban yang meninggal diketahui bahwa umumnya terjadi karena benturan keras di kepala. Pengendara pun diwajibkan untuk memakai helm standard.
Harian ini pada edisi, Selasa (30/9/2008), memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas di Jalan Timor Raya, dekat Kantor Desa Oebelo -- lebih kurang 30 km arah timur Kota Kupang. Dua sepeda motor yang masing-masing dinaiki tiga orang saling bertabrakan, membuat dua pengendaranya langsung meninggal, sedangkan empat lainnya patah tulang dan luka-luka. Penyebabnya selain kondisi jalan yang bergelombang, juga karena keenam orang tersebut dalam keadaan mabuk minuman keras sepulang dari pesta pernikahan.
Melihat tingkat kecelakaan yang cenderung naik, pemahaman aturan berlalu lintas dari para pengendara dipertanyakan. Undang Undang No. 14 Tahun 1992 yang memuat berbagai regulasi tentang aturan berlalulintas meski berulangkali disosialisasikan, namun belum dilaksanakan sepenuhnya. Memang benar permukaan ruas jalan Timor Raya, khususnya dari Oebelo hingga Baubau --dekat Polres Kupang-- pecah-pecah dan bergelombang. Namun itu tidak harus menjadi biang keladi penyebab kecelakaan.
Secara umum, permukaan ruas jalan-jalan utama dalam Kota Kupang sudah cukup bagus. Namun yang masih perlu dilengkapi adalah rambu atau tanda-tanda jalan. Pengakuan warga Oebelo bahwa di lokasi yang sama sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan sepeda motor perlu disikapi pemerintah. Buatlah papan peringatan bahwa di lokasi tersebut jalannya bergelombang atau pecah-pecah.
Namun sebenarnya ini bukan masalah, kalau para pengendara taat aturan. Aturan berlalulintas di NTT memang aneh untuk diperdebatkan, terutama untuk pengendara sepeda motor. Kita contohkan saja sikap pengendara yang dengan sengaja dan tahu tidak menggunakan helm standar, namun akan protes bila ditegur polisi lalu lintas. Ada lagi yang lucu! Pada hari kerja, polisi akan melakukan tilang terhadap semua kelengkapan pengendara dan kendaraan, namun ini tidak terjadi bagi mereka yang hendak ke rumah ibadah --gereja, pura atau masjid. Ada kesan bahwa kalau ke gereja, masjid atau pura tidak akan celaka sehingga pengendara dibiarkan bebas.
Dari sini, tampak jelas bahwa ketegasan polisi dalam menegakkan aturan masih dipertanyakan. Lihat saja kejadian beberapa waktu lalu ketika polisi lalu lintas menahan keluarga seorang perwira Polresta Kupang di Jalan El Tari Kupang. Perwira tersebut membubarkan polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugas hanya karena menilang keluarganya. Ini belum termasuk perilaku oknum aparat satuan lalu lintas yang sepeda motornya juga tidak layak jalan. Atau ada juga yang karena markasnya di bundaran jalan, maka dengan seenaknya menerobos ke luar meski sedang lampu merah.
Di sini jelas bahwa meningkat atau menurunnya kecelakaan lalu lintas tergantung pada perilaku pengendara dan aparat kepolisian. Pengendara harus sadar bahwa satu kesalahan kecil yang dibuat, maka nyawa akan melayang. Memang tidak 100 persen benar bahwa kalau memakai helm standar, tidak akan celaka. Tapi dengan menaati aturan, minimal nyawa masih bisa diselamatkan. Yang masih menjadi persoalan adalah mengemudikan sepeda motor dalam keadaan mabuk minuman keras (miras).
Sarannya adalah agar polisi lalu lintas juga harus tegas. Polisi tegas, polisi juga harus memberikan contoh. Jangan pandang bulu, keluarga, rekan, pejabat, bukan pejabat, hendak ke rumah ibadat, pawai, dan lainnya, harus tetap ditindak sesuai aturan. Kalau memang tertulis dalam UU No.14 tahun 1992, harus membiarkan yang ke rumah ibadah tanpa kelengkapan, jalanilah itu. Tapi, kalau tidak ada, harus ditindak.
Kecelakaan yang merenggut nyawa bisa diminimalisir kalau aturan ditatati. Aturan dibuat bukan untuk menekan atau menakut-nakuti orang. Jalan raya hanya fasilitas untuk mengantar kita cepat sampai ke tujuan, jadi dia bukan arena untuk balapan. Ketika kita disiplin menaati dan menjalankan aturan, maka batu dan lilin tidak lagi akan tampak di tepi jalanan. (sipri seko)
Begitu banyaknya tumpukan batu di jalan-jalan dalam Kota Kupang menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan yang terjadi cukup tinggi. Tanda ini belum termasuk mereka yang celaka, namun hanya menderita luka-luka atau patah tulang. Dari hasil identifikasi terhadap korban yang meninggal diketahui bahwa umumnya terjadi karena benturan keras di kepala. Pengendara pun diwajibkan untuk memakai helm standard.
Harian ini pada edisi, Selasa (30/9/2008), memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas di Jalan Timor Raya, dekat Kantor Desa Oebelo -- lebih kurang 30 km arah timur Kota Kupang. Dua sepeda motor yang masing-masing dinaiki tiga orang saling bertabrakan, membuat dua pengendaranya langsung meninggal, sedangkan empat lainnya patah tulang dan luka-luka. Penyebabnya selain kondisi jalan yang bergelombang, juga karena keenam orang tersebut dalam keadaan mabuk minuman keras sepulang dari pesta pernikahan.
Melihat tingkat kecelakaan yang cenderung naik, pemahaman aturan berlalu lintas dari para pengendara dipertanyakan. Undang Undang No. 14 Tahun 1992 yang memuat berbagai regulasi tentang aturan berlalulintas meski berulangkali disosialisasikan, namun belum dilaksanakan sepenuhnya. Memang benar permukaan ruas jalan Timor Raya, khususnya dari Oebelo hingga Baubau --dekat Polres Kupang-- pecah-pecah dan bergelombang. Namun itu tidak harus menjadi biang keladi penyebab kecelakaan.
Secara umum, permukaan ruas jalan-jalan utama dalam Kota Kupang sudah cukup bagus. Namun yang masih perlu dilengkapi adalah rambu atau tanda-tanda jalan. Pengakuan warga Oebelo bahwa di lokasi yang sama sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan sepeda motor perlu disikapi pemerintah. Buatlah papan peringatan bahwa di lokasi tersebut jalannya bergelombang atau pecah-pecah.
Namun sebenarnya ini bukan masalah, kalau para pengendara taat aturan. Aturan berlalulintas di NTT memang aneh untuk diperdebatkan, terutama untuk pengendara sepeda motor. Kita contohkan saja sikap pengendara yang dengan sengaja dan tahu tidak menggunakan helm standar, namun akan protes bila ditegur polisi lalu lintas. Ada lagi yang lucu! Pada hari kerja, polisi akan melakukan tilang terhadap semua kelengkapan pengendara dan kendaraan, namun ini tidak terjadi bagi mereka yang hendak ke rumah ibadah --gereja, pura atau masjid. Ada kesan bahwa kalau ke gereja, masjid atau pura tidak akan celaka sehingga pengendara dibiarkan bebas.
Dari sini, tampak jelas bahwa ketegasan polisi dalam menegakkan aturan masih dipertanyakan. Lihat saja kejadian beberapa waktu lalu ketika polisi lalu lintas menahan keluarga seorang perwira Polresta Kupang di Jalan El Tari Kupang. Perwira tersebut membubarkan polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugas hanya karena menilang keluarganya. Ini belum termasuk perilaku oknum aparat satuan lalu lintas yang sepeda motornya juga tidak layak jalan. Atau ada juga yang karena markasnya di bundaran jalan, maka dengan seenaknya menerobos ke luar meski sedang lampu merah.
Di sini jelas bahwa meningkat atau menurunnya kecelakaan lalu lintas tergantung pada perilaku pengendara dan aparat kepolisian. Pengendara harus sadar bahwa satu kesalahan kecil yang dibuat, maka nyawa akan melayang. Memang tidak 100 persen benar bahwa kalau memakai helm standar, tidak akan celaka. Tapi dengan menaati aturan, minimal nyawa masih bisa diselamatkan. Yang masih menjadi persoalan adalah mengemudikan sepeda motor dalam keadaan mabuk minuman keras (miras).
Sarannya adalah agar polisi lalu lintas juga harus tegas. Polisi tegas, polisi juga harus memberikan contoh. Jangan pandang bulu, keluarga, rekan, pejabat, bukan pejabat, hendak ke rumah ibadat, pawai, dan lainnya, harus tetap ditindak sesuai aturan. Kalau memang tertulis dalam UU No.14 tahun 1992, harus membiarkan yang ke rumah ibadah tanpa kelengkapan, jalanilah itu. Tapi, kalau tidak ada, harus ditindak.
Kecelakaan yang merenggut nyawa bisa diminimalisir kalau aturan ditatati. Aturan dibuat bukan untuk menekan atau menakut-nakuti orang. Jalan raya hanya fasilitas untuk mengantar kita cepat sampai ke tujuan, jadi dia bukan arena untuk balapan. Ketika kita disiplin menaati dan menjalankan aturan, maka batu dan lilin tidak lagi akan tampak di tepi jalanan. (sipri seko)
Rabu, 15 Oktober 2008
Bis Kayu
Oleh Dion DB Putra
SEBELAS tahun lalu sentilan itu sungguh menusuk. Membuat malu. Menggaruk- garuk gengsi remajaku yang masih segunung. Tetapi di Bolok pekan lalu, beta tak sanggup lagi berdalih. Ada "neraka" di beranda rumah Flobamora.
"Kamu tahu letak neraka? Neraka adalah menumpang 'bis kayu' di Flores," kata seorang misionaris asal Spanyol di salah satu tempat di Timor Timur medio Juli 1997. Sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor itu sungguh-sungguh. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores. "Di dalam bis kayu, saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar," kata sang misionaris.
Dan, 'bis kayu' masih ada di Flores. Jumlah tak sebanyak tahun 1997, tetapi keberadaannya belum punah. Dia masih menjadi sarana transportasi andalan yang menerobos jalan desa dan gunung. Masuk sampai ke udik. Mudah ditemukan di pasar mingguan seantero Pulau Flores. Sejatinya bis kayu adalah truk. Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk dari papan dan beratap. Demi mengatasi hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisinya.
Kata "neraka" kembali mengganggu saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok pekan lalu. "Saya menemukan neraka di geladak Umakalada," kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala.
Dia hendak pulang ke Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti. "Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka," katanya sambil tertawa.
Memang tidak mengherankan. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita. Kapal di NTT Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas. Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.
Markus, kawan beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat empat tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. "Gengsi eja. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa," katanya.
Bukankah banyak orang seperti Markus? Setelah bertitel "pejabat negara", nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber-AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. (email: dionbata@poskupang.co.id)
SEBELAS tahun lalu sentilan itu sungguh menusuk. Membuat malu. Menggaruk- garuk gengsi remajaku yang masih segunung. Tetapi di Bolok pekan lalu, beta tak sanggup lagi berdalih. Ada "neraka" di beranda rumah Flobamora.
"Kamu tahu letak neraka? Neraka adalah menumpang 'bis kayu' di Flores," kata seorang misionaris asal Spanyol di salah satu tempat di Timor Timur medio Juli 1997. Sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor itu sungguh-sungguh. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores. "Di dalam bis kayu, saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar," kata sang misionaris.
Dan, 'bis kayu' masih ada di Flores. Jumlah tak sebanyak tahun 1997, tetapi keberadaannya belum punah. Dia masih menjadi sarana transportasi andalan yang menerobos jalan desa dan gunung. Masuk sampai ke udik. Mudah ditemukan di pasar mingguan seantero Pulau Flores. Sejatinya bis kayu adalah truk. Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk dari papan dan beratap. Demi mengatasi hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisinya.
Kata "neraka" kembali mengganggu saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok pekan lalu. "Saya menemukan neraka di geladak Umakalada," kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala.
Dia hendak pulang ke Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti. "Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka," katanya sambil tertawa.
Memang tidak mengherankan. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita. Kapal di NTT Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas. Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.
Markus, kawan beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat empat tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. "Gengsi eja. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa," katanya.
Bukankah banyak orang seperti Markus? Setelah bertitel "pejabat negara", nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber-AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Selasa, 14 Oktober 2008
Mengakhiri Rawan Pangan
Oleh Alfons Nedabang
HASIL analisis Badan Bimas Ketahanan Pangan (B2KP) Propinsi NTT tentang risiko rawan pangan di NTT-- keadaan sampai dengan 13 Agustus 2008--, menarik dikemukakan untuk disimak.
Terdapat tujuh kabupaten yang mengalami tingkat risiko rawan pangan tinggi, yaitu Belu, Lembata, Flores Timur, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao dan Sumba Barat Daya. Sebanyak 101 desa risiko rawan pangan, dengan 10.406 kepala keluarga (KK) atau 42.953. Jumlah desa yang memiliki tingkat risiko rawan pangan tinggi terbanyak adalah Sumba Timur dengan 22 desa.
Ada sembilan kabupaten, yaitu TTU, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Nagekeo dan Sumba Barat Daya yang memiliki tingkat risiko rawan pangan sedang. Jumlah desa risiko rawan pangan sebanyak 387 desa, dengan 31.128 KK atau 108.516 jiwa. Yang terbanyak memiliki desa dengan tingkat risiko rawan pangan adalah Flores Timur dengan 145 desa.
Sedangkan yang memiliki tingkat risiko ringan ada 11 kabupaten, yaitu Alor, Belu, TTU, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Nagekeo dan Sumba Barat Daya. Jumlah desa, kepala keluarga dan jiwa risiko rawan pangan, masing-masing adalah 380 desa, 17.662 KK dan 67.272 jiwa. Kabupaten Alor mempunyai jumlah desa terbanyak yang memiliki tingkat risiko rawan pangan ringan yakni 123 desa.
Analisa berdasarkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ini dilakukan dengan melihat kerusakan komoditi pertanian akibat bencana alam, khususnya komoditi tanaman padi, jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Indikatornya adalah persentase luas tanaman dari luar rencana tanam, persentase luas panen dari luas tanam, persentase luas puso/kerusakan dan persentase penurunan produktivitas.
Hasil analisis ini memang masih bisa diperdebatkan. Namun terlepas dari itu, data ini memberi gambaran tentang kondisi pangan masyarakat. Bahwa saat ini ada rakyat di beberapa daerah sedang kesulitan makanan.
Rawan pangan bukan baru kali ini terjadi. Pada tahun 1960-an, rawan pangan meletus di Sikka. Ratusan warga meninggal. Tahun 2005 ada 190.626 KK atau 828.712 jiwa menderita ketiadaan pangan, tersebar di 1.331 desa yang ada di 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2006 dan 2007 juga terjadi hal yang sama, dengan jumlah daerah dan penderita bervariasi.
Rawan pangan juga disebabkan kekeringan. Ada daerah yang mengalami hampir setiap tahun, cenderung lebih awal dari biasanya yaitu pada bulan Maret-April. Kondisi lebih parah selama Mei sampai Oktober.
Yang menarik, faktor kekeringan kadang dijadikan sebagai alasan utama pihak- pihak tertentu, termasuk pemerintah, untuk berlindung jika ada kasus kelaparan. Padahal kita tahu bahwa secara umum memang NTT adalah daerah yang beriklim agak kering dengan total rata-rata curah hujan 800-1.000 milimeter per tahun. Maka, semestinya kekeringan bukan sebagai alasan utama yang dibesar-besarkan.
Rawan pangan yang terus berlanjut, membuat NTT mendapat stigma propinsi rawan pangan. Atas nama kemanusiaan, banyak bantuan digelontorkan. Sadar atau tidak, kita sedang bergantung pada daerah dan orang lain, termasuk dalam hal makanan.
Beberapa jenis komoditi pangan, seperti beras, jagung, kacang-kacangan dan telur ayam hasil produksi lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk NTT. Akibatnya, jenis-jenis pangan itu dipasok dari daerah lain.
Data yang diperoleh dari B2KP NTT diketahui, pada Agustus 2008, beras yang masuk ke NTT sebanyak 15.631 ton. Jumlah ini membentuk stok beras selama bulan Agustus sebanyak 201.041 ton. Beras yang bersumber dari produksi lokal hanya 2.297 ton untuk stok pangan bulan itu. Data ini juga memberi gambaran bahwa tingkat konsumsi beras dalam sebulan oleh masyarakat NTT tergolong tinggi. Kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok, sementara produksi beras lokal sangat terbatas.
Di bulan Agustus juga, jagung yang dibawah masuk ke NTT sebanyak 7 ton, kacang-kacangan 26 ton dan telur ayam 16 ton. Jenis-jenis komoditi untuk membentuk stok pangan pokok ini diantarpulaukan dari Propinsi Jawa Timur, NTB, Sulawesi dan Bali. Sumber pemasukan terbesar dari Jawa Timur, menyusul Sulawesi, Bali dan NTB. Pangan hasil antarpulau tidak langsung ke masyarakat tapi dikuasai oleh distributor.
Kondisi ini seharusnya membuat kita malu. Mengapa? Karena NTT adalah daerah pertanian. Dari total luas wilayah NTT 47.349,9 km, potensi lahan basahnya 127.271 hektare (ha), sementara lahan kering 1.528.306 ha. Potensi dimiliki daerah ini di sektor peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan dan lain-lain.
Dulu, beberapa daerah di NTT terkenal sebagai daerah penghasil beras untuk menyanggah kebutuhan daerah sendiri dan sekitarnya. Sebut saja Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba.
Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Saking prospeknya, Soeharto menjadikan Timor sebagai gudang ternak. Daerah Flores juga terkenal sebagai penghasil kelapa. Selain membuat kopra, kelapa dimasak untuk diambilkan minyaknya. Semua kejayaan itu, kini hanya tinggal cerita. Sekarang terbalik, mau makan daging ayam kita harus beli daging ayam yang didatangkan dari Surabaya, minyak kelapa berganti bimoli dan lain sebagainya. Jagung diganti dengan mie instan.
Sumber daya manusia kita juga tidak kalah jika dibandingkan dengan daerah lain. Sekitar 80 persen lebih warga bekerja di sektor pertanian. Yang berlatar belakang pendidikan pertanian juga banyak. Ada 39 perguruan tinggi negeri dan swasta di NTT.
Beberapa di antaranya memiliki fakultas pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan/perkebunan. Universitas Nusa Cendana (Undana), misalnya, pada dies natalis ke-46, barusan, melepas 582 wisudawan, 67 orangnya adalah sarjana pertanian. Kita berasumsi, jika sekali wisuda 67 orang, setahun dua kali wisuda, maka pada tahun 2008 Undana mencetak 134 orang sarjana pertanian. Berarti selama 46 tahun Undana telah mencetak 6.164 sarjana pertanian. Jumlah ini tidak termasuk sarjana pertanian dari lembaga pendidikan tinggi lainnya, dalam dan luar NTT. Juga belum termasuk sarjana lainnya. Daerah ini juga telah dipimpin delapan kepala daerah.
Herannya, selama 50 tahun kita bermasalah dalam hal pangan. Semua kita tahu bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar dan menjadi hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Dengan adanya pangan, kita dapat makan. Dengan makan kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat. Sebaliknya kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.
Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban menjamin agar ketersediaan bahan pangan tersebut dapat terjangkau oleh setiap anggota masyarakat. Untuk mengatasi kerawanan pangan di NTT harus dilakukan program yang sistematis guna menghindarkan terjadinya kemungkinan kelaparan walaupun kekeringan akan selalu datang pada musimnya. Untuk itu, diperlukan program pembangunan pertanian berkelanjutan untuk daerah kering.
Sektor pertanian harus mendapat perhatian lebih karena dia sumber makanan. Potensi pangan lokal kita terkandung di sektor primer ini. Oleh karena itu, kita mesti fokus sehingga ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan. Makanya, sistem pertanian yang dibangun harus berkelanjutan yang bersifat khas setempat. Perlu ada program yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan sarana produksi, pengadaan modal, pelatihan, penyuluhan, dan pembangunan sistem monitoring dan evaluasi yang baik.
Dengan begitu, sangat mungkin daerah seperti Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba, sebagai penghasil beras untuk menyuplai kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya.
Timor dan Sumba dijadikan sebagai penghasil ternak sehingga kita tidak beli daging yang didatangkan dari Jawa. Kita mengembalikan Flores sebagai penghasil kelapa sehingga tidak lagi membeli minyak bimoli tapi mencintai produk lokal minyak kelapa.
Matzui Kashisa, ahli kemandirian lokal dari Jepang, mengajarkan kepada kita untuk membangun mulai dari makan. "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan makanan yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui. **
HASIL analisis Badan Bimas Ketahanan Pangan (B2KP) Propinsi NTT tentang risiko rawan pangan di NTT-- keadaan sampai dengan 13 Agustus 2008--, menarik dikemukakan untuk disimak.
Terdapat tujuh kabupaten yang mengalami tingkat risiko rawan pangan tinggi, yaitu Belu, Lembata, Flores Timur, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao dan Sumba Barat Daya. Sebanyak 101 desa risiko rawan pangan, dengan 10.406 kepala keluarga (KK) atau 42.953. Jumlah desa yang memiliki tingkat risiko rawan pangan tinggi terbanyak adalah Sumba Timur dengan 22 desa.
Ada sembilan kabupaten, yaitu TTU, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Nagekeo dan Sumba Barat Daya yang memiliki tingkat risiko rawan pangan sedang. Jumlah desa risiko rawan pangan sebanyak 387 desa, dengan 31.128 KK atau 108.516 jiwa. Yang terbanyak memiliki desa dengan tingkat risiko rawan pangan adalah Flores Timur dengan 145 desa.
Sedangkan yang memiliki tingkat risiko ringan ada 11 kabupaten, yaitu Alor, Belu, TTU, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Nagekeo dan Sumba Barat Daya. Jumlah desa, kepala keluarga dan jiwa risiko rawan pangan, masing-masing adalah 380 desa, 17.662 KK dan 67.272 jiwa. Kabupaten Alor mempunyai jumlah desa terbanyak yang memiliki tingkat risiko rawan pangan ringan yakni 123 desa.
Analisa berdasarkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ini dilakukan dengan melihat kerusakan komoditi pertanian akibat bencana alam, khususnya komoditi tanaman padi, jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Indikatornya adalah persentase luas tanaman dari luar rencana tanam, persentase luas panen dari luas tanam, persentase luas puso/kerusakan dan persentase penurunan produktivitas.
Hasil analisis ini memang masih bisa diperdebatkan. Namun terlepas dari itu, data ini memberi gambaran tentang kondisi pangan masyarakat. Bahwa saat ini ada rakyat di beberapa daerah sedang kesulitan makanan.
Rawan pangan bukan baru kali ini terjadi. Pada tahun 1960-an, rawan pangan meletus di Sikka. Ratusan warga meninggal. Tahun 2005 ada 190.626 KK atau 828.712 jiwa menderita ketiadaan pangan, tersebar di 1.331 desa yang ada di 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2006 dan 2007 juga terjadi hal yang sama, dengan jumlah daerah dan penderita bervariasi.
Rawan pangan juga disebabkan kekeringan. Ada daerah yang mengalami hampir setiap tahun, cenderung lebih awal dari biasanya yaitu pada bulan Maret-April. Kondisi lebih parah selama Mei sampai Oktober.
Yang menarik, faktor kekeringan kadang dijadikan sebagai alasan utama pihak- pihak tertentu, termasuk pemerintah, untuk berlindung jika ada kasus kelaparan. Padahal kita tahu bahwa secara umum memang NTT adalah daerah yang beriklim agak kering dengan total rata-rata curah hujan 800-1.000 milimeter per tahun. Maka, semestinya kekeringan bukan sebagai alasan utama yang dibesar-besarkan.
Rawan pangan yang terus berlanjut, membuat NTT mendapat stigma propinsi rawan pangan. Atas nama kemanusiaan, banyak bantuan digelontorkan. Sadar atau tidak, kita sedang bergantung pada daerah dan orang lain, termasuk dalam hal makanan.
Beberapa jenis komoditi pangan, seperti beras, jagung, kacang-kacangan dan telur ayam hasil produksi lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk NTT. Akibatnya, jenis-jenis pangan itu dipasok dari daerah lain.
Data yang diperoleh dari B2KP NTT diketahui, pada Agustus 2008, beras yang masuk ke NTT sebanyak 15.631 ton. Jumlah ini membentuk stok beras selama bulan Agustus sebanyak 201.041 ton. Beras yang bersumber dari produksi lokal hanya 2.297 ton untuk stok pangan bulan itu. Data ini juga memberi gambaran bahwa tingkat konsumsi beras dalam sebulan oleh masyarakat NTT tergolong tinggi. Kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok, sementara produksi beras lokal sangat terbatas.
Di bulan Agustus juga, jagung yang dibawah masuk ke NTT sebanyak 7 ton, kacang-kacangan 26 ton dan telur ayam 16 ton. Jenis-jenis komoditi untuk membentuk stok pangan pokok ini diantarpulaukan dari Propinsi Jawa Timur, NTB, Sulawesi dan Bali. Sumber pemasukan terbesar dari Jawa Timur, menyusul Sulawesi, Bali dan NTB. Pangan hasil antarpulau tidak langsung ke masyarakat tapi dikuasai oleh distributor.
Kondisi ini seharusnya membuat kita malu. Mengapa? Karena NTT adalah daerah pertanian. Dari total luas wilayah NTT 47.349,9 km, potensi lahan basahnya 127.271 hektare (ha), sementara lahan kering 1.528.306 ha. Potensi dimiliki daerah ini di sektor peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan dan lain-lain.
Dulu, beberapa daerah di NTT terkenal sebagai daerah penghasil beras untuk menyanggah kebutuhan daerah sendiri dan sekitarnya. Sebut saja Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba.
Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Saking prospeknya, Soeharto menjadikan Timor sebagai gudang ternak. Daerah Flores juga terkenal sebagai penghasil kelapa. Selain membuat kopra, kelapa dimasak untuk diambilkan minyaknya. Semua kejayaan itu, kini hanya tinggal cerita. Sekarang terbalik, mau makan daging ayam kita harus beli daging ayam yang didatangkan dari Surabaya, minyak kelapa berganti bimoli dan lain sebagainya. Jagung diganti dengan mie instan.
Sumber daya manusia kita juga tidak kalah jika dibandingkan dengan daerah lain. Sekitar 80 persen lebih warga bekerja di sektor pertanian. Yang berlatar belakang pendidikan pertanian juga banyak. Ada 39 perguruan tinggi negeri dan swasta di NTT.
Beberapa di antaranya memiliki fakultas pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan/perkebunan. Universitas Nusa Cendana (Undana), misalnya, pada dies natalis ke-46, barusan, melepas 582 wisudawan, 67 orangnya adalah sarjana pertanian. Kita berasumsi, jika sekali wisuda 67 orang, setahun dua kali wisuda, maka pada tahun 2008 Undana mencetak 134 orang sarjana pertanian. Berarti selama 46 tahun Undana telah mencetak 6.164 sarjana pertanian. Jumlah ini tidak termasuk sarjana pertanian dari lembaga pendidikan tinggi lainnya, dalam dan luar NTT. Juga belum termasuk sarjana lainnya. Daerah ini juga telah dipimpin delapan kepala daerah.
Herannya, selama 50 tahun kita bermasalah dalam hal pangan. Semua kita tahu bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar dan menjadi hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Dengan adanya pangan, kita dapat makan. Dengan makan kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat. Sebaliknya kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.
Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban menjamin agar ketersediaan bahan pangan tersebut dapat terjangkau oleh setiap anggota masyarakat. Untuk mengatasi kerawanan pangan di NTT harus dilakukan program yang sistematis guna menghindarkan terjadinya kemungkinan kelaparan walaupun kekeringan akan selalu datang pada musimnya. Untuk itu, diperlukan program pembangunan pertanian berkelanjutan untuk daerah kering.
Sektor pertanian harus mendapat perhatian lebih karena dia sumber makanan. Potensi pangan lokal kita terkandung di sektor primer ini. Oleh karena itu, kita mesti fokus sehingga ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan. Makanya, sistem pertanian yang dibangun harus berkelanjutan yang bersifat khas setempat. Perlu ada program yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan sarana produksi, pengadaan modal, pelatihan, penyuluhan, dan pembangunan sistem monitoring dan evaluasi yang baik.
Dengan begitu, sangat mungkin daerah seperti Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba, sebagai penghasil beras untuk menyuplai kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya.
Timor dan Sumba dijadikan sebagai penghasil ternak sehingga kita tidak beli daging yang didatangkan dari Jawa. Kita mengembalikan Flores sebagai penghasil kelapa sehingga tidak lagi membeli minyak bimoli tapi mencintai produk lokal minyak kelapa.
Matzui Kashisa, ahli kemandirian lokal dari Jepang, mengajarkan kepada kita untuk membangun mulai dari makan. "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan makanan yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui. **
Pen Bete dan Laok Tunu
Oleh Sipri Seko
LIBURAN Idul Fitri yang baru berlalu membawa berkah bagi saya. Setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi kampung halaman di Timor Tengah Selatan (TTS), saya berkesempatan untuk berlibur ke sana. Ada beberapa daerah yang saya kunjungi. Namun, kenangan masa kecil di Bikium lebih menggoda untuk dikenang.
Bikium, kampung kecil di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS (sekitar 7 Km arah utara Kota SoE), memang tidak begitu terkenal. Dia tidak setenar Boti, Bu'at atau kampung lain i TTS yang masuk dalam peta pariwisata.
Tapi, yang membuat Bikium beda dengan daerah lainnya adalah karena dia pernah menjadi pusat pemerintahan kevetoran (usif/raja) Mella yang meliputi wilayah Mollo selatan. Statusnya sama dengan Ajaobaki (Mollo Utara/kevetoran Oematan), Niki-Niki (Amanuban Tengah/kevetoran Nope) dan lainnya.
Di Bikium terdapat sebuah sekolah dasar, yakni SD GMIT Biloto yang didirikan 1 Oktober 1946 oleh Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) TTS. Saat itu atap sekolah dari alang-alang, dinding dari bambu yang dibelah (gedeg) dan berlantai tanah. Meski demikian, dia menjadi satu- satunya sekolah di daerah yang saat ini sudah dimekarkan menjadi empat desa. Anak-anak dari Kesetnana, Siso, Bisene dan Salmel, harus rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai SD GMIT Biloto dengan berjalan kaki. Mungkin, dari kebiasaan berjalan kaki naik turun gunung inilah sehingga daerah itu melahirkan atlet atletik nasional, Welmince Sonbay ang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional.
Yng membuat saya masih terkesan hingga saat ini adalah kebiasaan para murid membawa bekal makanan ke sekolah. Karena harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah, maka murid-murid dianjurkan gurunya membawa makanan. Ada banyak jenis mulai dari jagung, ubi-ubian yang dibakar (laok tunu) dan nasi. Minuman mulai dari air putih hingga susu sapi yang disimpan dalam tuke --wadah dari bambu. Saat itu ampir semua warga memiliki sapi masing-masing lebih dari lima ekor yang kini tinggal kenangan karena mulai punah.
Mereka yang membawa bekal nasi sangat sedikit. Kala itu, yang biasa makan nasi hanya guru, kepala desa ataupun usif. Kalaupun masyarakat kebanyakan punya beras, mereka akan mengatakan tidak kenyang karena belum makan jagung. Nasi biasanya berasal dari beras merah yang ditumbuk dan diisi dalam wadah yang dalam bahasa daerah setempat disebut snipi (keranjang tertutup yang terbuat dari anyaman daun lontar atau gewang). Lauknya daging sapi yang sudah diasapi (daging se'i) ditambah sedikit sambal. Daging se'i ini biasanya awet disimpan sampai berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari satu tahun.
Tapi sama seperti orang Timor kebanyakan, makanan favorit para murid adalah jagung. Yang unik, jagung tersebut tidak dimasak atau direbus tapi digoreng atau biasa disebut pen seka/pen bete (jagung goreng). Jagung goreng ini akan disimpan dalam botol yang diisi air ditambah sedikit garam.
Menurut kebiasaan warga setempat --mungkin juga di daerah lain di TTS-- jagung goreng yang disimpan seperti ini lebih awet ketimbang jagung yang direbus lalu disimpan dalam rantang. Pen bete meski disimpan hingga dua hari masih tetap layak dikonsumsi. Selain itu, dengan makan jagung goreng mereka bisa tahan lapar meski hanya sekali makan dalam sehari.
Ada satu nilai lebih yang bisa dipetik oleh generasi sekarang dari kenangan masa kecil ini. Dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer, makan pen bete dan laok tunu, anak-anak zaman dulu tetap disiplin ke sekolah. Buktinya dari SD GMIT Biloto banyak lahir sarjana yang sudah teruji kualitasnya baik itu sebagai politisi, pegawai pemerintahan maupun pengusaha.
Kini, Bikium yang berada di pinggiran Kota SoE sudah berubah. Gedung SD GMIT Biloto pun tidak lagi beratap alang-alang, berdinding bambu dan berlantai tanah, tapi sudah dibangun permanen. Murid-muridnya pun tak perlu berjalan kaki telanjang ke sekolah, karena jalanannya sudah diaspal mulus yang dilayani angkutan kota dan puluhan ojek sepeda motor.
Mereka juga tak perlu membawa botol yang diisi pen bete atau snipi yang diisi laok tunu dan nasi beras tumbuk. Nasi kini bukan lagi makanan mewah. Jarak rumah ke sekolah pun sudah makin dekat. Di Kesetnana, Siso, Bisene, dan Salmel juga sudah memiliki sekolah sendiri.
Yang tidak dijumpai lagi di sana adalah anak-anak yang membawa susu sapi untuk meminumnya di sekolah. Sapi kini sudah hampir punah. Daging se'i pun harus dibeli di toko. Hamparan padang kini hanya ditumbuhi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau, tanpa sapi yang merumput bebas. Kebanggaan masa silam bila minum susu sapi di sekolah kini sudah digantikan oleh air mineral atau minuman bersoda seperti coca cola dan lainnya.
Semua memang ingin perubahan. Semua tentu ingin tidak mau dikatakan kolot hanya karena masih suka bawa pen bete dan laok tunu ke sekolah. Namun, perubahan saat ini hendaknya jangan membuat kita lupa bahwa ada kenangan masa silam yang akan menjadi kebanggaan bila dimodifikasi untuk membangun kampung halaman tercinta. (sipriseko@poskupang.co.id)
LIBURAN Idul Fitri yang baru berlalu membawa berkah bagi saya. Setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi kampung halaman di Timor Tengah Selatan (TTS), saya berkesempatan untuk berlibur ke sana. Ada beberapa daerah yang saya kunjungi. Namun, kenangan masa kecil di Bikium lebih menggoda untuk dikenang.
Bikium, kampung kecil di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS (sekitar 7 Km arah utara Kota SoE), memang tidak begitu terkenal. Dia tidak setenar Boti, Bu'at atau kampung lain i TTS yang masuk dalam peta pariwisata.
Tapi, yang membuat Bikium beda dengan daerah lainnya adalah karena dia pernah menjadi pusat pemerintahan kevetoran (usif/raja) Mella yang meliputi wilayah Mollo selatan. Statusnya sama dengan Ajaobaki (Mollo Utara/kevetoran Oematan), Niki-Niki (Amanuban Tengah/kevetoran Nope) dan lainnya.
Di Bikium terdapat sebuah sekolah dasar, yakni SD GMIT Biloto yang didirikan 1 Oktober 1946 oleh Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) TTS. Saat itu atap sekolah dari alang-alang, dinding dari bambu yang dibelah (gedeg) dan berlantai tanah. Meski demikian, dia menjadi satu- satunya sekolah di daerah yang saat ini sudah dimekarkan menjadi empat desa. Anak-anak dari Kesetnana, Siso, Bisene dan Salmel, harus rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai SD GMIT Biloto dengan berjalan kaki. Mungkin, dari kebiasaan berjalan kaki naik turun gunung inilah sehingga daerah itu melahirkan atlet atletik nasional, Welmince Sonbay ang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional.
Yng membuat saya masih terkesan hingga saat ini adalah kebiasaan para murid membawa bekal makanan ke sekolah. Karena harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah, maka murid-murid dianjurkan gurunya membawa makanan. Ada banyak jenis mulai dari jagung, ubi-ubian yang dibakar (laok tunu) dan nasi. Minuman mulai dari air putih hingga susu sapi yang disimpan dalam tuke --wadah dari bambu. Saat itu ampir semua warga memiliki sapi masing-masing lebih dari lima ekor yang kini tinggal kenangan karena mulai punah.
Mereka yang membawa bekal nasi sangat sedikit. Kala itu, yang biasa makan nasi hanya guru, kepala desa ataupun usif. Kalaupun masyarakat kebanyakan punya beras, mereka akan mengatakan tidak kenyang karena belum makan jagung. Nasi biasanya berasal dari beras merah yang ditumbuk dan diisi dalam wadah yang dalam bahasa daerah setempat disebut snipi (keranjang tertutup yang terbuat dari anyaman daun lontar atau gewang). Lauknya daging sapi yang sudah diasapi (daging se'i) ditambah sedikit sambal. Daging se'i ini biasanya awet disimpan sampai berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari satu tahun.
Tapi sama seperti orang Timor kebanyakan, makanan favorit para murid adalah jagung. Yang unik, jagung tersebut tidak dimasak atau direbus tapi digoreng atau biasa disebut pen seka/pen bete (jagung goreng). Jagung goreng ini akan disimpan dalam botol yang diisi air ditambah sedikit garam.
Menurut kebiasaan warga setempat --mungkin juga di daerah lain di TTS-- jagung goreng yang disimpan seperti ini lebih awet ketimbang jagung yang direbus lalu disimpan dalam rantang. Pen bete meski disimpan hingga dua hari masih tetap layak dikonsumsi. Selain itu, dengan makan jagung goreng mereka bisa tahan lapar meski hanya sekali makan dalam sehari.
Ada satu nilai lebih yang bisa dipetik oleh generasi sekarang dari kenangan masa kecil ini. Dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer, makan pen bete dan laok tunu, anak-anak zaman dulu tetap disiplin ke sekolah. Buktinya dari SD GMIT Biloto banyak lahir sarjana yang sudah teruji kualitasnya baik itu sebagai politisi, pegawai pemerintahan maupun pengusaha.
Kini, Bikium yang berada di pinggiran Kota SoE sudah berubah. Gedung SD GMIT Biloto pun tidak lagi beratap alang-alang, berdinding bambu dan berlantai tanah, tapi sudah dibangun permanen. Murid-muridnya pun tak perlu berjalan kaki telanjang ke sekolah, karena jalanannya sudah diaspal mulus yang dilayani angkutan kota dan puluhan ojek sepeda motor.
Mereka juga tak perlu membawa botol yang diisi pen bete atau snipi yang diisi laok tunu dan nasi beras tumbuk. Nasi kini bukan lagi makanan mewah. Jarak rumah ke sekolah pun sudah makin dekat. Di Kesetnana, Siso, Bisene, dan Salmel juga sudah memiliki sekolah sendiri.
Yang tidak dijumpai lagi di sana adalah anak-anak yang membawa susu sapi untuk meminumnya di sekolah. Sapi kini sudah hampir punah. Daging se'i pun harus dibeli di toko. Hamparan padang kini hanya ditumbuhi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau, tanpa sapi yang merumput bebas. Kebanggaan masa silam bila minum susu sapi di sekolah kini sudah digantikan oleh air mineral atau minuman bersoda seperti coca cola dan lainnya.
Semua memang ingin perubahan. Semua tentu ingin tidak mau dikatakan kolot hanya karena masih suka bawa pen bete dan laok tunu ke sekolah. Namun, perubahan saat ini hendaknya jangan membuat kita lupa bahwa ada kenangan masa silam yang akan menjadi kebanggaan bila dimodifikasi untuk membangun kampung halaman tercinta. (sipriseko@poskupang.co.id)
Jumat, 10 Oktober 2008
Dengar Suara Yesus, Carlos Urung Bunuh Diri
CARLOS pernah hampir bunuh diri sebanyak tujuh kali pasca cerai dari istrinya, pada 2006. Dia urung bunuh diri setelah mendengar suara Yesus.
Pria yang piawai memetik gitar ini berjuang mati-matian bangkit dari penyesalan atas kandasnya pernikahan itu. Dia sempat berpikir lebih baik mati daripada hidup.
"Saya pernah berpikir mati lebih indah daripada hidup. Ketika putus asa, saya duduk memandangi foto Yesus dan meminta tolong. Ajaib, saya mendengar suara yang sangat lembut bilang, 'Aku berada di dekatmu. Apakah itu tidak cukup?'," kata Santana yang dilansir Rolling Stone, Jumat (10/10/2008).
Setelah itu, Santana lebih menikmati hidup.
"Saya bisa menikmati makan dan bernapas dengan lega," ucapnya penuh syukur.
Rumah tangga gitaris handal Carlos Santana dan istrinya, Deborah Santana, kandas. Mereka bercerai bulan lalu. Perceraian itu diakui Deborah karena Santana tidak setia.
Atas dugaan serta bukti-bukti perselingkuhan tersebut, akhirnya mereka bercerai, sesuai keputusan Pengadilan Tinggi Marin, pada 19 Oktober lalu. Padahal, dari pernikahan tersebut, mereka punya tiga anak yang berusia 17, 22 dan 23 tahun.
Musisi yang pernah berduet dengan Rob Thomas itu tidak menyangkal tuduhan Deborah.
"Saya meminta maaf kepada istri dan anak-anak atas semua kesalahanku. Ini akan membantu pikiranku agar lebih tenang dan menjadi pria sesuai keinginan dia, ," ujar Santana yang dilansir AOL, Jumat ( 2/11/2007).
Sementara itu, Santana kini sedang menjalani bisnis bersama temannya. Mereka membuat sebuah yayasan yang diberi nama Milagro Foundation. Itu adalah sebuah organisasi non profit untuk membantu anak-anak kurang mampu.
Awal tahun ini, Santana baru saja memberitahukan rencananya membuka tiga restoran meksiko di area San Francisco Bay yang diberi nama Maria. Pemilihan nama itu diambil dari lagu karya Santana yang berhasil meraih penghargaan. (okezone)
Pria yang piawai memetik gitar ini berjuang mati-matian bangkit dari penyesalan atas kandasnya pernikahan itu. Dia sempat berpikir lebih baik mati daripada hidup.
"Saya pernah berpikir mati lebih indah daripada hidup. Ketika putus asa, saya duduk memandangi foto Yesus dan meminta tolong. Ajaib, saya mendengar suara yang sangat lembut bilang, 'Aku berada di dekatmu. Apakah itu tidak cukup?'," kata Santana yang dilansir Rolling Stone, Jumat (10/10/2008).
Setelah itu, Santana lebih menikmati hidup.
"Saya bisa menikmati makan dan bernapas dengan lega," ucapnya penuh syukur.
Rumah tangga gitaris handal Carlos Santana dan istrinya, Deborah Santana, kandas. Mereka bercerai bulan lalu. Perceraian itu diakui Deborah karena Santana tidak setia.
Atas dugaan serta bukti-bukti perselingkuhan tersebut, akhirnya mereka bercerai, sesuai keputusan Pengadilan Tinggi Marin, pada 19 Oktober lalu. Padahal, dari pernikahan tersebut, mereka punya tiga anak yang berusia 17, 22 dan 23 tahun.
Musisi yang pernah berduet dengan Rob Thomas itu tidak menyangkal tuduhan Deborah.
"Saya meminta maaf kepada istri dan anak-anak atas semua kesalahanku. Ini akan membantu pikiranku agar lebih tenang dan menjadi pria sesuai keinginan dia, ," ujar Santana yang dilansir AOL, Jumat ( 2/11/2007).
Sementara itu, Santana kini sedang menjalani bisnis bersama temannya. Mereka membuat sebuah yayasan yang diberi nama Milagro Foundation. Itu adalah sebuah organisasi non profit untuk membantu anak-anak kurang mampu.
Awal tahun ini, Santana baru saja memberitahukan rencananya membuka tiga restoran meksiko di area San Francisco Bay yang diberi nama Maria. Pemilihan nama itu diambil dari lagu karya Santana yang berhasil meraih penghargaan. (okezone)
Senin, 06 Oktober 2008
Mbeka
Oleh Dion DB Putra
NAMA sebenarnya bukan Mbeka. Di sekolah menengah dulu, beta dan teman- teman seangkatan menyapanya begitu karena perutnya yang agak buncit. Sapaan akrab itu bertahan sampai sekarang. Pada usia menjelang 41 tahun, perut Mbeka memang kian membesar oleh lemak. Jadi, sapaan Mbeka belum keluar dari koridornya. Si Mbeka tetap mbeka.
Dia berdiri tak jauh dari sukun muda di ujung Lapangan Pancasila-Ende. Beta hampir tidak mengenalinya. Dia memakai kaca mata gelap dan menutup kepala dengan helm standar. Berkaus oblong dipadu rompi yang kebanyakan dipakai tukang ojek, celana pendek serta sandal jepit.
"Biar tidak dikenal oleh mata-mata ko," katanya sambil terbahak. Hari itu Mbeka "menonton" kampanye salah satu paket calon yang ikut berkompetisi merebut kursi Bupati-Wakil Bupati Ende periode 2008-2013. Diksi "menonton" yang digunakan Mbeka agaknya tidak keliru. Jarak Mbeka dengan podium kampanye hampir seratus duapuluh meter. Dari posisi itu, Mbeka tidak mendengar jelas kata-kata juru kampanye serta pasangan calon yang hendak maju dalam pilkada.
Kalau sekadar menonton kampanye, apa manfaatnya? Ketika mahasiswa, Mbeka aktivis organisasi. Menyelesaikan studi dengan predikat terbaik. Mbeka paham tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dia mengerti dengan baik soal makna demokrasi.
"Saya cuma mau lihat massa yang datang. Saya tidak akan lama-lama di sini, takut ketahuan," kata Mbeka. Mbeka takut ketahuan seperti teman-temannya yang lain. Cukup banyak teman Mbeka yang langsung mendapat SK (Surat Keputusan) mutasi ketika kedapatan mengikuti kampanye atau bersimpati pada salah satu paket calon tertentu.
Menurut Mbeka, mereka yang kuat kuasa selalu memasang mata-mata. Ketahuan ikut kampanye hari ini, besok langsung dapat SK pindah. Pindah ke tempat yang jauh, terpencil dan posisi baru tidak sesuai dengan kapasitasnya.
Keputusan mutasi tidak masuk akal, tetapi harus dijalani. Kalau bukan mutasi, yang bersangkutan bakal mendapat intimidasi, teror dan ancaman. Diteror dan diancam oleh orang-orang yang masuk dalam lingkaran penguasa birokrasi. "Pilkada bukan tempat yang aman bagi orang-orang seperti saya," kata Mbeka lalu bergegas menuju sepeda motornya, menghidupkan mesin dan cepat melesat melalui Jalan Soekarno-Hatta.
***
MENYEDIHKAN perjumpaan dengan Mbeka. Lama kami berpisah. Saat bersua di akhir pekan, kutemui Mbeka yang berbeda. Mbeka yang terpenjara dalam kapasitasnya sebagai pegawai negara.
Keluar enggan, bertahan pun serba salah. Agar dapur tak kehilangan asap, demi istri, anak, dan keluarga, Mbeka memilih bermain kucing-kucingan. Mbeka, sahabat lamaku itu, seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dia juga pejabat eselon.
Ketika musim pilkada tiba, banyak orang mengalami nasib seperti Mbeka. Diancam, diteror bahkan dimutasi dalam sekejap. Lurah dan Camat harus sejalan. Kepala sekolah diarahkan. Berbeda sikap, bakal dicopot. Mereka dipenjara dalam sistem yang diterapkan secara salah. Hak asasinya diberangus atas nama loyalitas. Siapa berkuasa, dia seolah-olah berhak mengatur segalanya.
Momentum pilkada di beranda rumah Flobamora telah ikut "mendidik" pegawai negeri menjadi manusia munafik. Piawai bermain kucing-kucingan. Mereka bukan manusia bebas. Hak politik terpasung. Mendukung si A bakal dibabat, mendukung si B bisa tergencet. Bersimpati pun tidak boleh. Mengabdi sebagai pegawai negeri, apakah sebuah kesalahan? (email: dionbata@poskupang.co.id)
NAMA sebenarnya bukan Mbeka. Di sekolah menengah dulu, beta dan teman- teman seangkatan menyapanya begitu karena perutnya yang agak buncit. Sapaan akrab itu bertahan sampai sekarang. Pada usia menjelang 41 tahun, perut Mbeka memang kian membesar oleh lemak. Jadi, sapaan Mbeka belum keluar dari koridornya. Si Mbeka tetap mbeka.
Dia berdiri tak jauh dari sukun muda di ujung Lapangan Pancasila-Ende. Beta hampir tidak mengenalinya. Dia memakai kaca mata gelap dan menutup kepala dengan helm standar. Berkaus oblong dipadu rompi yang kebanyakan dipakai tukang ojek, celana pendek serta sandal jepit.
"Biar tidak dikenal oleh mata-mata ko," katanya sambil terbahak. Hari itu Mbeka "menonton" kampanye salah satu paket calon yang ikut berkompetisi merebut kursi Bupati-Wakil Bupati Ende periode 2008-2013. Diksi "menonton" yang digunakan Mbeka agaknya tidak keliru. Jarak Mbeka dengan podium kampanye hampir seratus duapuluh meter. Dari posisi itu, Mbeka tidak mendengar jelas kata-kata juru kampanye serta pasangan calon yang hendak maju dalam pilkada.
Kalau sekadar menonton kampanye, apa manfaatnya? Ketika mahasiswa, Mbeka aktivis organisasi. Menyelesaikan studi dengan predikat terbaik. Mbeka paham tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dia mengerti dengan baik soal makna demokrasi.
"Saya cuma mau lihat massa yang datang. Saya tidak akan lama-lama di sini, takut ketahuan," kata Mbeka. Mbeka takut ketahuan seperti teman-temannya yang lain. Cukup banyak teman Mbeka yang langsung mendapat SK (Surat Keputusan) mutasi ketika kedapatan mengikuti kampanye atau bersimpati pada salah satu paket calon tertentu.
Menurut Mbeka, mereka yang kuat kuasa selalu memasang mata-mata. Ketahuan ikut kampanye hari ini, besok langsung dapat SK pindah. Pindah ke tempat yang jauh, terpencil dan posisi baru tidak sesuai dengan kapasitasnya.
Keputusan mutasi tidak masuk akal, tetapi harus dijalani. Kalau bukan mutasi, yang bersangkutan bakal mendapat intimidasi, teror dan ancaman. Diteror dan diancam oleh orang-orang yang masuk dalam lingkaran penguasa birokrasi. "Pilkada bukan tempat yang aman bagi orang-orang seperti saya," kata Mbeka lalu bergegas menuju sepeda motornya, menghidupkan mesin dan cepat melesat melalui Jalan Soekarno-Hatta.
***
MENYEDIHKAN perjumpaan dengan Mbeka. Lama kami berpisah. Saat bersua di akhir pekan, kutemui Mbeka yang berbeda. Mbeka yang terpenjara dalam kapasitasnya sebagai pegawai negara.
Keluar enggan, bertahan pun serba salah. Agar dapur tak kehilangan asap, demi istri, anak, dan keluarga, Mbeka memilih bermain kucing-kucingan. Mbeka, sahabat lamaku itu, seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dia juga pejabat eselon.
Ketika musim pilkada tiba, banyak orang mengalami nasib seperti Mbeka. Diancam, diteror bahkan dimutasi dalam sekejap. Lurah dan Camat harus sejalan. Kepala sekolah diarahkan. Berbeda sikap, bakal dicopot. Mereka dipenjara dalam sistem yang diterapkan secara salah. Hak asasinya diberangus atas nama loyalitas. Siapa berkuasa, dia seolah-olah berhak mengatur segalanya.
Momentum pilkada di beranda rumah Flobamora telah ikut "mendidik" pegawai negeri menjadi manusia munafik. Piawai bermain kucing-kucingan. Mereka bukan manusia bebas. Hak politik terpasung. Mendukung si A bakal dibabat, mendukung si B bisa tergencet. Bersimpati pun tidak boleh. Mengabdi sebagai pegawai negeri, apakah sebuah kesalahan? (email: dionbata@poskupang.co.id)
Kuaputu, Arena Remaja Mendalami Cinta...
Oleh Benny Dasman
SENJA di Kuaputu. Matahari di balik mega. Sejuk, memanjakan. Sekelompok remaja putri duduk melingkar di pojok lapangan SDK St. Yoseph. Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Bersahut-sahutan. Sesekali hening mendengarkan suara 'kenabian' sang pembina yang bercerita tentang cinta. Cinta eros? Cinta mania? Cinta agape? Bukan!
Kelompok lainnya berkumpul di teras SDK St. Yoseph Kuaputu. Belajar drama. Berlompat-lompat. Riuh, gaduh. Ada pula yang serius. Membahas tugas-tugas lain dari sang pembina. Semuanya beraroma cinta. Sebagaimana cinta si kerudung putih yang dengan setia mendampingi para remaja itu.
Tak hanya itu. Di bagian timur arena, di bawah sebuah pohon, sekelompok ibu-ibu berkumpul. Di tengah-tengah mereka, asap mengepul tebal. Membubung tinggi. Sambil bercanda, merakit menu. Mereka melakoni pekerjaan cinta. Tapi bukan cinta ludus. Suasana ini kurekam Jumat (3/10/2008), pukul 17.15 wita, usai seorang warga Kuaputu bertanya kepadaku di jalanan, "Ada apa dengan anak-anak itu, pak? Ada pasar ko?"
***
"Melayani Tuhan bikin katong pung hidup lebih hidup." Tema ini terpampang jelas pada sebuah spanduk. Dibentangkan di tengah lapangan SDK St. Yoseph-Kuaputu, tempat 105 remaja Paroki Sta. Familia Sikumana-Kupang mengakrabi sesama dan alam. Menjawabi pertanyaan warga Kuaputu, "Kemah remaja." Digelar, 1-4 Oktober 2008. Aneka kegiatan bernuansa cinta digelar, antara lain pendalaman rohani, penantaan lingkungan, lintas alam, belajar menjadi pemimpin, meditasi, renungan malam, reques senja dan sebagainya.
"Obsesi saya, kemah remaja ini menjadi agenda keuskupan agar banyak remaja yang ikut. Kita benahi dari tahun ke tahun agar pelaksanannya bagus. Kendalanya selama ini adalah kurang koordinasi," ujar Sr. Maria Rita, CB, pendamping remaja Paroki Sta. Familia Sikumana, Kupang.
Tahun lalu, Sr. Rita juga menggelar kemah serupa di padang perkemahan di Belo. Mengapa setiap tahun? Apakah remaja kita selalu menampilkan perilaku minor? "Mencermati kondisi tatanan nilai yang hidup dan berkembang dan berkembang di tengah masyarakat ini sungguh menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Telah terjadi penjungkirbalikkan tatanan nilai dalam kehidupan pribadi dan bersama kalau dilihat dari kaca mata kemanusiaan dan tata nilai kristiani," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita menyebut masalah serius yang kita hadapi saat ini adalah rusaknya keadaban publik berbanding lurus dengan rusaknya tatanan nilai. Kehidupan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya, tetapi dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indra dan keuntungan materi, uang dan kedudukan. Dapat dipastikan bahwa tatanan nilai amat berpengaruh terhadap pembentukan karakter orang, khususnya anak-anak dan orang muda.
Salah satu wadah untuk menanggapi situasi yang memrihatinkan ini, Sr. Rita menyebut perkemahan remaja. "Melalui kemah remaja, kita mengembangkan budaya alternatif dengan memberikan pendidikan nilai terhadap kepada orang muda. Pendidikan nilai ini diharapkan dapat membentuk karakter dan pengembangan diri kaum muda sekaligus kristiani," ujarnya.
Dalam konteks dunia sekarang ini, kata Sr. Rita, orang muda berada dalam tarikan kuat antara norma-norma yang seharusnya mereka pegang dengan kenyataan sosial yang sering kali menjauhkan mereka dari norma-norma dimaksud. Kehidupan bersama yang toleran, solider, subsider yang saling mengembangkan, katanya, dihadapkan pada situasi yang kompetitif (negatif), individualisme yang semakin meningkatkan intervensi-intervensi yang mengekang.
Menurutnya, pemutarbalikkan aneka macam perkara menjadi tontonan yang sering kali membingungkan pengambilan pilihan hidup kaum muda. "Dalam kenyataan seperti ini, dibutuhkan edukasi nilai yang jelas dan menyentuh dasar-dasar kehidupan. Ini misi utama mengapa kemah remaja ini kita gelar setiap tahun. Melalui wadah ini, kita mengingatkan kaum muda mengatakan yang benar jika benar dan salah jika salah. Bukan sebaliknya," tegas Sr. Rita, yang saat itu didampingi Sr. Ega, RVM dan Sr. Renata, PRR.
***
Kemah remaja ini juga bermakna menggali hakekat cinta menurut pemahaman remaja. Remaja harus menyadari bahwa cinta itu anugerah Allah. Kehidupan menjadi berarti ketika ada cinta. Hidup tanpa cinta adalah sebuah penderitaan. Namun penderitaan yang dilakukan karena cinta adalah sumber kebahagiaan sejati.
"Selama kemah ini, para remaja juga merefleksikan arti cinta terhadap diri sendiri untuk menerima apa adanya dengan segala kekurangan dan sikap memberi penghargaan pada diri sendiri. Dengan demikian, cinta terhadap diri sendiri itu merupakan akses hidup untuk menjalin cinta terhadap Tuhan dan sesama. Jadi, jalinan cinta yang ilahi. Itu yang kita tanamkan," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita mengharapkan melalui perkemahan ini para remaja semakin menyadari panggilannya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Dan, dalam bimbingan Roh Tuhan mampu meneladani Yesus dalam hidup sehari-hari dengan mengesampingkan iming-iming duniawi yang gemerlap. Selain itu, setiap remaja memahami realitas, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu berlaku adil dan damai pada diri sendiri dan orang. Sungguh mulia. Bikin katong pung hidup lebih hidup. **
SENJA di Kuaputu. Matahari di balik mega. Sejuk, memanjakan. Sekelompok remaja putri duduk melingkar di pojok lapangan SDK St. Yoseph. Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Bersahut-sahutan. Sesekali hening mendengarkan suara 'kenabian' sang pembina yang bercerita tentang cinta. Cinta eros? Cinta mania? Cinta agape? Bukan!
Kelompok lainnya berkumpul di teras SDK St. Yoseph Kuaputu. Belajar drama. Berlompat-lompat. Riuh, gaduh. Ada pula yang serius. Membahas tugas-tugas lain dari sang pembina. Semuanya beraroma cinta. Sebagaimana cinta si kerudung putih yang dengan setia mendampingi para remaja itu.
Tak hanya itu. Di bagian timur arena, di bawah sebuah pohon, sekelompok ibu-ibu berkumpul. Di tengah-tengah mereka, asap mengepul tebal. Membubung tinggi. Sambil bercanda, merakit menu. Mereka melakoni pekerjaan cinta. Tapi bukan cinta ludus. Suasana ini kurekam Jumat (3/10/2008), pukul 17.15 wita, usai seorang warga Kuaputu bertanya kepadaku di jalanan, "Ada apa dengan anak-anak itu, pak? Ada pasar ko?"
***
"Melayani Tuhan bikin katong pung hidup lebih hidup." Tema ini terpampang jelas pada sebuah spanduk. Dibentangkan di tengah lapangan SDK St. Yoseph-Kuaputu, tempat 105 remaja Paroki Sta. Familia Sikumana-Kupang mengakrabi sesama dan alam. Menjawabi pertanyaan warga Kuaputu, "Kemah remaja." Digelar, 1-4 Oktober 2008. Aneka kegiatan bernuansa cinta digelar, antara lain pendalaman rohani, penantaan lingkungan, lintas alam, belajar menjadi pemimpin, meditasi, renungan malam, reques senja dan sebagainya.
"Obsesi saya, kemah remaja ini menjadi agenda keuskupan agar banyak remaja yang ikut. Kita benahi dari tahun ke tahun agar pelaksanannya bagus. Kendalanya selama ini adalah kurang koordinasi," ujar Sr. Maria Rita, CB, pendamping remaja Paroki Sta. Familia Sikumana, Kupang.
Tahun lalu, Sr. Rita juga menggelar kemah serupa di padang perkemahan di Belo. Mengapa setiap tahun? Apakah remaja kita selalu menampilkan perilaku minor? "Mencermati kondisi tatanan nilai yang hidup dan berkembang dan berkembang di tengah masyarakat ini sungguh menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Telah terjadi penjungkirbalikkan tatanan nilai dalam kehidupan pribadi dan bersama kalau dilihat dari kaca mata kemanusiaan dan tata nilai kristiani," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita menyebut masalah serius yang kita hadapi saat ini adalah rusaknya keadaban publik berbanding lurus dengan rusaknya tatanan nilai. Kehidupan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya, tetapi dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indra dan keuntungan materi, uang dan kedudukan. Dapat dipastikan bahwa tatanan nilai amat berpengaruh terhadap pembentukan karakter orang, khususnya anak-anak dan orang muda.
Salah satu wadah untuk menanggapi situasi yang memrihatinkan ini, Sr. Rita menyebut perkemahan remaja. "Melalui kemah remaja, kita mengembangkan budaya alternatif dengan memberikan pendidikan nilai terhadap kepada orang muda. Pendidikan nilai ini diharapkan dapat membentuk karakter dan pengembangan diri kaum muda sekaligus kristiani," ujarnya.
Dalam konteks dunia sekarang ini, kata Sr. Rita, orang muda berada dalam tarikan kuat antara norma-norma yang seharusnya mereka pegang dengan kenyataan sosial yang sering kali menjauhkan mereka dari norma-norma dimaksud. Kehidupan bersama yang toleran, solider, subsider yang saling mengembangkan, katanya, dihadapkan pada situasi yang kompetitif (negatif), individualisme yang semakin meningkatkan intervensi-intervensi yang mengekang.
Menurutnya, pemutarbalikkan aneka macam perkara menjadi tontonan yang sering kali membingungkan pengambilan pilihan hidup kaum muda. "Dalam kenyataan seperti ini, dibutuhkan edukasi nilai yang jelas dan menyentuh dasar-dasar kehidupan. Ini misi utama mengapa kemah remaja ini kita gelar setiap tahun. Melalui wadah ini, kita mengingatkan kaum muda mengatakan yang benar jika benar dan salah jika salah. Bukan sebaliknya," tegas Sr. Rita, yang saat itu didampingi Sr. Ega, RVM dan Sr. Renata, PRR.
***
Kemah remaja ini juga bermakna menggali hakekat cinta menurut pemahaman remaja. Remaja harus menyadari bahwa cinta itu anugerah Allah. Kehidupan menjadi berarti ketika ada cinta. Hidup tanpa cinta adalah sebuah penderitaan. Namun penderitaan yang dilakukan karena cinta adalah sumber kebahagiaan sejati.
"Selama kemah ini, para remaja juga merefleksikan arti cinta terhadap diri sendiri untuk menerima apa adanya dengan segala kekurangan dan sikap memberi penghargaan pada diri sendiri. Dengan demikian, cinta terhadap diri sendiri itu merupakan akses hidup untuk menjalin cinta terhadap Tuhan dan sesama. Jadi, jalinan cinta yang ilahi. Itu yang kita tanamkan," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita mengharapkan melalui perkemahan ini para remaja semakin menyadari panggilannya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Dan, dalam bimbingan Roh Tuhan mampu meneladani Yesus dalam hidup sehari-hari dengan mengesampingkan iming-iming duniawi yang gemerlap. Selain itu, setiap remaja memahami realitas, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu berlaku adil dan damai pada diri sendiri dan orang. Sungguh mulia. Bikin katong pung hidup lebih hidup. **
Sabtu, 04 Oktober 2008
Domi
Oleh Dion DB Putra
PERJALANAN ke kampung leluhur pekan lalu. Kutemukan kampung-kampung sunyi. Kampung dengan kaum lelaki pergi. Sepi. Tersisa wanita, sekelompok pria renta serta bocah-bocah. Perempuan...betapa kuat menjaga dan merawat. Dalam kesendirian. Malaysia, tempat di mana pria-pria Flores, Timor, Lembata, Sumba, Rote, berkelana. Mereka lupa pulang...
NAMANYA Dominikus. Biasa disapa Domi. Umur 44 tahun. Delapan tahun lalu, dia merantau. Pergi mengikuti ajakan orang sekampung yang bertutur indah tentang Nunukan, Sabah, Tawao, Kuala Lumpur. Malaysia itu tanah terjanji. Mudah memetik ringgit, berlimpah ruah menjadi rupiah.
Domi pergi tanpa surat-surat resmi. Tidak melalui PJTKI berlisensi dan kredibel. Domi merantau bermodal otot. Impiannya memperbaiki nasib karena merasa lelah berladang, letih menyadap nira, memasak moke (minuman alkohol dari bahan nira) yang harganya sulit melonjak di pasar Lio, Lela, Paga dan Sikka.
Sri Bintan Pura Tanjungpinang, itulah tempat terakhir Indonesia yang dijejakinya. Domi berhasil masuk hutan Malaysia. Menjadi pemetik kepala sawit. Hampir sepanjang tahun tinggal di kamp perkebunan sawit milik majikan. Jarang pergi ke kota terdekat. Sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, Domi tidak berhak jalan-jalan ke kota untuk berbelanja atau sekadar cuci mata. Tempat yang layak hanya di hutan agar jauh dari intaian polisi Malaysia.
Begitu yang selalu diingatkan majikan. Domi mengirim uang Rp 700 ribu untuk istri dan anak di kampung. Dan, cuma sekali itu dalam lima tahun. Tiga tahun terakhir dia beradu gesit dengan polisi yang rajin mengusir TKI. Dalam pelarian melelahkan di belantara Malaysia, Domi "jatuh cinta" dengan wanita Flores yang sama-sama berstatus TKI ilegal. Domi lupa istri sah dan kedua anaknya di kampung. Wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya persis Domi. Kulit hitam manis, rambut keriting, bibir agak tebal sedikit. Wajah khas Lio.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Segesit-gesitnya Domi dan istri mudanya berkelit dari kejaran polisi Malaysia, akhirnya keok juga. Awal September 2008, Domi tertangkap. Cuma dua pilihan, masuk penjara atau segera pulang ke nuaola (artinya, kampung halaman).
"Saya digiring sampai ke kapal hanya dengan baju di badan. Tidak diberi kesempatan kembali ke kamp mengambil tas pakaian dan lain-lain. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana nasib istri dan anak di sana. Mungkin mereka juga sudah ditangkap polisi," kata Domi lima hari lalu. Domi bukan orang lain. Dia masih saudaraku. Lama kami tak bersua. Saat jumpa, Domi bukan lagi pria yang dulu beta kenal rajin berkebun, pintar membuat moke kualitas nomor satu.
Merantau delapan tahun, Domi pulang dengan hasil nihil. Bercelana pendek dekil dan kaus oblong. Jauh lebih bagus baju yang dipakainya saat pergi delapan tahun lalu. Tiba malam hari di kampung 20 September lalu, Domi mengetuk pintu rumah berdinding bambu, dipeluk sang istri dengan senyum dan air mata.
"Lebih baik kau pulang, saya tidak butuh kau bawa apa-apa," kata istrinya. Mendengar pengakuan Domi tentang istri muda dan anak, istri yang dinikahi Domi secara resmi di gereja tahun 1991 hanya bisa diam. Diam seribu bahasa. Kisah lanjut tak ada yang tahu.
***
DOMINIKUS, saudaraku itu adalah bagian dari 26.122 TKI ilegal yang diusir pemerintah Malaysia selama tahun 2008. Seperti dirilis Kantor Berita ANTARA dua hari lalu, mereka pulang ke Indonesia melalui pelabuhan internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Propinsi Kepri.
Menurut data Imigrasi Tanjungpinang, TKI bermasalah yang diusir dari Malaysia pada bulan Januari sebanyak 2.851 orang; Februari 2.402 orang; Maret 1.929 orang, April 3.262 orang; Mei 3.211 orang; Juni 2.967 orang; Juli 2.829 orang; bulan Agustus 3.903 orang dan bulan September sebanyak 2.768 orang. Domi masuk data bulan September itu.
Di kampung leluhur, kutemukan kera menggasak pisang di bibir kampung, babi hutan merusak singkong dan jagung. Banyak lahan tidur dan anjing tak lagi menggonggong. Pria-pria produktif berkelana. Anak-anak hidup tanpa ayah.
Dicambuk, dihina, diusir sebagai bangsa kuli...mereka tak peduli. Pergi dan pergi lagi. Malaysia, entah sampai kapan menjadi tanah terjanji. Siapa yang peduli?
Teringat para calon bupati-wakil bupati yang kini getol sosialisasi diri. Terkenang anggota DePeEr, DePeDe yang kini giat tunjuk muka di kampung. Semoga menemukan Domi-Domi yang lain. (dionbata@poskupang.co.id)
PERJALANAN ke kampung leluhur pekan lalu. Kutemukan kampung-kampung sunyi. Kampung dengan kaum lelaki pergi. Sepi. Tersisa wanita, sekelompok pria renta serta bocah-bocah. Perempuan...betapa kuat menjaga dan merawat. Dalam kesendirian. Malaysia, tempat di mana pria-pria Flores, Timor, Lembata, Sumba, Rote, berkelana. Mereka lupa pulang...
NAMANYA Dominikus. Biasa disapa Domi. Umur 44 tahun. Delapan tahun lalu, dia merantau. Pergi mengikuti ajakan orang sekampung yang bertutur indah tentang Nunukan, Sabah, Tawao, Kuala Lumpur. Malaysia itu tanah terjanji. Mudah memetik ringgit, berlimpah ruah menjadi rupiah.
Domi pergi tanpa surat-surat resmi. Tidak melalui PJTKI berlisensi dan kredibel. Domi merantau bermodal otot. Impiannya memperbaiki nasib karena merasa lelah berladang, letih menyadap nira, memasak moke (minuman alkohol dari bahan nira) yang harganya sulit melonjak di pasar Lio, Lela, Paga dan Sikka.
Sri Bintan Pura Tanjungpinang, itulah tempat terakhir Indonesia yang dijejakinya. Domi berhasil masuk hutan Malaysia. Menjadi pemetik kepala sawit. Hampir sepanjang tahun tinggal di kamp perkebunan sawit milik majikan. Jarang pergi ke kota terdekat. Sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, Domi tidak berhak jalan-jalan ke kota untuk berbelanja atau sekadar cuci mata. Tempat yang layak hanya di hutan agar jauh dari intaian polisi Malaysia.
Begitu yang selalu diingatkan majikan. Domi mengirim uang Rp 700 ribu untuk istri dan anak di kampung. Dan, cuma sekali itu dalam lima tahun. Tiga tahun terakhir dia beradu gesit dengan polisi yang rajin mengusir TKI. Dalam pelarian melelahkan di belantara Malaysia, Domi "jatuh cinta" dengan wanita Flores yang sama-sama berstatus TKI ilegal. Domi lupa istri sah dan kedua anaknya di kampung. Wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya persis Domi. Kulit hitam manis, rambut keriting, bibir agak tebal sedikit. Wajah khas Lio.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Segesit-gesitnya Domi dan istri mudanya berkelit dari kejaran polisi Malaysia, akhirnya keok juga. Awal September 2008, Domi tertangkap. Cuma dua pilihan, masuk penjara atau segera pulang ke nuaola (artinya, kampung halaman).
"Saya digiring sampai ke kapal hanya dengan baju di badan. Tidak diberi kesempatan kembali ke kamp mengambil tas pakaian dan lain-lain. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana nasib istri dan anak di sana. Mungkin mereka juga sudah ditangkap polisi," kata Domi lima hari lalu. Domi bukan orang lain. Dia masih saudaraku. Lama kami tak bersua. Saat jumpa, Domi bukan lagi pria yang dulu beta kenal rajin berkebun, pintar membuat moke kualitas nomor satu.
Merantau delapan tahun, Domi pulang dengan hasil nihil. Bercelana pendek dekil dan kaus oblong. Jauh lebih bagus baju yang dipakainya saat pergi delapan tahun lalu. Tiba malam hari di kampung 20 September lalu, Domi mengetuk pintu rumah berdinding bambu, dipeluk sang istri dengan senyum dan air mata.
"Lebih baik kau pulang, saya tidak butuh kau bawa apa-apa," kata istrinya. Mendengar pengakuan Domi tentang istri muda dan anak, istri yang dinikahi Domi secara resmi di gereja tahun 1991 hanya bisa diam. Diam seribu bahasa. Kisah lanjut tak ada yang tahu.
***
DOMINIKUS, saudaraku itu adalah bagian dari 26.122 TKI ilegal yang diusir pemerintah Malaysia selama tahun 2008. Seperti dirilis Kantor Berita ANTARA dua hari lalu, mereka pulang ke Indonesia melalui pelabuhan internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Propinsi Kepri.
Menurut data Imigrasi Tanjungpinang, TKI bermasalah yang diusir dari Malaysia pada bulan Januari sebanyak 2.851 orang; Februari 2.402 orang; Maret 1.929 orang, April 3.262 orang; Mei 3.211 orang; Juni 2.967 orang; Juli 2.829 orang; bulan Agustus 3.903 orang dan bulan September sebanyak 2.768 orang. Domi masuk data bulan September itu.
Di kampung leluhur, kutemukan kera menggasak pisang di bibir kampung, babi hutan merusak singkong dan jagung. Banyak lahan tidur dan anjing tak lagi menggonggong. Pria-pria produktif berkelana. Anak-anak hidup tanpa ayah.
Dicambuk, dihina, diusir sebagai bangsa kuli...mereka tak peduli. Pergi dan pergi lagi. Malaysia, entah sampai kapan menjadi tanah terjanji. Siapa yang peduli?
Teringat para calon bupati-wakil bupati yang kini getol sosialisasi diri. Terkenang anggota DePeEr, DePeDe yang kini giat tunjuk muka di kampung. Semoga menemukan Domi-Domi yang lain. (dionbata@poskupang.co.id)
Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis
Oleh Alfred Dama
SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.
Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung.
Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda. Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.
Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.
Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.
Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.
Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.
Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.
Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.
Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?
Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.
Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.
Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?
Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.
Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. **
SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.
Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung.
Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda. Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.
Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.
Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.
Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.
Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.
Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.
Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.
Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?
Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.
Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.
Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?
Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.
Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. **
Langganan:
Postingan (Atom)