Jumat, 08 Agustus 2008

Sebening renungan Pos Kupang Cup


Oleh Pius Rengka *

SERU tapi menyenangkan!!! Pertandingan bola sepak, Dji Sam Soe dan Pos Kupang Cup, hari-hari ini berlangsung seru di Stadion Oepoi Kupang. Orang sekaliber Ir. Esthon Foenay, M.Si (Ketua Harian KONI NTT) ikut menyaksikan pertandingan yang terbilang akbar untuk NTT itu, dari sebuah sudut di stadion.

Pertandingan ini, tak hanya dihiasi baliho. Umbul-umbul para sponsor melambai-lambai mengiringi giringan bola sepak yang lari liar dari satu sudut ke sudut lain, dan terpental badai dari satu kaki ke kaki lain. Tetapi, tetap sportif.

Pabrik rokok Dji Sam Soe, Telpon Flexi, Harian Umum Pos Kupang, BRI, Platina Computer, PLN Cabang Kupang, Radio DMWS, Hotel Kristal, Merpati, KKSS, MPM Motor, Pemprop NTT, Mitra Sportindo, dibukukan sebagai sponsor. Tak tanggung-tanggung total hadiah yang diperebutkan pun, termasuk menggoda, Rp 30 juta, termasuk sebuah sepeda motor jenis bebek jadi rebutan.

Namun, pertandingan bola sepak ini pun didaulat penuh oleh Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Leburaya, Kepala Dispora, Drs. Mad Wongso. Di mimbar utama di stadion Oepoi, tampak para sponsor mendampingi Wagub Leburaya. Hadir pula di situ, Wakil Bupati Flores Timur, Drs. Yosni Herin. Ia mengaku datang dengan kapasitas Ketua KONI Flotim.

Bahkan pertandingan ini pun dihujani aneka hadiah lain dari para sponsor. Pokoknya serulah!! Bahkan, perempuan jelita, Olga Lidya, utusan khusus untuk urusan buntu dari PresidenRepublik Mimpi, datang juga sambil mengusung harapan, agar pertandingan ini berjalan licin semulus kulit langsatnya yang ranum merekah. Eko Bebek pun, datang memberi dukungan. Pelawak cerdas ini, menggiring pertandingan bola sepak ini dengan banyolan yang cerdas memproduksi tawa. Tentu saja, Eko Bebek, ingin agar pertandingan bola sepak Dji Sam Soe dan Pos Kupang Cup hanyalah arena tempat di mana kita menemukan sahabat sejati. Total, demi kebaikan bersama. Lima hari sudah berlalu, lalu apa yang kita temukan?

Liga Eropa

Liga sepakbola negara-negara Eropa musim kompetisi 2006-2007 baru usai, termasuk Liga Champions Eropa yang menarik perhatian penggemar bola dari seluruh dunia itu. Apakah ada semacam pesan sosial yang patut ditautkan dengan fenomena cara pikir pelaku sepakbola? Itulah pertanyaan pokoknya.

Pertanyaan ini, tak hanya bernuansa reflektif, tetapi darinya pula ditemukan hikmah. Tiap momentum kehidupan, kiranya memiliki nilai konstruktif terhadap hidup manakala darinya dapat ditarik ke dalam proses pikir yang dibangun secara sadar. Memang, benar bahwa pemikiran dapat dimulai dari realitas sebagai fenomena empirik. Tetapi juga, tak disangkal bahwa tidak mungkin ada realita tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik realita sebagai produk pemikiran, maupun pemikiran karena ada realita adalah dua soal dalam satu perkara.

Begitu pula perihal bermain bola. Bahwa benar pada dasarnya bola yang bergulir dari satu sudut ke sudut lain di lapangan hijau, hanyalah merupakan suatu permainan manusia yang berkesadaran. Tetapi, manusia yang memainkan bola itu, tidak mungkin sekadar memainkan dan mempermainkan bola,karena bukan bolalah yang menjadi tujuannya, melainkan manusia yang memainkan bola itu.

Manusia tidak main-main memainkan bola, tetapi bola tidak dijadikan sebagai satu-satunya tujuan permainan. Manusia sedang bermain dan mempermainkan cara pikir manusia dengan satu kesadaran utuh. Meski demikian, manusia tidak hendak berbuat main-main dengan totalitas manusia, karena manusia menggunakan bola sebagai alat main guna mempermainkan para pemain.

Pada peringkat itulah, peradaban manusia diuji. Tatkala bola sepak dijadikan alat untuk menikmati cara pikir para pemain, maka serentak dengan itu manusia sedang mengolah dan berolah peringkat kebudayaan sesama pemain.

Manusia, memang, kelihatannya sedang menggunakan tubuhnya dalam permainan, tetapi sebenarnya tubuh manusia itu sekadar medium guna mengekspresikan tingkat berpikir. Dengan demikian, dapatlah dikatakan, jika manusia makin beradab, cara main pun makin menarik dan cantik. Dengan kata lain, cara bermain bola pada dirinya sendiri memantulkan cara pikir sekaligus melukiskan peringkat peradaban para pemain.

Lalu, manusia mengevaluasi. Bahwa cara main kesebelasan A, misalnya, sangat indah. Kesan itu diperoleh karena formasi yang diciptakan kesebelasan A, memperlihatkan dekorasi serasi antara bola menyerang sambil bertahan, atau pola bertahan dengan cara terus menyerang. Bahkan, sepakbola dapat dikatakan sebagai suatu karya seni, karena para pemain menjadikan bola sebagai sarana dan kanvas ekspresi teknik dan taktik bermain.

Pada bagian ini, kita sama menyaksikan, betapa tayangan sepakbola Liga Eropa, mengajarkan kepada kita bagaimanamestinya bermain bola. Bola yang bergulir bodoh itu seolah-olah kepada kita diperlihatkan proses berpikir yang sistematik. Tendangan melingkar, liukan Christian Ronaldo, seolah memperlihatkan konstruksi premis-premis yang logis. Karena itu, kalau sepakbola kemudian menyebabkan terangsangnya rasa marah, hal itu karena peradaban pemainnya sedang dalam uji coba yang sungguh serius. Tetapi, kalau kemudian pertandingan membuahkan perkelahian, hal itu karena manusia menjadikan bola sebagai tujuan.

Kalau bermain bola sepak berbanding lurus dengan pola pikir, maka bermain bola sepak itu sendiri adalah wujud dari perdebatan yang mengandalkan otak, tetapi disalurkan melalui otot. Sementara teknik bermain bola sepak adalah sejumput argumentasinya.

Nah, kalau karena main bola para pemain kemudian marah lalu berkelahi, hal tersebut hanya mau mengatakan satu hal penting yaitu bahwa cara berpikir masih dangkal dan argumentasinya sangat lemah. Refleksi selanjutnya adalah ini: Main bola sepak tidak lagi sebagai ajang perlombaan peradaban, melainkan hanya panggung yang mempertontonkan keterbelakangan.

Namun, Liga Eropa 2007, sudah sungguh berlalu. Kita menemukan hikmahnya, sambil menjahitnya dengan pengalaman main bola sepak di Indonesia.

Pertandingan main bola sepak di Indonesia hampir pasti selalu dicederai perkelahian dan pukul wasit. Yang menyedihkan, terutama saya, bola yang disepak-sepak itu sepertinya menjadi medium balas dendam dan menyumbar nafsu otot (daging) yang digerakkan secara sangat spektakuler oleh emosi tak terkendali. Nafsu melumpuhkan otak dan bahkan moral.

Otak (nalar), pada saat itu menjadi bagian yang paling dihina.Strategi tidak lagi sebagai cara agar manusia sampai pada tujuan kemanusiaan, tetapi dipakai atau seolah-olah dipakai sebagai bentuk lain dari penggusuran martabat pemainnya sendiri. Karena itu, pola hubungan para pemain tatkala bermain bola, tidak menempatkan lawan tanding sebagai kawan bermain, tetapi lawan main dipandang sebagai momok yang patut ditawan.

Bahwa benar, bermain bola sepak, artinya berusaha sekuat-kuatnya supaya menang, tetapi kerap berubah menjadi tuntutan "harus" menang. Karena harus menang, maka segala cara pun dihalalkan atau terhalalkan. Lalu yang terjadi, ada orang tidak lagi mencari dan menyepak bola bundar yang terlepas lari di lapangan, malah mencari dua bola lain milik orang lain, yang seharusnya masih aman melekat di tubuh dibungkus pakaian seragam. Tetapi, halnya akan berbeda jika bermain bola sebaik-baiknya dan sekuat-kuatnya supaya bisa menang. Jika ternyata lawan main lebih unggul dan menang, maka yang dibuat adalah belajar bermain bola sepak lebih baik lagi di kemudian hari, dan belajar dari kemenangan orang lain.

Kita belajar dari orang lain, bukan saja karena orang lain itu lebih lain dari kelainan yang kita punyai, tetapi terutama karena kita perlu mengakui bahwa kelainan orang lain perlu dipelajari agar kali lain kita bisa mengungguli kelainannya. Lalu, satu ketika, klub bola sepak yang kita punyai patut diperhitungkan orang lain di lain megara. Nah, itulah sebening renungan untuk Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2007. Terimakasih!!

* Penulis, penduduk Kota Kupang, tinggal di Jl. Antarnusa, penonton setia pertanding sepakbola Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup

Tidak ada komentar:

SYALOM